HYMN OF MY HEART 3B

 

Bar 3b

Suara angin malam menggerakkan ranting dan dedaunan, menciptakan suara gesekan pelan dan menyebarkan hawa dingin di antara kedua pemuda itu. Begitu pula hati Gigi yang terasa seperti membeku setelah mendengar jawaban Nue. Jawaban yang sama sekali berada di luar perkiraan dan harapan Gigi.

Gigi kini hanya memandang wajah Nue dengan ekspresi kosong, sementara Nue, yang tidak mengetahui perasaan Gigi, kini bangkit dari kursinya setelah mendapat pesan di ponselnya.

“oke, kak nurul mau bicara sama aku. Aku tinggal dulu ya.. untuk malam ini kamu ga usah latihan dulu ya, nggak apa-apa kan?”

Suara Nue segera menyadarkan kebekuan Gigi. ia pun segera mengangguk dan mencoba menghapus kegetirannya.

“oke, sip.” Ujar Nue setelah melihat respon Gigi. ia pun segera berjalan menuju aula.

“kak!”

Nue berhenti dan menoleh ke arah Gigi yang memanggilnya.

“ada apa Gi?”

Perlahan, Gigi yang semua menunduk mulai menatap wajah Nue dengan mata sendunya. “aku… ga akan dikeluarkan dari tim, kan?” tanyanya dengan suara getir.

Nue terdiam sesaat, sebelum akhirnya senyum lebar menggantung di wajahnya yang cerah. “aku yang jamin, kamu akan tampil di LPSAF nanti.”

Jawaban Nue yang lantang dan tegas bagaikan suntikan stimulan bagi Gigi. Gigi pun melengkungkan senyumnya meski tipis.

“nah, gitu dong… tunjukin senyum dan ‘Gigi’ kamu!”ujar Nue lagi.

Gigi mengangguk sambil memamerkan gigi-gigi mungil dan putihnya itu, begitu juga Nue.

Setelah itu Nue pun berbalik dan berlari menuju aula, meninggalkan Gigi yang duduk sendiri di gazebo.

Senyum Gigi yang tadi mengembang dengan cerahnya,
perlahan mulai meredup. Kembali pada wajahnya yang beku.

Di tempat lain, yaitu aula. Nue sudah sampai dan menemui nurul dan Grace yang masih dengan serius membicarakan suatu hal. Entah kenapa Nue sudah tahu apa yang mereka diskusikan.

“nah Nue, ini gimana? Ada usulan dari Grace untuk mencoret nama Gigi dari tim, menurutmu gimana, selaku pembimbingnya?” tanya nurul

Nue langsung mengangkat alisnya pada Grace lalu memalingkan lagi pandangannya ke arah nurul. “ehm.. gini mbak. Dia memang agak susah..”

“bukan agak, nunu.. tapi susah, pake banget!” potong Grace.

“tunggu..tunggu aku selesai bicara dong honey..” ujar Nue dengan kalem pada Grace, Grace pun mendengus pelan dan menyilangkan lengannya di dada. Sementara Nue kembali mengarahkan pandangannya pada nurul.

“ dia memang agak susah menyerap yang aku ajarin. Pertama,mungkin karena aku yang belum bagus ngajarnya. Aku juga baru ini ngajar maba, jadi mungkin cara mengajarku masih belum matang. Kedua, aku belum ngajarin dia teknik yang benar, jadi mungkin itu salah satu alasan suaranya sering ga pas/ ketiga, masalah utama Gigi adalah kurang percaya diri. Dia masih takut untuk mengeluarkan suaranya. Aku yakin dia sebenarnya bisa kalau lebih pede. Jadi begitu mbak, aku yakin Gigi masih bisa ikut tim LPSAF. Tinggal bagaimana kita mengajari dan menyemangati dia. Bagaimanapun dia adalah hasil seleksi pelatih, Pak Selo. Jadi pastinya ada potensi yang Gigi punya, yang bikin Pak Selo meloloskan dia.”

“tapi mau sampai kapan nu… ? ini sudah pertemuan keberapa dan dia masih belum bisa baca notasi lagu hymne dengan benar. Kalau dia masih dipertahankan dalam tim, dia bisa menghambat progres temen-temennya yang lain! Bayangin aja, kalo yang lain sudah sampe baris keenam, dia masih nyampe baris ketiga. Nah, kalo gitukan ga maju-maju jadinya..” terang Grace.

“oke! Kasih aku waktu, 2 minggu buat melatih dia. Kalo semalama dua minggu itu dia belum bisa menguasai lagu hymne, mbak bisa mencoret nama dia dari Tim LPSAF.”

Tantangan Nue tersebut membuat Grace sedikit terperangah dan menatap Nue dengan tatapan heran. Sementara nurul memejamkan matanya sambil mengangguk-aggukkan kepalanya.

“oke Nue, aku setuju. Kamu latih dia selama 2 minggu, tapi dengan satu syarat, dia harus dilatih secara privat, terpisah dari teman-teman tenor yang lain, dan harus menambah waktu latihan diluar waktu latihan rutin. Gimana?”

Grace spontan menurunkan tangannya yang semula tersilang di dadanya. “loh, kok gitu mbak..? itu artinya nambah kerjaan Nue aja mbak.. terus pas latihan rutin, siapa yang ngelatih tenor?”

“ya aku serahin lagi ke Nue. Pertimbanganku melatih Gigi secara terpisah dan dengan waktu tambahan, supaya dia ga menghambat progres latihan temen-temen yang lain seperti yang kamu katakan tadi Grace. Nanti pas waktu latihan rutin, aku atau kamu bisa ngajarin tenor. Nanti aku juga menghubungi mas Rommy buat bantu ngajar tenor. Tapi yah.. aku serahin lagi ke Nue, apa Nue mau dan sanggup melaksanakan syarat yang aku kasih.” Kini nurul melayangkan pandangannya ke arah Nue.

“oke.”

Jawaban Nue seketika membuat Grace menoleh padanya dengan tatapan protes.

“it’s okay.. kurasa Gigi juga memerlukan latihan privat itu. Aku juga semester ini banyak nganggurnya. Jadi.. aku terima syaratnya mbak nurul.”

Belum sempat Grace mengajukan protes, nurul sudah menepuk tangannya. “oke! Berarti deal ya.. kalo gitu ga ada masalah lagi. Now, Grace, kamu latih tenor! Terus kamu Nue, omongin masalah tadi ke Gigi! silakan kalian atur jadwal latian kalian sendiri!”

“oke..”jawab Nue cepat, sementara Grace menjawab dengan setengah hati.
***

Sementara itu, di gazebo, Gigi masih bertahan pada kegetirannya. Matanya menerawang kosong, menyisakan bayangan hitam kelam di pupil matanya.

‘ternyata kak Nue benar-benar menyayangi kak Grace. Berarti benar kalau kak Nue adalah cowok tulen, yang ga mungkin suka sama aku. Cintanya dengan kak Grace kelihatannya juga ga main-main..Terus, buat apa aku kuliah disini? Untuk apa aku bersusah payah mengikuti UKM ini? Berlatih mati-matian untuk lagu hymne ini? Untuk apa, jika akhirnya seperti ini? Karena semua ini kulakukan untuk dia!’

Gigi menjatuhkan kepalanya diatas pangkuan kedua lengannya yang menyilang di atas meja. entah kenapa dia merasa menyesal. Semua yang ia usahakan selama ini ternyata tidak ada gunanya. Orang yang ia kasihi ternyata sudah dicuri hatinya oleh orang lain. Orang lain yang sukses mempermalukan Gigi malam ini.

hal Ini memang ironi yang menyedihkan. Tapi apa boleh buat, ini sudah terjadi. Malam itu, Gigi tidak tahu apa yang harus ia lakukan, yang jelas hanya satu pertanyaan yang menggaung di kepalanya.

‘mampukan aku bertahan?’

 

‘brukk!!’

Gigi spontan menengadahkan wajahnya ketika seseoreang memukul meja gazebo dengan keras dan tiba-tiba.

“hehe.. ngapain? Jangan kosong pikiranmu, entar digrayangin setan!”

Gigi tersenyum tipis. Ternyata dia adalah Nue. Nue pun duduk di depannya.

“loh, kakak ga ngajar?”tanya Gigi.

“kak Grace yang ngajar tenor.” Ujar Nue santai lalu menguap sambil menjulurkan tangan dan merentangkan badannya.

“loh, terus kakak..?”

“hoaammm…. ya aku ngajarin kamu..”jawab Nue dengan ekspresi santai.

Melihat ekspresi kebingungan Gigi, akhirnya Nue pun menjelaskan semuanya.

“gini, Gi.. kamu ga keberatan kan, kalo kita latihan secara privat dan nambah waktu latihan?”

Gigi spontan membelalakkan matanya. “hah? Privat? Maksudnya.. aku latihan berdua sama kakak doank gitu?”

“iyaa.. namanya juga privat. Gimana? Setuju gak?”Tawar Nue.

Gigi terdiam sejenak. Di satu sisi sebenarnya dia sangat ingin menyetujui tawaran itu. Kapan lagi dia bisa berduaan dengan Nue? Namun di satu sisi yang lain, dia tidak yakin, apakah ia mampu bertahan dengan perasaannya pada Nue yang –bagi Gigi- tidak ada harapan untuk terbalas. Sebenarnya Gigi sudah ingin menghapus perasaannya pada Nue, tapi bagaimana bisa ia melakukan itu jika setiap waktu dia akan bertemu dengannya dan berlatih berdua dengan jarak yang sangat dekat?? Huaaaa…. Gigi serasa ingin berteriak dalam kebingungannya saat itu.

Nue sendiri kian menyadari kekalutan di wajah Gigi (meskipun tentunya ia tidak tahu pasti apa yang dirisaukan Gigi).

“please Gi.. Cuma ini yang bisa aku lakuin buat mempertahankan kamu di tim. Aku tahu, buat kamu mungkin berat atau kamu mungkin merasa terkucil karena dibedakan dengan teman-teman yang lain. Tapi bukan itu maksudku.. aku Cuma pingin kamu juga bisa membuktikan kalau kamu memamng pantas di tim LPSAF ini, dan aku yakin kamu bisa! Kamu cuma butuh waktu dan perjuangan lebih GI.. tapi ya..”nada suara Nue yang semula menggebu-gebu, kini mulai melemah. “kalau kamu memang ga mau ya nggak apa-apa, aku nggak maksa.. aku juga maklum kalau kamu ga terima dibegitukan.. maaf..karena cuma ini yang bisa aku lakuin..”

Kata-kata Nue yang persuasif itu membuat Gigi menunduk lebih dalam. Dia tidak menyangka jika Nue kan membelanya begitu kerasnya. Gigi tidak tahu apa sebenarnya yang Nue harapkan dari dirinya. Kini Gigi semakin tersudut. Mendengar ucapan Nue tadi membuatnya tidak punya pilihan. Dia tidak mungkin tega menyia-nyiakan usaha Nue. Nue juga sudah rela mengorbankan waktunya untuk melatih Gigi.

Tiba-tiba setitik senyum mengembang di wajah Gigi. ia pun mendongakkan wajahnya dan menatap Nue.

“nggak” jawabnya mantap.

Wajah Nue pun berubah menjadi lesu. Segera saja Gigi mengembangkan senyum tengilnya.

“nggak nolak maksudnya..”

Nue mendengus sambil memukul meja dengan pelan. “hmm.. sialan kamu Gi. Korban iklan kamu ya..”

“selinganlah.. hahaha..” balas Gigi yang meniru kata-kata Nue dulu.

Nue pun ikut tertawa mendengarnya. Suasana kembali menjadi hangat, dan merekapun mengatur jadwal latihan mereka.

Selama itu, Gigi menatap Nue sambil memangku pipinya dengan telapak tangannya. Dilihatnya Nue yang tengah menulisi buku binder Gigi dan membicarakan sesuatu yang –anehnya- tidak dapat Gigi dengar. Perhatian Gigi sepenuhnya terpusat pada penglihatannya ke arah Nue.

‘kak, aku mencoba untuk nggak menyesal. Aku mencoba untuk bertahan. Dan aku juga mencoba untuk mengejar kakak. Aku nggak tahu, kenapa kakak begitu baik padaku dan mau berbuat sejauh ini buat mempertahankan aku. apakah itu tanda suka atau hanya delusiku belaka? Tapi entah kenapa aku masih berharap, kalau masih ada ruang di hati kakak yang bisa aku singgahi. Aku akan mencoba menunggu dan bersabar, berharap kelak kakak mau menyisihkan tempat untukku, seorang laki-laki, yang sama sepertimu.’

“woi!”

Gigi mengerlipkan matanya ketika suara Nue membuyarkan lamunannya. “hah? Kenapa kak?”

“kenapa apanya? Kamu daritadi kemana aja pas aku jelasin tentang jadwal latihan kita? Niat nggak?”kata Nue dengan nada sedikit kesal.

“ya niat donk!”jawab Gigi tegas.

“terus?”

“miapah?”jawab Gigi spontan.

“huuft..” (Nue facepalm mode:on)

“hahaha… sorry otakku lagi hang nih. Jadi bisa diulangin nggak kak? Hehe..” Gigi dengan santai tersenyum sambil memamerkan giginya yang mungil dan putih itu.

Sementara Nue? Dia hanya tersenyum tipis, tersembunyi oleh telapak tangan yang menutupi dahinya.
***

HYMN OF MY HEART 3

 

Bar 3a, Qualified or Not.

“kriing…kriiing..”

Suara alarm ponsel Nue berdering dengan lantangnya dan seketika Nue terbangun dari mimpi indahnya. (mimpi apaan, kasih tau ga ya…).

Dengan mata masih setengah terbuka, ia mencari ponselnya dan mematikan alarm yang berisik itu.
Matanya sedikit memicing ketika melihat pesan singkat yang masuk di ponselnya. Ternyata dari Gigi. ya, saat duduk di gazebo semalam, Gigi sempat menanyakan nomor hapenya.

‘makasih kak, buat koreksi tgas, tebengan + nasi gorengnya, hehe.. srg2 ya kak! #Gigi’

Segurat senyum tergores di wajah Nue sekilas. Semalam ia memang membantu Gigi mengoreksi tugasnya. Tidak sekedar mengoreksi sebenarya, karena hampir semua yang Gigi tulis itu ngawur, jadi Nue seperti membuat ulang yang baru. Setelah itu ia juga memboceng Gigi karena sudah sangat malam, ia juga membelikannya sebungkus nasi goreng karena ia juga belum makan malam (gengsi kan, kalo senior ngga beliin juniornya..).

Jika dipikir-pikir Nue sangat baik pada Gigi, entah apa yang Nue harapkan dari makhluk(?) itu.

Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan ia mengambil peralatan mandi serta handuknya lalu pergi ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian dia masuk lagi ke dalam kamarnya dengan kulit dan rambut yang masih agak basah. Ia pun berpakaian lalu memanaskan sepeda motornya. Setelah persiapannya selesai, ia pun melajukan sepeda motornya menuju kos grace, kebetulan hari ini jadwal kuliah pertama mereka sama, yaitu pukul 7.00.

“maaf honey, aku kesiangan tadi.” Sesal nunu setibanya di kos-kosan grace, dan Grace sudah berdiri di depan pintu menunggu dirinya.

Tampak grace sedikit mendegus lalu duduk di boncengan Nue. “iya deh, jangan kesiangan mulu dok honey…”

“iya.. “jawab Nue, ia pun melajukan sepeda motornya menuju kampus.

Nue dan Grace memang satu fakultas, tapi beda jurusan. Nue di Jurusa Sastra Inggris sedangkan Grace di Jurusan PSTF (Program Studi Televisi dan Film).

Mereka bahkan baru bertemu saat ospek dan darisanalah hubungan mereka mulai terjalin hingga menjadi pasangan kekasih sampai sekarang.

Dari Grace jugalah Nue bertemu dengan UKM PSM. Grace yang mengajari Nue yang pada mulanya sama bodohya dengan Gigi (maaf ya Gi, nggak bermaksud menyinggung, hehe). Grace sejak kecil sudah belajar bermain piano, itulah sebabnya ia sudah mahir membaca notasi. Terlebih lagi ia tergabung dalam UKM PSM UJ (atau sering disebut PSM Pusat, karena disitulah mahasiswa dari setiap fakultas berkumpul dan tergabung menjadi sebuah tim paduan suara UJ), kualitasnyapun tidak diragukan lagi.

“hmm… gimana belajar kelompoknya kemarin?”tanya Nue tiba-tiba saat dalam perjalanan.

“eh? Apa? Oh.. iya.. semalem bikin tugas ilustrasi banyak banget honey.. untung bisa selesai.”jawab grace dengan sedikit tergugup.

Nue menatap ekspresi grace dari cermin spionnya. Alisnya mengeryit sedikit, namun ia segera menghapus ekspresi dan menggantinya dengan senyuman di bibirnya.

“oh.. ya bagus deh kalo gitu.. ga lupa makan kan honey?”

“udah honey.. ih nunu udah kayak mamaku aja deh..”kata grace yang mengalugkan lenganya di pinggang Nue sambil meyadarkan pipiya di bahu Nue.

Nue hanya tersenyum dan menikmati momen itu sampai sepeda motor Nue tiba di depan kampus Sastra.

“oke, see ya honey..” pamit Grace sambil melambaikan tangannya pada Nue.

Nue hanya menanggapi dengan senyuman dan memandang Grace hingga ia memasuki kelasnya. Nue pun berjalan menuju kelasnya. Dalam langkah kakinya, pikirannya melayang pada Grace. Ekspresi gugup Grace tadi sempat membuat pikiran Nue goyah. Nue memejamkan matanya rapat-rapat dan menghapus prasagka-prasangka di kepalanya.

‘i’m believe in you and always will be..’
***

Gigi duduk di kursi aula dengan hati berbunga-bunga. Ia sedang menanti kedatangan Nue. Ia ingin memberitahu sekaligus berterimakasih atas tugas writingnya yang mendapat nilai sempurna. Nilai itu tidak akan mungkin ia peroleh tanpa bantuan Nue (oh..you are my savior.. *gumam Gigi).

Dibukanya lembaran partitur lagu hymne yang mulai lusuh itu. Ia mencoba mereview apa yag ia dapat kemarin. Ia tidak ingin tampil menyedihkan di hadapan Nue lagi. Di kos-kosan pun ia berusaha mempelajari lagu itu dengan mendengarkan rekaman lagu hymne untuk bagian tenor.

“oi, tumben ga telat,GI?”

Gigi segera mengangkat wajahnya, mengira itu Nue. Namun ekspresinya berubah kecut ketika tahu yang meyapanya adalah Budi (namanya..sesuatu banget), teman sesama tenor.

“iya lah.. ga mungkin aku telat terus. Bisa dihukum aku entar.” Jawab Gigi yang kembali mempelajari partiturnya.

“hemm…. semangat bener bacanya..” tukas Budi lagi yang meletakkan tasnya di samping Gigi.

“yah.. namanya juga usaha. Enak kamu sudah bisa! Ayo ajarin aku gih, ini gimana bunyiinnya?”

Budi pun mulai mengajari Gigi, sementara Gigi sedikit-sedikit menoleh ke jendela, melihat apakah Nue sudah datang atau belum.

‘plakk..!!’

“aadoh.. apaan sih Bud?” jerit Gigi saat budi memukul kepala Gigi dengan kertas partitur.

“kamu tuh, yang apa-apaan?! Diajarin malah celingukan ga jelas!” balas budi dengan nada sama tingginya. (dasar tenor, sukanya main nada tinggi)

“ya ga usah mukul napa? nih!” Gigi pun balas memukul kepala budi dengan partitur. Terjadilah perang pukul diantara mereka hingga akhirnya suara super sopran mengagetkan keduanya.

“hoooiii….!!! berantem pake bogem aja! Jangan pake partitur! Itu fotocopynya pake uang tahu!!”bentak kak Nurul. Suaranya seperti 10 TNT diledakkan bersamaan.

“woi..woi.. ada apa nih, mbk?”

Gigi segera menoleh ke arah suara yang familiar itu. Suara yang daritadi ia nantikan.

Tampak Nue berjalan dari balik pintu dengan santai. Ia mengenakan jaket biru dan headset terkalung di lehernya.

‘ohh.. akhirnya kak Nue datang jugaa..’ batin Gigi dengan wajah cerah.

Namun, dibelakang Nue, tampak seorang gadis yang sagat manis dengan rambut panjang dan sedikit bergelombang..
Gigi mengeryitkan alisnya saat melihat gadis itu. Selama ini dia belum pernah melihat gadis itu.

“itu tuh, anak buahmu berantem pake partitur… ayo deh, ayo semuanya baris sesuai suaranya masing-masing.” Perintah kak Nurul.

Tim LPSAF yag semula duduk-duduk pun bangkit dan membentuk barisan.

“nah, kita mulai aja latihannya… oh ya, kelupaan. Ini dia, kakak yang cantik dan pake jaket pink ini yang namanya kak Grace.. hehe.. dan ini dia nih pacarnya kak Nue..”

‘jedaarrrrrr…..’

Petir menyembar-nyambar di mata Gigi saat mendengar kak nurul mengatakan gadis cantik itu adalah………. pacar Nue!!?

‘appppaaaaaaaaaaaa…..!!?’ jerit Gigi dalam hatinya yang mendadak gelap dan penuh dengan badai halilintar cetar-cetar.

Sementara Gigi tercengang, Nue hanya tersenyum salting sambil menggaruk-garuk kepalanya. “apaan sih mbak, pake diomongin segala!” protes Nue.

Sedangkan Gigi, kini tertunduk lesu. Hilang sudah semangatnya tadi yang menggebu-gebu. Dia sama sekali tidak kepikiran kalau Nue sudah punya cewek. Harusnya ia menyadari itu sejak awal.

‘ooh… bego baget kamu Gi…!!’

“oke, sekarang kita langsug latihan persuara ya. eh, Nue.. tolong ajarin bass-nya ya! si Omy ga dateng.” Ujar Nurul.

Nue pun mengeryitkan alis. “lha? Terus yang gurus tenor siapa??”

“ya kan ada aku, Lala, Grace… kalo aku yang ngajar bass, ga bisa aku. Nadanya bass kan rendah banget.” Tukas nurul.

“udah mbak, nunu.. biar aku yang pegang tenor.”

Gigi menengadah dengan tatapan tidak percaya pada pemilik suara itu, yang tak lain tak bukan adalah Grace.

‘hah?? Belum cukupkah kamu bikin aku sakit hatii??’ protes Gigi dalam hati.

Sementara Nue menatap heran pada Grace yang masih dengan ekspresi santai. “beneran nih, honey? “ bisik Nue padanya.

Grace tersenyum santai lalu mendorong tubuh Nue menjauh darisana. “udah nggak apa-apa.. aku juga sekali-kali pengen tahu notasinya tenor. Udah sonno, ke bass.. aku mau ngajar tenor!”

Nue pun akhirnya bersama dengan anak-anak bass. Sesekali ia melayangkan pandangannya ke arah Grace yang tengah memberikan instruksi pada anak-anak tenornya.

Sebenarnya bukan apa-apa jika grace mengejar tenor atau suara lainnya. Tapi… (kali ini Nue memandang Gigi) Nue tahu betul sifat Grace. Entah kenapa Nue merasa khawatir pada anak buahnya.

‘semoga ga bakal kenapa-kenapa..’ batinnya.

Ia pun mulai memandu anak-anak bass dengan memberikan ketukan.

20 menit telah berlalu, perasaan Nue mulai sedikit tenang. Namun saat menit ke 24…

“doo..!! gitu lo..! kamu bisa denger ga sih?!”

Nue seketika menghentikan ketukannya. Ia segera menoleh ke arah sumber suara itu. Ternyata firasatnya benar. Grace tengah berteriak kepada anak-anak tenor. Dan yang ia marahi itu adalah.. Gigi!

Nue pun menghampiri Grace dengan tergesa. “ada apa honey? Kok sampe teriak-teriak segala sih?” tanyanya setengah berbisik.

Grace pun menoleh pada Nue, “ini lo, Nunu! Anakmu yang satu ini kok bebel banget sih diajarin?! Dari tadi, cuma sampe baris ketiga aja ga bisa-bisa!” terang Grace dengan suara melengking.

Saat itu, kecantikan dan keanggunan yang semula terpancar seketika berubah menjadi seperti iblis.

Nue menoleh kepada orang yang Grace tunjuk. Tampak Gigi menunduk namun matanya masih menatap Nue dengan tatapan memelas.

“sudah lah honey… namanya juga masih baru, kalau diajarin pelan-pelan..”

“pelan-pelan mau sampai kapan, nu? Dia tuh bebel banget! Masak nembak nada gini aja ga bisa-bisa?! Tadi aku juga ngecek ke bagian selanjutnya dan notasinya berantakan banget! Ga Cuma notasi, ketukan dan napasnya… aduh… tahu deh! Ini sudah pertemuan ke berapa coba? Masa’ lagu gini aja belum rampung-rampung..”
Sementara Grace masih terus mengoceh, Nue berusaha menenangkan emosi grace dengan mengusap pundaknya.
Dilihatnya juga Gigi yang kini benar-benar menunduk, menyembunyikan matanya di balik poni sampingnya.

“sudah sabar honey..”

“sabar gimana honey…?? kamu juga gimana sih? Katanya maba yang ada disini adalah maba pilihan yang diseleksi ketat kan? Kok anak kayak gini bisa lolos?? Masuk tenor lagi! Udah, daripada kedepanya bikin rusak dan ngerepotin kamu juga, mending dia dibebastugasin aja sekarang!”

Mata Gigi yang tertutup oleh rambut seketika menyempit. tangannya gemetar begitu juga bibir tipisnya.

“ck, apa-apan sih kamu honey? Udah donk sabar… bagaimanapun pelatih yang menyeleksi. Kalau dia keterima, berarti dia juga qualified buat masuk tim LPSAF. Udah biar aku aja yang ngajarin..”

Nue pun berjalan ke arah Gigi yang masih menundukkan wajahnya.
“Gi, coba kita nyanyikan bagian ketiga ini bareng ya.. yok.. 1..2..3.. solfaremifasol…sol..solsoldo..”

Gigi memegang partitur dengan gemetar, begitu pula dengan suaranya yang bergetar lirih. “solfaremifasolsol…sol..do..”

Segera saja grace menyolot masuk setelah mendengar nada sumbang Gigi. “tuh kan, aku bilang juga apa? Dia ga qualified buat masuk tim! Loh, kamu! Ngapain nangis?!”

Nue yang semula memandang grace segera menoleh ke arah Gigi. Gigi menundukkan wajahnya dalam-dalam, namun terdengar suara sesengukan dan satu-persatu bulir air menetes dari wajahnya ke lantai aula.

“Gi,, kamu kenapa nangis?” Nue yang terkejut segera mengguancang pelan bahu Gigi. tapi Gigi masih menunduk dan meringis menahan getir.

bagaimana Gigi ga nangis? sejak awal dia sudah merasa down saat ia tahu nue sudah punya pacar, dan sekarang pacarnya terus membentaknya tanpa ampun di depan teman-temannya. itu menjadi pressure tersendiri untuk Gigi.

Melihat itu, grace memalingkan wajahnya dengan ekspresi masam. “halah,, cowok apaan? Baru dibentak gitu aja nangis..”

Nue memandang kepergian grace dengan tatapan sendu, ia sungguh merasa prihatin karena Grace tidak bisa menjaga emosinya. Iapun kembali melihat kondisi Gigi yang masih menggigil. Ia memberikan instruksi pada anak teor lainnya untuk istirahat, sementara ia membawa Gigi ke luar aula.

Di kursi gazebo, Nue membiarkan Gigi duduk disana dan menghabiskan kesedihannya.
Dirogohnya saku celananya dan dikeluarkannya sebuah saputangan berwarna biru pada Gigi. “nih, hapus air matamu itu. Malu nanti kalo diliat orang..”ujar Nue.

Gigi pun mengusap air matanya dengan punggung tangan lalu meraih sapu tangan Nue dan menyeka sisa air matanya dengan sapu tangan itu.

“makasih kak..”ujarnya lirih.

Nue menghembusakan nafas panjang.

“maaf ya Gi, atas perlakuan garce ke kamu..”

Gigi hanya diam dan menundukkan wajahnya.

“dia memang gitu orangnya. Disiplin banget waktu latian dan dia gak akan segan-segan untuk bicara jujur. Dan kalau dia blak-blakan gitu biasanya kasar juga.. tapi sebenarnya dia baik kok. Dia Cuma parno-an orangnya.” Jelas Nue.

Gigi masih terdiam. Dia mencoba mencerna kata-kata Nue, dan akhirnya ia berani menatap wajah Nue meski perlahan.

“apa.. apa kualitasku seburuk itu,kak?”

Nue terdiam sejenak lalu menyilangkan lengan di dadanya lalu mendongakkan wajahnya ke langit seperti berpikir. “ehmm… ga buruk-buruk amat sih, hehe… kamu harus liat aku dulu saat masih maba kayak kamu. Aku bahkan lebih parah dari kamu.”

Gigi menghapus lagi air matanya dan membelalakkan sedikit matanya ke arah Nue. “ha? Masa’ sih kak? Trus kok kakak bisa…”

“ya belajar donk.. awalnya aku juga pendiem, suaraku lemah dan sama sekali ga bisa baca notasi. Setelah aku pergi klinik tongfang, suaraku jadi kuat dan bisa baca notasi dengan lancar!”

Gigi seketika tersenyum tipis mendengar gurauan garing Nue. “aku serius lagi kak, kenapa bawa-bawa klinik tongfang segala,coba?”

“hehe… selingan lah.. sebenernya orang yang paling berjasa membentuk aku yang sekarang ya dia..”ujar Nue sambil menunjuk sosok bayangan grace di jendela aula.

Gigi mengikuti arah telunjuk Nue, dilihatnya grace sedang berbicara serius dengan Nurul.

Nue hanya tersenyum melihat cara bicara grace yang menggebu-gebu, sementara Gigi hanya bisa memandang Nue dan grace bergantian dengan tatapan sendu.

“Dulu grace yang ngajak aku ke UKM PSM ini. Dia yang ngajari aku dari nol. Dia memang agak keras orangnya (agak??? #batin Gigi), aku juga dulu sering dibentak pas aku fals atau melakukan kesalahan lainnya.” Nue tampak tersenyum-senyum sendiri seolah menikmati nostalgia masa lalu.

“haha.. dia juga sering mukul aku pake partitur. Jadi kamu tadi masih mending ketimbang aku dulu, hehe…”

Gigi masih menatap Nue dengan tatapan sendu juga heran. Jika Nue saja diperlakukan seperti itu oleh grace, bagaimana Nue bisa bertahan bahkan bisa mencintai grace?

“terus kak, kakak kok bisa sih tahan digituin sama kak grace?”

Uups… tampaknya Gigi tidak kuasa menahan rasa penasaran dalam pikirannya. Nue yang semula menerawang aula, kini berpaling menoleh Gigi sambil tersenyum.

“karena aku sayang sama dia.”
***
bersambung ke Bar 3b

HYMN OF MY HEART 2

 

Bar 2, I Can’t

“Nue Lazuardy..” gumam Gigi pelan. Saat ini dia sedang tiduran di kamar kosnya yang sempit. Matanya menerawang kosong pada langit-langit.

‘hehe.. nama yang aneh’ batinnya. Ia sebenarnya sudah tahu nama Nue sejak masa Ospek, tapi ia tidak mendengar dengan dengan jelas nama lengkapnya. Ternyata bagus juga.

Lazuardy berarti langit (tau dari google :P), sesuai dengan penampilan orangnya yang tenang dan menyejukkan seperti langit yang kebiruan dengan anginnya yang sejuk.

“hmm… andai aku bisa jadi awan yang mengisi langit itu..” gumamnya lagi, lalu ia tertawa sendiri mendengar kata-katanya sendiri. (dasar orang aneh)

Gigi sudah lama memendam perasaan pada Nue sejak ia SMA. Secara tidak sengaja ia bertemu dengan Nue saat ia sedang mencetak tugasnya di salah satu warnet di Jember. Begitu melihatnya, Gigi langsung tertarik padanya. Nue adalah cowok yang tinggi dengan kulit putih dan bersih. Rambutnya dibiarkan agak panjang dan poni buang samping. Dari matanya yang dalam, Nue kelihatan memiliki darah arab ditambah dengan hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis, wew… Nue benar-benar menghipnotis Gigi sejak pandangan pertama.

Langsung saja saat itu Gigi berusaha mengorek informasi tentangnya dan dengan jurus byakugan seorang Gigi (emangnya neji??), dia berhasil mengetahui nama Nue dari tugas yang ia print. Walaupun cuma terlihat nama depan dan fakultasnya aja sih, tapi itu sudah cukup bagi anggian. Dan sejak hari itu, Gigi (yang saat itu sedang duduk di bangku SMA kelas 12) bertekad untuk memasuki Fakultas Sastra di UJ. Cukup gila memang ide Gigi itu, mengingat dia sama sekali bego dalam masalah Bahasa Inggris. Nilai Bahasa Inggrisnya selalu pas-pasan (itupun juga ga pure hasil kerjaan sendiri, hehe) dan dari pihak orang tua juga sempat melarang niat Gigi, tapi toh akhirnya mereka menge-golkan setelah Gigi dengan gigih membujuk mereka.
Yah, ga percuma juga Gigi memilih fakultas Sastra UJ, akhirnya dia ketemu dengan Nue. Tapi, masih ada kejutan lain, Nue ternyata tergabung dalam UKM Paduan Suara Mahasiswa.

‘hah? Padus?? Kok bisa sih, cowok macho kayak dia gabung di UKM begituan??’ gumam Anggian dalam hati ketika mendengar nama Nue disebut dalam jajaran pengurus UKM PSM Fakultas Sastra pada waktu pengenalan UKM-UKM di masa ospek.

Paduan Suara dalam benak sebagian orang juga berhubungan dengan suatu kegiatan menyanyi yang halus, megah dan elegan, kontras sekali dengan penampilan Nue yang lebih seperti personil band metal. Namun pikiran itu langsung berubah ketika Nue masuk ke dalam kelas dan tersenyum pada semua yang hadir disana.

‘jlebb…’

Gigi langsung terpancing kail pancing yang dilempar Nue. Di lain sisi, Gigi mendapat suatu pencerahan.

‘sebentar, kalo dia suka di Padus, berarti kemungkinan dia..’ehemm..’ juga ada,donk?!’

Sejenak Gigi merenungi gagasan hatinya itu lalu tersenyum-senyum sendiri. Kalian pasti tahu apa yang Gigi maksud ‘ehemm’ itu. Yup, Gigi memang berbeda dengan cowok yang lain, terutama pada orientasi seksualnya, dan saat ini dia sedang gencar-gencarnya mencari pacar. Sudah kelamaan jomblo sih, ckckck..

Setelah lama Gigi bengong sambil tersenyum-senyum sendiri (bayangin kalo Nue juga ‘ehemm’ dan pacaran dengannya) tiba-tiba ia sadar akan sesuatu yang –penting, besar, mendesak, dan fatal bila ditinggalkan-.

“wahh,,!! PR Writing-ku..!!!”

Gigi pun segera membongkar is tasnya dan mengambil bindernya.

Baru saja hari pertama kuliah langsung ada dosen, dan langsung ngasih tugas pula, dan parahnya harus dikumpulkan besok pula!

‘duh, gila nih dosen, ga ngasi kesan yang baik di pertemuan pertama’ protes Gigi dalam hati. (enak-enak bayangin Nue juga..)

Kini anggian meletakkan ujung bolpoinnya di kertas binder. Beberapa lama dia hanya diam dengan mata menerawang kertas putih bergaris di depannya.
“…………………………………………………………………………..(thinking)………………………………………………………………………………………………………………….(thinking)…………………………………………………………………………………………………………………………………(still..thinking)………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… (banting bolpoin) AKU GA BISAAAA..!!!”
***

Malam ini adalah malam latihan PSM yang kedua. Dengan langkah gontai (karena masih kepikiran tugas writing yang belum kelar –sama sekali-), Gigi menuju ruang aula, tempat PSM berlatih. Tampak Kak Nurul berdiri di depan dan para tim LPSAF berbaris rapi di depannya. Gigi juga bisa melihat kak Nue berdiri di samping barisan tenor, memberinya isyarat untuk segera memasuki barisan.

“ayo dek, cepet taruh tasnya terus masuk ke dalam barisannya ya!” perintah kak nurul yang sedang mengambil kastanyet (benda seperti cangkang kerang yang menganga -malah pertama kali ngliat kayak tempat bedak-, gunanya untuk memberikan ketukan. ‘tak-tek’ gitu deh bunyinya.)

Gigi pun segera meletakkan tasnya di kursi dan bergabung dengan barisan tenor, Gigi spontan mengambil posisi di sebelah Nue. (hmm… modus)

“oke, kita mulai pemanasan dulu ya..! tarik nafas 1×4 lalu tahan napas selama 2×8 ya! yo mulai tarik napas.. 1..2..3..4..tahan! 1..2….”

Pemanasan pun berjalan kurang lebih 15 menit setelah itu kak Nurul meletakkan kastanyet di meja.

“oke, sekarang kita langsung aja latihan lagu Hymne per suara ya.. Yang sopran latihan sama aku dan Lala, alto dengan Ana, tenor dengan Nue, dan Bass dengan Omy. Yok, menyebar!”

Barisan pun memecah menjadi 4 bagian, sopran,alto,tenor, dan bass, begitu juga Gigi yang langsung mengikuti arah langkah kaki Nue.

Nue membimbing mereka ke luar aula, tepatnya di tempat parkir.

“ayok, bentuk lingkaran aja biar enak latihannya.”ujar Nue.

Gigi dan teman-temannya pun segera membentuk lingkaran yang terdiri atas sembilan orang tenor.

“nah, kemarin kan kita sudah berlatih sampai baris kedua ya? jadi sekarang kita review lagi sekali terus lanjut ke bar selanjutnya.” Nue pun mulai membuat ketukan dengan tepukan di pahanya.
“1..2..3..yak.. solfami..sol..sol…”pandu Nue.

Gigi pun membunyikan lagu itu not per not dengan hati-hati. Ia tidak ingin fals di awal-awal latihan seperti ini, terlebih lagi kemarin dia sudah berlatih sungguh-sungguh untuk dua baris lagu hymne ini.

“yak, sip. Untuk dua baris ini sudah oke, Cuma Gigi, powernya ditambah lagi ya..”ujar Nue yang diikuti anggukan Gigi.

Gigi hanya tersenyum kecil saat Nue mengomentarinya, itu tandanya dia mendapatkan perhatian Nue walaupun suara Gigi pelan.

“kita lanjut ke baris ketiga ya..” Nue pun membunyikan notasi baris ketiga sementara yang lain diam sambil membaca partitur, hanya anggian sendiri yang justru memperhatikan Nue saat bernyanyi.

“Ssekarang kalian coba. 1..2..3..yak!”

Gigi segera kewalahan dan matanya celingukan mencari beris ketiga. Nue yang tahu Gigi masih mencari-cari bagian yang akan dinyanyikan pun akhirnya menghentikan ketukannya, dan para maba pun berhenti bernyanyi.

“Yang sini, Gi.” Kata Nue sambil menunjukkan bagian ketiga.

Gigi pun mengangguk-angguk. “oh iya.. hehe…”

Melihat Gigi yang cengengesan Nue hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.”hmm.. makanya jangan bengong mulu, Gi..”

“oke, siap..!”jawab Gigi ringan.

Nue pun mulai mengetuk lagi. “1…2..3.. ya..”

Gigi pun berusaha membunyikan notasi-notasi itu. Meskipun Nue juga ikut menyanyikan bagian tersebut, tapi tetap saja Gigi masih kelabakan untuk membunyikan notasi-notasi yang ‘naik-turun ga karuan’ itu (setidaknya begitulah yang Gigi pikir). Tampaknya tidak hanya Gigi saja, teman-temannya yang lain juga sedikit kewalahan membunyikan notas-notasi itu. Akhirnya Nue menghentikan ketukannya dan kembali mempraktekkan bunyi notasi yang benar.

“nah, jadi begini.. sol..fa..re..mi..fa…sol……..sol. solsoldo…do..la..do..sol…..”

Langsung terdengar kata “wuh..!” pelan dan serempak di antara tim tenor itu saat mendengar nada ‘do’ tinggi, begitu juga Gigi yang belum apa-apa tengoorokannya sudah seperti tercekik.

Melihat respon adik-adik tenornya itu, Nue hanya tertawa kecil. “haha… kenapa? ga tinggi-tinggi amat kok, asal caranya benar, kalian pasti bisa. Ayok kita coba lagi..”

Mereka pun mulai berlatih bagian ketiga itu lagi. Gigi masih terbata-bata. Dia benar-benar heran dengan teman-temannya yang begitu cepat menangkap nada baru. Baru Nue praktekkan tiga kali, mereka sudah hampir bisa membunyikan bagian ketiga itu dengan sempurna.

‘oowh.. what’s wrong with they (‘them’ kali Gi..)?? No! What’s wrong with me..??!!’

Nue melihat gelagat Gigi yang gelisah dengan bibir megap-megap seperti ikan kehabisan air. Ia pun berjalan mendekati Gigi dan bernyanyi di sampingnya. Dekat banget! Gigi bahkan bisa merasakan hembusan nafas Nue di belakang telinganya.

‘deg! Deg! Deg!..’

‘gilaa.. ngapain sih Nue deket-deket segala? Malah bikin ga konsen!’

Jadilah suara Gigi berantakan bagai butiran debu (?). Gigi pun menghembuskan nafas panjang sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“kenapa Gi?”tanya Nue.

Gigi menatap Nue, ingin sekali ia bilang ‘itu gara-gara kamu tahu..’ tapi ia urungkan niatan itu (sudah seharusnya).

“ehmm.. tau nih kak, aku masih ga nangkep-nangkep, apalagi yang ‘do’ tinggi ini nih.. ketinggian, jadi susah nembak nadanya, terus kebelakangnya jadi ikut berantakan deh.”

Nue hanya manggut-manggut. Ia pun memalingkan wajahnya pada teman-teman tenor anggian yang lain. “oke, kalian istirahat dulu.”

Mereka pun segera berjalan menuju aula. Saat Gigi juga mulai berjalan menuju aula, suara Nue menahan langkahnya. “Gigi.. mau kemana kamu?”

Gigi dengan heran menoleh ke arah Nue. “loh.. aku mau istirahat sama yang lain…”

“nggak! Apaan? Masih belum bisa juga. Ayo latihan privat sama aku!” ujar Nue sambil mengisyaratkan pada Gigi untuk berjalan kembali di sampingnya.

‘deg’

Spontan anggian berubah nerveus. ‘privat? Cuma berdua sama kak Nue?? Mana bisa konsen..?” jeritnya dalam hati.

“ayo.. kok bengong sih? Sini, kita mulai dari awal.”panggil Nue.

“i..iya kak..” jawab Gigi yang dengan langkah kaku menuju ke arah Nue.

Merekapun berlatih berdua. Gigi berusaha menenangkan dirinya selama 15 menit itu. Sementara Nue bersikap biasa saja, seolah tidak ada perasaan tertarik sedikitpun pada Gigi (memang sudah begitu seharusnya).

Terlepas dari rasa gugup Gigi, bagian ketiga itu memang cukup sulit, apalagi bagian nada tertingginya. Beberapa kali Gigi mencoba, selalu saja ia salah pada bagian yang sama. Dengan sabar Nue mengulang lagi bagian tersebut dan ikut memandu Gigi.

“Sol sol do…. hufft.. ga bisa kak..”keluh Gigi sambil membungkuk, bersandar pada lututnya yang capai.

Nue pun menghembuskan napas pendek. “ya udah, kamu minum dulu sana, terus kamu panggil anak-anak yang lain buat latian lagi.”

Gigi mengangguk dan berlari menuju aula. Tenggorokannya sudah benar-benar kering.

Sementara itu, Nue duduk di pagar tempat parkir saat ponselnya berdering. Ia pun membuka ponselnya dan ternyata itu sms dari Grace.

‘Nunu honey… nanti gag usah jemput aq ya, ‘cause aq maw bljr kelmpk d kosq.. jadi nanti aq bareng sm temn.. maaph ya honey, ga bisa nemenin nunu maem malem ini.. luv u nunu honey, *kiss..’

Nue menghembuskan napas pendek setelah membaca pesan itu. Agak kecewa juga Nue setelah tahu Grace belajar kelompok dengan teman-temannya. Padahal biasanya mereka makan malam bareng setelah latihan.

Nue pun mengetikkan balasan untuk kekasihnya itu, mengetikkan kata-kata yang sebisa mungkin tidak menyiratkan kekecewaannya.

‘ok honey. Kamu baik” dsana ya, jgn lupa mkn mlm mskipun dikit. *Kiss back’

Setelah ia selesai mengirim pesan, ia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya dan beranjak dari tempat itu.

‘ok, sudah waktunya latihan lagi’
***

Nue menyanyikan lagu terakhirnya dengan apik. Ia pun langsung menjatuhkan dirinya di kursi sambil menegak botol air minumnya.

“oke guys, trimakasih buat latihan Yudisium untuk malam ini, jangan lupa kita besok ada latihan lagi, seperti biasa, kita mulai latihan yudisium setelah latihan LPSAF berakhir. Sampai jumpa lagi besok, wassalam..” ujar Nurul.

Tim Yudisium pun satu persatu meninggalkan ruang aula. Sementara itu Nue masih duduk di kursi dan menghabiskan air dalam botol minumannya.

PSM memang punya dua agenda saat ini, yaitu LPSAF untuk maba dan acara yudisium untuk para anggota PSM senior, dan Nue salah satunya. Jadi ia harus marathon, mulai dengan melatih tim LPSAF dari pukul 19.00-21.00, dilanjutkan dengan latihan yudisium sampai pukul 22.00. belum lagi latihan khusus yudisium di hari lainnya, membuat Nue nyaris tidak memiliki hari yang senggang
.
“gimana Nu, anak tenor buat LPSAF? “

Nue segera menelan air dalam mulutnya saat Nurul bertanya padanya. “ehm.. ya okelah.. banyak yang sudah bisa.. Cuma mungkin..” sekilas Nue melihat sosok Gigi di gazebo yang sedang sibuk mengutak-atik laptopnya. “mungkin ada satu yang masih harus digembleng lagi, hehe..”

Nurul mengangguk-anggukkan kepalanya. “ya itu wajarlah, kan masih maba. Yang penting kamu jangan putus asa ya. harus mengajari adek-adekmu sampe bisa!”

“itu pasti, mbak..” jawab Nue sambil mengacungkan jempolnya.

“sip! Aku pulang dulu ya, bye..”

“bye..”

nurul pun pergi meninggalkan Nue yang menutup botol minumannya. Lalu Nue mengambil tasnya dan mematikan semua lampu aula sebelum akhirnya ia meninggalkan ruang aula.

Dilihatnya Gigi masih duduk di gazebo, Nue pun berjalan menuju gazebo itu dan menepuk bahu Gigi.

“woaa..!” jerit Gigi.

“woy.. apaan?”tanya Nue setengah terkekeh melihat anggian.

“yah..! kaget kali kak!” protes Gigi yang tengah mengontrol nafas dan detak jantungnya. “untung aku ga jantungan.”

“Hehehe… malem-malem ngapain nih, kok masih gentayangan di kampus?”canda Nue sambil duduk di kursi sebelah Gigi, mencoba melihat layar laptop.

“gentayangan? Wah aku manusia kali kak, bukan setan! Ini nih lagi ngerjain tugas..” kilah Gigi yang segera membuka tab google translate.

“tugas, apa tugas? Kok itu ada tab facebook?” selidik Nue setengah terkekeh saat menunjuk sebuah tab dengan icon ‘F’ di sudutnya.

“ya.. ngerjain tugas sambil FBan lah..” lagi-lagi Gigi berkilah dengan alasan yang sama sekali tidak membantu melainkan hanya membuat Nue terkekeh lebih lebar. (meskipun sebenarnya diam-diam Gigi senang ketika melihat ia tersenyum seperti itu.)

“btw, ini google translate buat apaan?” tanyanya.

“ini nih, ada tugas writing, disuruh buat karangan tentang profil diri.. pake bahasa Inggris lagi!”

“ya iya lah, namanya juga writing! Eh, kamu anak Sastra Inggris?”

“i..iya.” Gigi baru sadar kalau selama ini Nue tidak tahu jika Gigi juga dari sastra Inggris. “emang napa?”tanya Gigi balik.

“em.. gapapa sih. Cuma tugas gitu doang kan, coba liat hasil karanganmu..” Nue dengan sigap mengambil buku binder Gigi yang terbuka sebelum Gigi sempat mencegahnya.

“jangan diliat..! masih belumm..”cegah Gigi, namun percuma, binder itu sudah ada di tangan Nue.

Untuk beberapa detik Nue terdiam melihat isi binder itu. Yang isinya cuma 1 kalimat: “My name is Anggian.”

“apaan nih? Daritadi disini Cuma dapet 1 kalimat ini doank?”Nue setengah membanting buku binder itu di atas meja yang langsung ditangkap oleh Gigi.

“ya gimana lagi? Aku juga dasarnya ga bisa Bahasa Inggris, ga ada inspirasi juga.”protes Gigi.

“hehe.. kamu apa-apa ga bisa. Trus kenapa masuk sini?”

Gigi terdiam mendengar pertanyaan Nue yang sedikit menyakitkan itu. Tampaknya Nue juga menyadari jika kata-katanya sedikit kasar, ia pun langsung menghapus senyum di wajahnya.

“ehm,, maaf gi, maksudku..”

“justru karena ga bisa, aku masuk di sini, di fakultas sastra, biar aku bisa!”

Nue terhenyak sesaat mendengar kata-kata lantang Gigi. Sementara Gigi menatap mata Nue dengan tajam.

Seketika Nue tersenyum. “haha… sip! Memang gitu harusnya. Hahaha… aku ga nyangka kamu bakal bilang gitu.” Ujar Nue sambil menepuk pundak Gigi yang tersipu.

Setelah itu Nue menyandarkan bahunya pada sandaran kursi dan tersenyum menatap Gigi. “aku suka orang dengan semangat seperti kamu Gi.”

Jantung Gigi serasa akan copot. Rasa malu menjalar sampai ke wajahnya. Gigi hanya bisa menutupi rasa malunya dengan senyum ganjil dan garukan di kepala.

“ga usah kepedean, mending kamu kerjain tuh tugas semampumu, jangan pake google translate, ngawur itu. Nanti aku koreksi kalo udah kelar.” Ujar Nue yang meletakkan tas pinggangnya di atas meja gazebo.

Gigi segera mendongakkan wajahnya ke arah Nue “hah? Serius nih? Aku bakal lama lo , ngerjainnya.”

“it’s ok. Malah enak, kamu ngerjakan, aku Fban pake laptopmu, hehe..”ujar Nue enteng sambil menggeser laptop Gigi.

“yah, aku belum selesai Fban..!!” protes Gigi yang mencoba meraih laptopnya.

Dengan gesit Nue mengambil laptop Gigi dan menjauhkannya dari jangkauan tangan Gigi “udah.. kerjain dulu.. aku pake sebentar..! ini Fbmu aku log out ya.”

Gigi pun tidak punya pilihan lain selain menurut da merelakan Nue menggunakan laptopnya. Sedangkan Gigi berbingung-bingung ria dengan tugas writingnya.

”kak, Bahasa Inggrisnya ‘saya sangat senang dan bersyukur pada Tuhan Yang Mahaesa karena berhasil masuk di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, UJ tercinta ini’ apa??”

“woi! Emang aku google translate?? Satu-satu napa?!”
***

HYMN OF MY HEART 20

ImageBar 20, Hymn Of My Heart

Udara berhembus sepoi di beranda rumah sakit. Gigi berdiri di sana, tangannya ia lipat diatas pagar tembok yang menjadi pembatas beranda. Di belakangnya tampak sprei putih yang dijemur berjejer, melambai-lambai tertiup angin. Menerbangkan wangi deterjen di sekitar Gigi. Di atas sana, Gigi bisa menatap pemandangan kota Jember dengan leluasa. Darisana ia juga bisa melihat kos-kosannya yang tampak seperti kotak kardus susu bubuk. Tak jauh dari kos-kosan Gigi, tampak jembatan semanggi yang melingkar dengan sederhananya. Seperti simpul yang belum selesai. Tidak seperti Tol Semanggi di Jakarta yang memiliki empat lingakaran membentuk motif semanggi berdaun empat, jembatan itu hanya memiliki sebuah lingkaran yang melingkari sebuah bukit.

Gigi tidak ingin memepermasalahkan kenapa namanya ‘Semanggi’ padahal bentuknya tidak bisa dikatakan seperti semanggi. Yang Gigi perhatikan adalah bayangannya yang ada di bukit itu. Gigi mencoba membayangkan, jika dia dan Nue bisa duduk bersama di bawah naungan pohon di bukit itu. Tidak siang hari seperti ini, tapi pada malam hari. Ketika langit menjadi hitam dan lampu-lampu berwarna cokelat kejinggaan menyinari jalan. Di bukit itu, ia bisa melihat garis-garis cahaya yang dihasilkan oleh lampu kendaraan bermotor. Dan diatas mereka, bulan yang berpendar putih menggantung dengan anggun di langit. Alangkah indahnya malam itu jika hal itu terwujud. Ia ingin menyandarkan kepalanya di bahu Nue sekali lagi. Tapi apakah mungkin?

Semua bayangan itu terhapus oleh sinar mentari siang yang terik. Ketika Gigi mengangkat wajahnya, yang ia lihat adalah hamparan langit yang membujur luas. Langit siang itu berwarna biru bening. Anehnya siang itu, langit tidak banyak dihiasi dengan awan-awan. Awan-awan itu pasti sudah habis menjadi hujan semalam. Gigi merenung. Nue Lazuardi.
‘Lazuardi’ yang artinya adalah ‘langit’, sedangkan kata ‘Nue’, Gigi sanksi apakah orang tua Nue tahu artinya, karena setelah Gigi bertanya pada kawan terbaiknya di Sastra Inggris, Google Translate, kata ‘Nue’ dalam bahasa Prancis berarti ‘telanjang’. Apakah ini yang dimaksud dengan Nue Lazuardi? Sebuah hamparan langit biru yang telanjang, tidak tertutup awan. Terhampar apa adanya, tanpa satu pernik pun menghiasi dirinya.

Dulu Gigi pernah berharap, kalau dia bisa menjadi awan untuk Nue. Meskipun awan itu akan mengalami mendung, dialiri dengan ribuan volt petir, dikejutkan dengan puluhan kilat yang membutakan, dan akhirnya awan itu selalu habis menjadi hujan, toh akhirnya awan akan kembali melayang dan duduk bertengger menemani langit. Dari hujan itu juga pada akhirnya akan menciptakan sebuah pelangi yang indah, yang melengkung anggun, menghubungkan awan, langit dan bumi.

“Gi..”

Sosok Adrian muncul di balik kain-kain sprei yang berkibar pelan. Gigi menoleh sesaat ke belakang, menatap wajah Adrian yang tampak bersinar karena pantulan sinar dari kain sprei putih.

“Hei..” sapanya dengan senyuman ringan. Lalu ia kembali memalingkan wajahnya ke arah horison.

Adrian mendekatinya dan akhirnya ia berdiri di samping Gigi dan melipat tangannya di atas pembatas beranda. Cukup lama keduanya saling membisu. Gigi bisu karena sibuk dengan bayangan-bayangan asanya, sedangkan Adrian yang membisu karena memikirkan kata-kata apa yang akan ia sampaikan pada Gigi.

“Di kamar Nue tadi.. ada kak Grace.” Ujar Adrian. Sebuah awal pembicaraan yang sebenarnya tidak disukai oleh Gigi.

Gigi hanya menjawabnya dengan ‘ya’ datar.

“Kamu.. nggak apa-apa kan Gi?” tanya Adrian lagi.

Cukup lama bagi Gigi untuk menjawab pertanyaan itu. Bukan karena bingung dengan
jawabannya, tapi lama karena mengumpulkan tenaga untuk menjawab.

“Jujur, aku apa-apa..” jawab Gigi dengan senyum kecil, seolah ia sedang bercanda.

“Kalau gitu kenapa ka..”

“Kamu tahu Dri?” potong Gigi. Seketika Adrian terdiam. “Aku tadi baru saja memikirkan tentang ‘Nue Lazuardi’”

Adriam terdiam. Alis matanya berkerut mendengar kata-kata Gigi itu.

“Kamu tahu arti nama itu?” tanya Gigi lagi. Wajahnya yang semula hanya terpaut pada horison kini melirik ke arah Adrian.

Adrian menggeleng pelan. Gigi pun tersenyum sambil kembali berpaling ke titik fokusnya semula.

“Nue itu… katanya google translate sih.. artinya ‘telanjang’, berasal dari bahasa Prancis. Jorok ya? Hahaha… Tapi setelah aku tahu arti kata ‘Lazuardi’ semuanya mulai keliatan jelas. Lazuardi sendiri ada di kosakata bahasa Indonesia, kalo di artikan ke bahasa Inggris, hasilnya adalah kata ‘sky’ alias ‘langit’. Jadi bisa dibilang Nue Lazuardi artinya langit yang telanjang. Seperti siang ini. Kamu bisa lihat ke atas, langit yang biru terhampar luas itu.” Tangan Gigi mengarah ke atas. Adrian melihat wajah Gigi yang kini menengadah ke langit. Adrianpun mengikuti arah tempat mata dan tangan Gigi menunjuk.

“Aku… dari dulu ingin sekali menjadi awan itu.”

Adrian menoleh ke arah Gigi. Dilihatnya Gigi yang tersenyum getir menatap langit.

“Aku ingin jadi awan yang selalu ada dan menghiasi langit. Tapi… sayangnya awan dapat berubah mendung dan jatuh menjadi hujan. Sekarang lihat.. awan itu habis tanpa sisa. Meninggalkan sang langit sendiri, meskipun pada akhirnya awan akan terbentuk kembali. Aku rasa sekarang aku sudah seperti awan. Awan yang dengan gigihnya berada di dekat langit, meskipun setiap saat harus berubah mendung, dialiri petir dan kilat dan selalu jatuh menjadi hujan… tapi awan selalu kembali ke langit..”

Adrian termenung. Tangannya mengepal dan bergetar, hingga akhirnya ia tidak bisa menahan perasaannya lebih lama lagi. Dengan tegas ia menarik bahu Gigi dan membuat wajah Gigi terarah padanya.

“Sampai kapankamu begini Gi?!”

Gigi diam. Matanya tampak menerawang kosong.

“Sampai kapan kamu mau menunggu Nue? Sampai kapan kamu mau menangisi orang yang ga peduli sama kamu? Sampai kapan kamu akan bertingkah seperti awan? Awan ga ada kaitannya dengan langit! Langit itu cuma ruang kosong! Dia ga ada artinya buat kamu!”

Seketika mata Gigi menyala dan menatap wajah Adrian dalam-dalam. Mata yang sendu itu seketika menusuk hati Adrian hingga ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

“Siapa bilang langit ga ada artinya buat aku? Tanpa langit, dimana awan akan tinggal?!”

Adrian terhenyak. Cukup lama keduanya terdiam dan hanya bisa saling pandang. Gigi pun melepas pelan tangan Adrian yang memegang bahunya dan kembali menatap horison.

“Tapi kamu ga bisa seperti awan Gi..” ujar Adrian lirih. “Kamu ga bisa terus-terusan dirundung kesedihan dan menangis. Kamu bukan awan.. dan Nue bukan langit kamu.”

Gigi yang telah berhati batu merasa tidak terima dengan kata-kata Adrian itu. “Darimana kamu bisa bilang kalau Nue bukan langitku?”

“Apa kamu ga bisa liat sendiri Gi? Apakah Nue pernah bilang cinta ke kamu?! Apa Nue pernah menyadari perasaanmu? Nggak kan?! Aku terus terang bingung Gi, apa yang kamu liat dari Nue, yang jelas-jelas berhati tumpul dan.. dan.. dia bahkan sakit ayan..”

Mata Adrian terbelalak. Sebuah angin menerpa dan menggoyangkan rambut di pelipisnya. Ia bisa merasakan dengan jelas dinginnya angin yang berhembus di pipinya. Tangan Gigi bergetar di depan pipi Adrian. Satu inchi lagi, maka Adrian bisa merasakan panasnya telapak tangan Gigi. Yang membuat hati Adrian membeku lagi adalah ketika melihat mata Gigi yang mulai basah.

“Sekali lagi… Sekali lagi kamu bilang hal yang jelek tentang kak Nue.. aku ga akan menahan lagi. Aku ga akan maafin kamu..” isaknya. Perlahan ia tarik tangannya, meninggalkan wajah Adrian yang memutih.

Sambil mengusap air mata yang menggenang di kelopak matanya, ia membalikkan badannya, kembali pada posisinya semula. Berharap angin sepoi dapat mengeringkan air matanya.
Sementara itu, Adrian terhenyak. Memang tamparan Gigi tidak sampai mengenai dirinya, tapi itu sudah cukup untuk membuat hati Adrian hancur berantakan. Dengan gemetar ia turunkan tangannya dan merogoh sakunya.

“Sedalam itukah cinta kamu ke Nue Gi..? Ga adakah peluang buat aku mengisi hatimu?” tanya Adrian dengan nada getir.

“Maaf Dri.. mungkin kamu benar, Nue mungkin ga peka akan perasaanku. Aku bahkan yakin kalau dia akan benci sama aku setelah tahu kalau aku adalah seorang gay. Tapi… mau bagaimana lagi? Seperti yang aku bilang tadi.. Nue adalah langitku.. aku ga ada tanpa dia..”

Jawaban Gigi menggetarkan hati Adrian. Tanpa sadar, matanya mulai basah. Diusapnya pelan air matanya itu dan ditariknya sesuatu dari saku celananya.

“Asal kamu tahu Gi… Nue ngga setumpul yang aku dan kamu kira..”

Perlahan Gigi membalikkan badannya. Dipandangnya wajah Adrian dengan tatapan heran. Dilihatnya pula secarik kertas lusuh di tangannya.

Adrian memandang dalam-dalam kertas ditangannya itu. “Sebelumnya aku minta maaf Gi, karena nggak ngasi ini ke kamu lebih awal.. ini aku lakuin, karena aku terlalu sayang sama kamu Gi.. tapi kalau memang pendirianmu ga bisa berubah… aku ga bisa berbuat apa-apa lagi.” ucap Adrian getir.

Dengan gemetar ia menyodorkan kertas itu ke arah Gigi.

“I.. ini..”

“baca aja Gi..”

Mata Gigi langsung terpaku pada tulisan di atas kertas itu.

‘To: Anggian’
Perlahan Gigi mencermati tulisan itu. Tulisan yang familiar di benaknya.

“tulisan ini..” bisiknya pelan.

Dengan segera ia membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.

[i]“ To: Anggian

Dear my lil bro..

Mungkin hal yang pertama kali terlintas di kepala kamu saat menerima surat ini pasti kampungan atau ngga keren, atau pengecut.. nggak apa-apa, kamu bebas memanggilku pengecut karena aku cuma bisa mengungkapkan pikiranku lewat surat.

Sebelumnya, aku mau ngucapin selamat atas aksi panggung kamu tadi. Keren banget… 🙂

Kedua, tentang lagu yang kamu bawakan itu… aku ga tau apakah aku yang merasa terlalu percaya diri atau bego. Tapi entah kenapa aku ngerasa kalau lagu itu buat aku..

Aaaarghh… lupakan-lupakan… anggap aku nggak pernah nulis seperti itu.

Tapi Gi.. asal kamu tahu.. kamu boleh bilang aku freak, tapi entah kenapa.. sejak kita pertama kali bertemu, ada sesuatu yang aku lihat berbeda dari kamu.

Aku ngerasa kamu begitu lucu, manis.. seakan nyaman untuk dipeluk seperti guling, hehe..
Aku tahu ini terdengar ga wajar. Selama ini aku anggap rasa itu sebagai rasa sayang antara kakak dan adik. Tapi… bolehkah aku mengatakan, kalau aku ci perasaanku padamu lebih dari itu?

Aku harap aku salah.. karena kamu tau.. ya.. kamu cowok dan aku cowok..

Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri. Perasaanku ke Grace sedikit demi sedikit mulai terasa hambar. Sebaliknya semenit bersama kamu seakan begitu menyenangkan dan nyaman. Wajah mu yang manis itu selalu berputar-putar di kepalaku. Aku senang ketika aku bisa menginap di kos-kosanmu atau kamu yang menginap di kos-kosanku. Kamu mungkin ga tau, kalau aku selalu nggak bisa tidur ketika sekamar sama kamu. Kamu juga mungkin ga tau, kalau aku masih sadar ketika kamu nyium pipiku saat kamu menginap di kos-kosanku. Aku juga bisa merasakan kalau kamu memelukku saat aku kejang. Aku tahu kamu pasti kesakitan.
Aku minta maaf…. maaf banget..

Tapi, mungkinkah kamu mencintaiku?
Mungkinkah jika aku mencintamu?

Aku harap itu salah.. tapi, aku ga akan peduli jika itu memang benar. Entah apa nantinya kamu berpaling jadi benci denganku atau jijik padaku. Tapi.. aku akan nyayangin kamu seperti…. orang yang paling aku sayang.

Aku cuma ingin kamu tahu, kalau kamu bukan orang bodoh yang ngobrol dengan bulan.. karena aku akan selalu ada di sisimu dan menjawab, kalau aku sayang padamu.

Sekian suratku, kamu bisa robek suratku dan bertingkah seolah ga terjadi apa-apa, tapi kalau kamu juga mencintaiku, aku harap kamu bisa menulis surat balasan untukku.

From: your big bro. Nue Lazuardi’[/i]

 

Bintik-bintik air menetes dan membasahi kertas lusuh itu. Tangan Gigi gemetar memegang kertas itu. Air mata yang satu minggu ini ia tahan akhirnya jebol juga. Meluapkan semua emosi yang ia pendam selama ini. Ia tumpahkan semua di hari itu.

‘Kak Nue.. kenapa kamu ga bilang..’ isak Gigi.

Perlahan Adrian merangkul Gigi dari belakang. Membiarkan tubuh Gigi menggigil hebat di badannya.

“Gimana bisa kamu dapatkan surat ini?” tanya Gigi dengan suara parau.

“Saat aku nyatain cinta ke kamu Gi.. sepertinya malam itu dia juga ingin mengungkapkan perasaannya ke kamu, tapi etah kenapa dia pergi dan membuang kertas ini di dekat pintu.. aku ga bermaksud menyembunyikan kertas ini ke kamu Gi.. aku cuma..”

“Cukup Dri… kata-kata kamu bikin aku tambah nyesel Dri… andai saja aku baca surat ini malam itu, mungkin kejadian di malam esoknya tidak akan berakhir seperti ini…” isak Gigi.
Adrian memeluknya kian erat untuk membuatnya tenang. Tampak raut penyesalan dan sedih yang jelas dari wajah tampan Adrian.

“Andai saja.. aku tahu kalau Nue juga mencintaiku… Andai saja….” Gigi tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi. Seluruh nafasnya yang tersisa ia habiskan untuk menangis dan terisak. Tubuhnya meringkuk di dekapan Adrian, dengan salah satu tangan yang gemetar memegang surat Nue.

Hati Adrian begitu pilu. Pada akhirnya ia harus melakukan ini. Ia harus merelakan Gigi pergi. Ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi dan membuatnya makin menderita.
Dengan suara getir yang tertahan ia berbisik di telinga Gigi.

“Maaf Gi… Akhirnya harus akui Gi.. kalau kamu memang ga bisa lepas dari Nue. Terlepas dari apa yang sudah Nue lakukan buat kamu, aku mencoba ikhlas dan menghormati pilihanmu, selama kamu bahagia… Karena aku sadar, kalau aku selama ini ga bisa mengukir senyum seperti yang Nue torehkan di wajahmu itu.. Aku harus akui kalau Nue adalah langit tempat hati kamu, awan, bersemayam. Tapi izinkan aku, Adrian yang pengecut ini, untuk menjadi Bumi, yang akan selalu menunggumu dari bawah. Memperhatikan kalian saling mengisi dan menghiasi atapku. Dan aku sebagai Bumi, yang akan selalu terbuka menerimamu ketika kamu jatuh dalam rintik hujan, dan akan selalu ikhlas melepasmu ketika kamu menguap menjadi awan kembali. Membiarkanmu terbang pada langit yang kamu sayangi..”
***

Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa waktu telah mengantar tim LPSAF fakultas tempat Gigi tergabung ke depan gerbang perlombaan. Di pintu aula, Nurul tampak mondar-mandir sambil sesekali melihat jam tangannya. Dilihatnya ke dalam ruangan, anak-anak bimbingannya tengah di make up. Hanya ada satu orang yang tidak tampak di antara kerumunan itu.

“Huuh.. Gigi kemana sih? Jam segini kok belum dateng?? Ga tau apa kalo make upnya bakalan lama!”

‘puk..’

Nurul menoleh ke arah belakang setelah pundaknya ditepuk oleh seseorang.

“Tenang mbak.. Gigi juga sebentar lagi bakal dateng..” ujar Adrian dengan senyumnya yang terkesan jahil itu.

Nurul mendengus menahan kesal. “Huh.. Darimana kamu tahu?”

Adrian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis ke arah gerbang fakultas.

‘dia pasti ada di sana.. ‘ gumamnya dalam hati.

Agak lama, Nurul menoleh ke arah Adrian, begitu juga Adrian yang menoleh heran ke arahnya.

“Bisa kamu lepasin sekarang?” ujar Nurul sambil menunjuk tangan Adrian yang menempel di bahu nurul dengan matanya.

Seketika Adrian menariknya dan tersenyum bodoh. Sementara Nurul hanya mendengus dan berbalik masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Adrian, ia memilih untuk mematung di ambang pintu aula dengan matanya tertuju getir ke arah gerbang.

‘Cepatlah datang Gi..’
***

Di tempat lain dan pada 30 menit sebelumnya, Gigi tengah mengetuk pintu kamar Nue dirawat. Tak lama kemudian ibu Nue membukakan pintu dan menyambutnya.

“Eh Gigi.. kok belum berangkat? Katanya mau lomba?” tanya ibu Nue saat tangannya Gigi cium.

“Iya tante.. Gigi nyempetin kesini buat..” mata Gigi melirik ke arah kado besar di punggungnya sambil tersenyum cerah. “Maaf ya Te, ngucapinnya telat, soalnya kemarin aku full latihan, tante..”

“Ooh.. ya ampun Gigi.. ga usah repot-repot.. aduh kamu itu..” seru ibu Nue yang merasa sungkan pada Gigi yang membawa kado sebesar itu.

“Hehe.. nggak apa-apa lagi tante.. ini juga bukan kado dari Gigi aja, tapi juga anak-anak PSM yang lain..” terang Gigi.

Ia meletakkan kado itu di samping meja.

“Ya ampun.. Sampaikan makasih tante buat yang lain ya..” ujar ibu Nue.

“Iya tante.. eh, omong-omong, tante mau kerja lagi? Kok udah bawa tas?” tanya Gigi heran melihat pakaian ibu Nue yang sudah rapi dan sebelah tangannya menjinjing tas.

“Iya Gi.. Tante harus kerja lagi.. Kantor ga bisa ditinggal, lagi banyak orderan soalnya..”

“loh, terus kak Nue gimana tante?” tanya Gigi dengan nada sedikit khawatir, mengingat tidak ada yang akan menjaganya ketika ibu Nue pergi dan Gigi pergi berlomba.

Ibu Nue tersenyum mendengar pertanyaan Gigi. “Tenang Gi.. Tante sudah bilang ke susternya kok.. Mereka kan dibayar untuk ini..” jawab ibu Nue sambil mengerling nakal.

Gigi mengangguk-angguk sambil tertawa kecil. Ibu Nue benar juga. Sekarang ia tidak perlu khawatir meninnggalkan Nue sendiri.

“Ya sudah tante berangkat dulu ya.. nanti kalau kamu sudah bernagkat jangan lupa hubungi susternya dan tutup pintu kamar.” Pesan ibu Nue.

“Siap te!”

Ibu Nue pun membalas jawaban Gigi dengan senyuman puas. Setelah Gigi mencium tangannya ia pun beranjak pergi dari tempat itu.

Setelah pintu tertutup, barulah Gigi duduk dengan khidmat di samping ranjang Nue.
Selama hampir tiga minggu Nue terbaring di ranjang itu. Plester-plester luka yang mulanya merekat di wajahnya kini sudah hilang. Masih tampak bekas luka karena goresan beling yang berupa garis-garis putih kemerahan. Balutan perban di kepala Nue juga sudah dilepas. Meski luka-luka itu sudah mulai sembuh, namun ketidaksadaran Nue masih belum pulih juga. Wajahnya masih pucat seperti saat pertama kali ia dirawat. Perubahan penampilan Nue yang paling mencolok adalah pakaian yang ia kenakan. Sebuah sweater berwarna biru navy yang kalem, tidak terlalu gelap, juga tidak seterang biru langit. Tepatnya, warna biru itu seperi warna langit yang akan beranjak malam. Sweater itu tampak begitu hangat sekaligus sejuk juga nyaman saat dikenakan oleh Nue. Sweater itu pasti hasil rajutan ibu Nue. Hadiah dari ibu Nue.

Perlahan, Gigi membelai rambut yang menutupi dahi Nue. Belaian demi belaian Gigi usapkan dengan begitu dalamnya.

“Selamat ulang tahun kak..”

Sungguh ironis memang. Seharusnnya Nue hari ini bisa menikmati hari kelahirannya dengan menyaksikan lomba LPSAF. Lomba yang ia perjuangkan selama ini. Tapi tepat saat lomba itu digelar, Nue harus terbaring disini. Ditemani dengan sebuah lampu putih yang redup di ruangan yang sunyi.

“Oh iya.. Aku bawa hadiah untuk kakak..” ujar Gigi. Diambilnya hadiah besar di samping meja. “Tadaa…”

Gigi memamerkan sebuah tas hitam dengan sebuah pita biru di ujungnya. Kado itu memang tidak dibungkus denga kertas kado, karena bentuknya yang tidak memungkinkan utuk dibungkus. Tas itu memang tidak berbentuk kotak, melainkan meliuk-liuk seperti angka delapan bertangkai. Ya, itu sebuah tas gitar.

“Hehe.. Bisa ditebak kan, isinya? Aku buka ya…” ujar Gigi. Ia pun membuka pita diujung tas lalu membuka risleting yang menutup tas itu. Dengan hati-hati Gigi menarik keluar benda di dalam tas itu. Sebuah gitar akustik dengan warna biru tua bergradasi biru navy. Persis seperti pemandangan langit yang beranjak malam. Gigi bukannya ingin ikut-ikutan ibu Nue dalam pemilihan warna, tapi ia khusus memilih warna biru karena memang itu warna kesukaan Nue. Disamping itu, Gigi juga mempertimbangkan arti nama ‘lazuardi’ sendiri.

“Hehe.. maaf kak. Mungkin ini bukan gitar mahal seperti yang kakak punya atau inginkan, tapi gitar ini aku beli dengan uang tabungan aku sendiri.. aku juga pilihkan warna kesukaan kakak. Kualitasnya juga lumayan. Aku minta Adrian yang mengecek kualitas juga mensetting senar-senarnya. Jadi.. aku harap kakak suka..” ujar Gigi dengan ekspresi agak malu.

Kini ia membuka kebohonngannya sendiri, bahwa kado itu adalah hasil patungan teman-teman PSM. Ia rela menggunakan uang yang selama ini ia tabung untuk ia gunakan membeli ponsel baru. Itu semua ia lakukan demi Nue. Berharap dengan kado itu, Nue bisa membuka matanya.

Namun nampaknya Nue masih diam saja. Seolah tidak tertarik dengan kado Gigi. Gigi pun tersenyum lirih. Ia membenarkan posisi gitarnya, seolah ia akan memainkannya.

“Aku belajar gitar lo kak… Sekarang aku sudah beberapa lagu. Ehmm.. Sebenarnya cuma satu sih.. haha.. Lagu ini.. aku persembahkan khusus untuk kakak. Mungkin kakak ga tau lagu ini, karena ini lagu Jepang yang ga banyak didengar di Indonesia. Judulnya ‘Happibasude’ alias ‘happy birthday’. Aku harap kakak suka ya…” ujarnya.

Ia pun mulai menjentikkan jari jemarinya di atas senar gitar itu. Masih tampak kaku, tapi perlahan musik mulai mengalun.

“umaku hanashi ga dekinakute
hontou wa sumanai to omotteru
shibaraku nayandemo mita kedo
sono uchi tsukarete nemutteru..”

[i] ‘aku mungkin tidak bisa mengatakannya dengan baik
Tapi aku benar-benar minta maaf
Aku mencoba mengkhawatirkan hal ini untuk sementara
Tapi lalu merasa capai dan tertidur[/i]

“shuumatsu no kono machi no kuuki wa
hitoikire de musekaeri
fukaku tameiki wo tsuitara
gaitou SUPI-KA- ni kesareta..”

[i]‘Udara di kota pada akhir pekan
Tercekat oleh kehidupan
Dan ketika aku menghirup nafas dalam
Hal itu terhapus oleh speaker-speaker di jalanan.[/i]

“sore rashii kotoba wo narabetemo
tsutawaru koto nado hajime kara nai..”

[i]‘bahkan jika aku ingin merangkai kata yang tepat
Tidak ada pernah ada cara untuk mengatakannya padamu’[/i]

* nigiyaka na kono machi no sora ni
omoikiri hariageta koe wa
boku ni yasashiku shite kureta
ano hito e no Happy Birthday..”

[i]‘aku angkat suaraku
Ke atas langit kota yang bising
Untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya
Seseorang yang berarti untukku.[/i]

“nanika chiisana TORABURU de
hitodakari ni nomikomare
dareka no tsumaranai JO-KU ni
hon no sukoshi dake waratta..”

[i]‘aku punya sedikit masalah
Dan aku tertelan keramaian kota
Tapi aku tertawa sedikit
Pada sebuah lawakan bodoh seseorang[/i]

“itsuka kono machi no dokoka de
kimi to guuzen deattemo
nani wo hanashitara ii no ka
ima demo yoku wakaranai..”

[i]‘bahkan jika aku bisa bertemu denganmu
Di suatu tempat di kota ini suatu saat nanti
Aku tidak pernah tahu
Kata-kata yang tepat untuk kuucapkan[/i]

“hitotsu zutsu kowarete yuku sekai de
nagashita namida ni nan no imi ga aru..”

[i]‘Apalah artinya air mata yang menetes layaknya dunia yang hancur sedikit demi sedikit? ‘[/i]

“nigiyaka na kono machi no sora ni
omoikiri hariageta koe wa
dokoka tooku no machi ni iru
ano hito e no Happy Birthday.”

[i]‘aku angkat suaraku
ke atas langit kota yang bising
untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya
seseorang yang berada di kota yang jauh..’[/i]

Gigi menghentikan petikan gitarnya. Ia termenung oleh kata-kata yang ia nyanyikan itu. Tak terasa setetes embun mengalir dari matanya. Segera ia hapus air mata itu. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Tenggorokannya terasa tercekat oleh kegetiran. Ia pun meletakkan gitar pemberiannya di meja di samping ranjang Nue dan ia berdiri dari kursinya.
Waktunya tidak banyak. Ia harus segera pergi ke kampus untuk persiapan lomba. Ia pun memandangi wajah Nue untuk terakhir kali sebelum ia pergi.

“Kakak.. Aku mau berangkat..” ujarnya lirih.

Nue tidak menjawab pertanyaan itu. Harusnya Gigi tahu itu. Nue tidak akan menjawabnya.
Akhirnya Gigi mencondongkan tubuhnya di dekat wajah Nue. Dibelainya lagi rambut di dahi Nue, dan dengan lembut ia mengecup dahi Nue. Tak terasa, sebuah air mata lagi lolos dari bendungan kelopak mata Gigi.mengalir menuruni pipi Gigi dan akhirnya menetes lembut di wajah Nue.

“Happy birthday kak.. Doakan yang terbaik untukku”isaknya.

Ia pun menjauhkan wajahnya dari wajah Nue, dan tanpa berbalik lagi ia meninggalkan tempat
Itu. Terlalu sedih. Terlalu sesak di dada.

Bahkan di hari spesial itu, Tuhan tidak juga membangunkan Nue dari tidur panjangnya. Kini Gigi tidak bisa berharap banyak. Gigi hanya bisa berharap,jika Nue bisa mendegarnya. Sebuah suara, suara hati Gigi.

‘Akankah suaraku sampai padamu? Dapatkah kau mendengarnya? Hati ini bernyanyi untukmu?’
***

“Untuk selamanya….

Suara tepuk tangan mengalir deras setelah penampilan salah satu tim peserta. Dua tim berikutnya yang maju adalah tim Gigi. Begitu tim sebelum Gigi berjalan berbaris menaiki panggung, tim Gigi digiring menuju sebuah ruang kosong. Di ruang itu, mereka menunggu dan melakukan sedikit pemanasan sebelum giliran mereka datang. Selama di ruangan itu, Gigi bisa mendengar suara tim sebelumnya yang bernyanyi dengan lantangnya. Suara-suara itu membuat hati Gigi ciut. Hal itu tidak saja terjadi pada Gigi, tapi mungkin pada semua peserta. Di depan mereka, Nurul tengah memberikan instruksi pemanasan. Meskipun ia berusaha menutupi, tapi tetap terlihat ekspresi tegang di wajahnya.

“Nah, teman-teman.. Malam ini adalah malam penentuan untuk kalian. Pada malam hari ini, semua usaha kalian, keringat kalian, pikiran kalian, akan dipertaruhkan. Jangan tegang, jangan takut.. karena ini adalah kompetisi. Menang atau kalah jangan dijadikan beban, yang penting kalian mampu menampilkan yang terbaik..”

Kata-kata Nurul terhenti. Suara tepuk tangan yang riuh terdengar menggema dari dalam ruangan. Seketika menambah suasana dingin di sekitar Gigi. Tangannya sudah sedingin es saat ini.

“Sudah waktunya. Mari sebelum kita maju, kita berdoa menurut agama masing-masing. Berdoa dimulai..”

Suasana pun hening. Semua peserta Tim PSM Sastra menundukkan wajahnya termasuk Gigi. Dalam doa yang terucap itu, tak lupa pula ia berharap agar Tuhan berkenan menyampaikan suaranya pada Nue.

“Selesai..” ujar Nurul.

Semua peserta pun mengangkat wajah sambil mengusap kedua tangan di wajahnya. Nurul mengangkat tangannya yang mengepal di udara.

“Untuk Sastra… Untuk Nue..!”

Dan sebuah suara serentak dan lantang memenuhi ruangan itu.

“Yooshh!!”
“Yossh.. kalau begitu, kalian bisa mulai.. good luck guys..” ujar Nurul.

Barisan pun mulai berjalan. Sebelum barisan berjalan seluruhnya, Adrian menyempatkan diri untuk menyalami tangan Gigi dan menggenggamnya erat. “Semangat…!” ujarnya.
Gigi tersenyum lebar. Ia pu membalas menepuk punggung tangannya dengan hangat. “Smangat!”

 

Barisan pun berjalan menuju panggung. Dalam barisan itu, sekilas mata Gigi menjelajah ruangan. Waktu seakan melambat. Ia bisa melihat MC yang membacakan nama Fakultasnya namun Gigi tidak bisa mendengar suaranya. Semua seolah berubah menjadi senyap. Setiap mata mengarah ke arah barisannya dengan berbagai makna. Ada yang dingin, ada yang hangat, ada yang tajam.. Gigi pun memalingkan wajahnya. Kini ia sudah berdiri di atas panggung. Tanpa ia sadari tangannya sudah tidak terasa dingin lagi. Waktu yang ia rasa melambat kini mulai berjalan normal kembali. Suara MC pun terdengar menggema di ruangan itu. Dirigen sudah mengambil posisi dan menundukkan badannya sebagai salam penghormatan. Setelah itu dirigen itu berbalik menghadap ‘tentaranya’. Tangannya sudah terangkat. Gigi tersenyum. Suara piano mulai mengalun bersamaan dengan bergeraknya tangan dirigen. Tiga ketukan lagi, bibirnya akan bergerak. Dua ketukan lagi, suaranya akan menggema di ruangan itu. Satu ketukan lagi…. dan semua akan digelarkan, semua masa-masa indah bersama Nue, semua kisah sedih maupun senang saat bersamanya, semua suara Nue yang ia rekam dalam kepalanya. Kini itu semua ia luap dan bebaskan, menjadi sebuah alunan kata-kata yang bernada. Yang setiap nadanya mengandung cerita.

“Kak.. dengarlah…”
***

Sementara itu, di rumah sakit. Nue masih terlelap di ranjangnya. Namun, sebuah gerakan kecil tampak dari matanya, sebuah embun yang perlahan meluncur di pipinya.

“Gi..gi..”

Suara langkah sepatu menggaung di koridor rumah sakit. Ibu Nue berjalan dengan raut letih. Disampingnya tampak seorang bapak-bapak paruh baya yang mesih mengenakan baju dinas.

“Cepet dong pak… “ ujar ibu Nue sambil memandang bapak itu.

“Iya sebentar to Bu.. kok buru-buru banget? Kan ada suster yang jagain..” ucap orang yang ternyata ayah Nue itu.

Memang benar jika Nue selalu berada dalam pengawasan pihak rumah sakit, tapi entah kenapa malam ini ibu Nue merasa berbeda. Perasaannya cemas tidak menentu. Dipercepat langkahnya menuju pintu kamar Nue yang sudah nampak dari ujung koridor. Begitu tangan ibu Nue menyentuh gagang pintu, gerakannya terhenti.

Suara nada putus-putus yang biasanya terdengar dari dalam kamar itu, kini berubah. Tidak lagi putus-putus melainkan sebuah nada datar. Seketika mata ibu Nue melebar, begitu juga raut wajah ayah Nue yang berbubah pucat.

Dengan cepat ibu Nue membuka pintu dan betapa terkejutnya ia ketika melihat keadaan putranya. Kakinya seakan lemas sampai ayah Nue harus menopang badannya. Air mata langsung membanjiri mata ibu Nue.

Daun pintu mulai bergerak menutup. Hingga tubuh ibu Nue dan ayah Nue menghilang terhalang pintu. Hanya sebuah nada datar dan sebuah jeritan pilu yang bisa terdengar dari dalam kamar itu.

“NUEEE….!!!!”

***
Di gedung Soetardjo.

Tangan Gigi kembali terasa sedingin es. Kini ia dan timnya sudah duduk kembali di kursinya masing-masing. Meski ia merasa timnya sudah melakukan yang terbaik, tapi tetap saja, hasil akhir menjadi sebuah pertimbangan untuk menjadi gugup.

Ketika Gigi mengangkat arlojinya, waktu sudah menunjukkan pukul 23.56. seluruh peserta lomba sudah memperdengarkan suara-suara merdu mereka. Kini semuanya duduk dengan kaku di ruangan gedung Soetardjo yang dingin. Menunggu pengumuman dari para juri yang kini tengah melakukan rapat.

“Hei..”

“Hei..” jawab Gigi. Dilihatnya Adrian yang duduk di sebelahnya.

“Gimana keadaanmu Gi?”

“Hmm… ga tau Dri… grogi banget..”

Adrian tersenyum kecil mendengar kata-kata Gigi itu. “Kita sudah menampilkan yang terbaik Gi.. menang atau kalah, dia pasti akan tetap bangga padamu.”

“Iya..” jawab Gigi dengan senyum simpul.

Selama ini memang kata-kata itu yang ditanamkan para senior di benaknya. Target menjadi pemenang hanya akan membebani pikiran. Jika kalahpun Gigi merasa tidak begitu peduli. Yang ia inginkan sekarang adalah cepat-cepat meninggalkan tempat itu, pulang dan tidur. Ini sudah lewat dari jam tidurnya. Matanya sudah semakin berat sekarang.

Sebuah suara seketika membuat matanya terbuka kembali. Begitu juga dengan peserta lain di ruangan itu, seketika semuanya menjadi tenang.

“Ini adalah saat-saat yang kita tunggu. Mari kita undang para juri untuk menaiki panggung dan membacakan pengumuman juara. Kepada para juri, disilakan.” Ujar MC.

Para juri pun datang. Langkah kaki mereka menuju panggung membawakan kesan dingin di sekitar ruangan. Membuat hati para peserta menjadi menciut.
Setelah memberikan beberapa patah kata dan evaluasi juri atas penampilan peserta secara umum, juripun membuka kertas hasil penjurian.

“Harapan tiga…”

Seketika mata Gigi memejam.

‘Ya Tuhan… Jangan Harapan Tiga.. jangan Harapan Tigaa…..’ bisik Gigi dalam hati.

Bukannya Gigi serakah dan tidak bersyukur, tapi bagi dia, usaha dan jerih payahnya selama ini masih kurang sebanding jika dihargai dengan label ‘Harapan Tiga’. Setidaknya Gigi ingin masuk ke dalam tiga besar atau Harapan satu. Perasaan cuek terhadap hasil lomba kini berubah menjadi ambisi
.
“Nomor urutan… 07”

Barisan yang duduk beberapa baris di depan Gigi bersorak. Tim Sastra termasuk Gigi hanya tersenyum kecil sambil memberikan tepuk tangan. Ternyata tim Fakultas tetangga mereka yang meraih Harapan tiga.

Selanjutnya dibacakan pengumuman harapan dua.lagi-lagi Gigi berdoa agar itu bukan timnya. Dan lagi-lagi doa Gigi terkabul. Sebuah barisan yang duduk paling depan bersorak ketika nomor mereka disebut.

Kali ini tangan Gigi merapat. Ia berdoa dengan suara keras dalam hati, karena pengumuman harapan satu akan dibacakan.

“Harapan satu, diraih oleh peserta dengan nomor urut…”

“10…10..10… “bisik Gigi yang terus menyebut nomor urut Timnya dalam doanya itu.

“Seee…..belas..!”

Seketika tangan Gigi lemas. Barisan di sampingnya bersorak girang, sementara timnya hanya bertepuk tangan lemas. Pengumuman harapan satu, dua dan tiga sudah dibacakan, apa mungkin tim mereka berpeluang menempati posisi tiga besar?

Gigi kembali merapatan tangannya, dan berdoa,’juara tiga please…..juara tiga….’

“…dan, yang menempati posisi juara ketiga adalah…”

‘sepuluh…sepuluh…sepuluh….’

“seee…….”

‘..puluh… pliss… sepuluh…..’

“…embilan!”

Seketika tangan Gigi terasa lemas. Ia turunkan tangannya di samping kursi, membiarkannya menggantung lemah. Empat posisi dari enam besar sudah dibacakan, dan tidak ada nomor tim Gigi yang disebut. Bahkan untuk juara tiga. Denga kata lain, Gigi sudah tidak memiliki harapan lagi. Kini Gigi menyesal sudah berdoa agar timnya tidak meraih gelar harapan dua dan tiga.

Adrian yang melihat sikap Gigi dari tadi hanya menghela napas panjang. Di rangkulnya pundak Gigi dan mengguncangnya pelan.

“Tenang… kita udah menampilkan yang terbaik..” ujarnya.

“Iya Dri.. Aku tahu.. tapi… aku sudah mengorbankan banyak hal di lomba ini. Terlalu banyak.. dan aku ga mau berakhir disini tanpa bisa meraih apapun? “

“Empat belas..!!”

Suara yang sangat riuh langsung menggema di ruangan itu. Tubuh Gigi terasa makin lemas dalam rangkulan Adrian. Peraih Juara kedua sudah diumumkan. Jelas tidak ada lagi tempat bagi Timnya untuk meraih posisi 6 besar. Tidak mungkin timnya secara mengejutkan menjadi Juara satu. Gigi juga bisa melihat raut muka para senior yang tersenyum pasrah.

“Lalu.. apa yang bisa aku katakan nanti jika Nue bangun? Aku ga tega Dri.. kalau ngelihat wajahnya yang kecewa.. Dia sudah melatih aku mati-matian.. Dia sudah banyak berkorban waktu dan tenaga untuk melatihku, membuat aku yang semula ga bisa nyanyi menjadi bisa nyanyi..”

“Dan.. juara pertama, diraih oleh nomor urut….”

Adrian mengguncangkan genggamannya di pundak Gigi. “Ga boleh gitu Gi… kamu udah berusaha yang terbaik kok.. aku yakin Nue ga akan pernah kecewa sudah melatih kamu.” Ucap Adrian.

Gigi hanya terdiam. Hingga suara juri kembali terdengar.

“Sepuluh.”

Seketika mata Gigi melebar. Waktu seolah berhenti dan suara berhenti bergerak. Dengan perlahan ia menoleh ke arah Adrian yang juga melongo padanya. Hingga akhirnya..
“Waaaaaaaaaaa..!!!!!!”

Jerit kegembiraaan terdengar memenuhi ruangan.Gigi seketika meloncat dari kursinya. Teman-temannya langsung mengerubunginya dan merangkulnya.

“Juara satuu…!!!!” teriak Gigi.

Adrian hanya tersenyum lebar melihat Gigi yang meloncat-loncat girang sambil berangkulan dengan teman-temannya yang lain, meneriakkan dua kata yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.

“Juara satu…! Juara satu…!!”

Selebrasi berlangsung dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk. Dari matanya yang mungil, Gigi bisa melihat wajah para senior juga teman-temannya. Wajah teman-temannya tampak ceria dan tertawa lepas, dilihatnya pula para senior yang saling berpelukan. Ia bisa melihat Nurul yang menangis dalam rangkulan Omi.

Ya, ini memang prestasi terbaik Sastra dalam kancah perlombaan Paduan Suara. Sudah pasti kakak-kakak senior menjadi terharu,melihat adik-adik yang mereka cetak berhasil meraih posisi tertinggi.

Tiba-tiba Gigi bisa merasakan pundaknya ditepuk. Ia pun menoleh. Senyum lebarnya perlahan memudar. Dilihatnya Grace berdiri di depannya dengan senyum yang lebar. Diulurkannya tangannya ke arah Gigi.

“Selamat ya.. ternyata aku dulu salah menilai kamu.”

Gigi terhenyak. Grace yang ia tidak suka itu mengucapkan selamat padanya. Sebenarnya ia juga tidak begitu suka sampai sekarang, terlepas dengan apa yang ia lakukan pada Nue, tapi pada akhirnya Gigi meraih tangan itu dengan mantap.

“Iya kak… terima kasih..” ujarnya.

Dan sejurus kemudian Grace memeluk tubuhnya cukup erat. Gigi bisa merasakan pundaknya basah dan hangat.

“Aku minta maaf Gi.. ternyata memang Nue yang benar… Nue pasti bangga liat kamu Gi..” isaknya di bahu Gigi.

Gigi hanya tersenyum. Dia tidak menyangka jika kisahnya dalam paduan suara akan berakhir seperti ini. Orang yang semula ia benci kini merangkulnya dengan tulus, mengucapkan kata-kata yang membuat hati Gigi tersentuh. Bukan, bukan karena Gigi puas karena Grace mau mengakui kesalahannya dulu, tapi lebih karena nama orang yang ia sebut.

‘Ya.. Ini berkat kak Nue.. Andaikan saja.. dia ada disini..’ gumam Gigi dengan getir.

Waktu seolah melambat kembali. Dalam dekapan Grace itu, perlahan Gigi tidak bisa mendengar suara-suara yang lain lagi. Semuanya seolah berjalan lambat tanpa suara.
Perlahan ia melepas rangkulan Grace, dan dari belakang bahu Grace, mata Gigi menangkap sesuatu.

Mata Gigi melebar. Dalam bayangan di matanya, tampak sosok Nue yang tersenyum padanya. Jauh di belakang, diantara kerumunan para peserta yang meloncat kegirangan. Ia melihatnya!

“Ka… Kak Nue..” bisik Gigi.

Segera saja ia berlari menerobos kerumunan itu. Ia tidak lagi menghiraukan suara teman-temannya yang memanggilnya. Tampak Grace yang menoleh heran ke arah Gigi. Begitu juga Adrian yang memandangi Gigi dengan tatapan sendu.

Sementara itu, Gigi berusaha keras menembus kerumunan yang padat. Tak jarang ia harus terjepit bahkan nyaris jatuh karena tersandung kaki orang-orang itu. Tapi ia tidak mempedulikan itu semua. Semua rindu, kebahagiaan, dan semangat yang bergemuruh di dadanya. Matanye tertuju lurus ke depan, ke arah Nue tersenyum padanya. Berharap dia masih disana menunggunya.

“Kak Nue..!” serunya begitu ia berhasil menembus tembok manusia itu.

Tapi langkahnya terhenti dengan getir, saat di pintu itu, ia tidak bisa melihat sosok Nue lagi.

Senyum yang semula menggantung cerah di wajahnya perlahan memudar, menjadi sebuah kegetiran yang dalam.

Digerakkan kakinya dengan berat keluar dari gedung itu. Area parkir gedung itu sudah mulai sepi. Semua orang pasti sudah memeasuki gedung untuk merayakan kemenangan, atau sekedar datang menyemangati peserta-pesertanya yang gagal.

Di sebuah kursi panjang, Gigi duduk dengan lesu. Kegirangan yang tadi sempat mencerahkan hatinya kini seolah berubah menjadi cahaya temaram yang berkelip redup. Bayangan Nue tadi membuatnya teringat akan kesedihannya. Semua asa, semangat dan kebahagiaan yang semula bersorak dihatinya kini mulai sirna. Terganti oleh rindu dan kesedihan yang dalam.

Gigi menutup wajah dengan kedua tangannya, membiarkan kegelapan menjadi wadah untuk air matanya.

“Kak Nue… dimana kamu? Andai saja… andai sajaa…”isaknya parau.

Bahkan kegembiraan yang ia rasakan saat menjadi juara dapat hilang dalam sekejap mata. Yang ia rasakan kini adalah dingin dan sendiri. Ketidakhadiran Nue di sisinya membuat semuanya gelap kembali. Memunculkan beribu kata ‘andai saja’ yang justru membuat hatinya makin tercekik dan air matanya terperas kuat, dan terbendung di kelopak matanya yang kian rapuh.

Hingga sebuah suara yang dalam mulai menuntun kesadarannya untuk kembali.

“Aku disini..”

Perlahan Gigi menurunkan tangannya. Wajahnya tampak melongo saat tangannya tersingkap. Dalam sorot redup lampu Gedung Soetardjo itu, Gigi bisa melihat seseorang yang berdiri di depannya. Sosok berbaju sweater biru yang selama ini hanya terbaring lemah di rumah sakit.

Wajah itu tampak tersenyum padanya. Lalu ia mengulurkan tangannya dan mengacak-acak rambut Gigi.

“Hei.. Kenapa bengong…?? Hahaa….”

Tapi Gigi masih terdiam. Hingga wajah Gigi merengek. Bulir-bulir air tampak menggenang penuh di mata Gigi.

“kakak…. aku … nggak sedang bermimpi kan?” isaknya.

Nue tersenyum mendengar itu. Dicubitnya perlahan pipi Gigi lalu ia membungkukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Gigi.

“Bukan mimpi kan..” bisiknya dengan senyum nakal.

Satu bulir air suskses meluncur di pipi Gigi. Tapi ia masih terdiam dan tangannya gemetar dengan hebatnya. Dengan suara yang parau ia berkata, “Apa boleh? Apa boleh aku sekarang peluk kakak..?”

Nue terhenyak sesaat, hingga akhirnya ia merentangkan tangannya dan tersenyum.

“Seutuhnya milikmu Gi..” bisiknya.

Dan seketika ia merasakan tubuhnya terkunci. Gigi memeluknya dengan erat dan ia membenamkan wajahnya di dada Nue. Tidak ada satu katapun yang terucap dari mulut Gigi selain isakan dan erangan yang tertahan.

Nue tersenyum tipis dan tangannya mengelus kepala Gigi.

“Maafin kakak Gi… Aku selama ini begitu bodoh.. ya.. aku memang selalu berbuat hal bodoh… Aku selalu bingung dengan perasaan aku sendiri. Aku selalu mencoba membohongi diriku sendiri ketika aku berpikir kalau aku mencintai kamu.. tapi.. dalam tidur panjangku, aku sadar.. dalam gelapnya pandanganku aku bisa mendengar. Mendengar suara-suara yang aku sendiri ragu darimana asalnya. Aku pikir itu suara malaikat yang akan menjemputku. Tapi akhirnya aku tahu, itu suara seseorang. Seseorang yang aku rindukan selama ini..”

Nue menurunkan tangannya dari kepala Gigi, beralih di punggungnya, dan ia memeluk tubuh Gigi dengan hangatnya, seolah tidak ingin ia lepas lagi.

“Yaitu kamu Gi…”

Dan Nue pun mengecup lembut kening Gigi. Dalam dekapannya itu, Gigi hanya bisa membisu dan menangis. Membiarkan setiap tetes kerinduan, kesedihan dan penyesalan yang ia tanggung selama ini jatuh menjadi tetes air yang meresap ke tanah. Membiarkan hatinya yang kosong terisi oleh kehangat pelukan Nue.

Sedangkan di kejauhan, Adrian berdiri terpaku. Dilihatnya dua insan yang tengah berpelukan, melepaskan setiap jengkal kerinduan yang dalam. Adrian hanya bisa tersenyum dan akhirnya membalikkan wajahnya.

“Selamat Gigi… Akhirnya kamu bisa kembali pada langitmu.. dan aku akan kembali menunggu di bawah. Menatap iri awan dan langit di atasku, sambil berharap suatu saat, ‘bumi’ ini bisa berubah menjadi ‘langit’ untuk sang ‘awan’.”

“Aku mau kok Dri…”

Adrian hampir melompat kaget ketika ia berbalik, Radit sudah berdiri di depannya dengan senyum lebar.

“Heh.. ngapain kamu disini??!!” seru Adrian gelagapan.

“Sama kayak kamu.. Lagi liatin cowok gay peluk-pelukan” jawabnya ringan.

Seketika Adrian menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kali ini jangan berbuat macem-macem. Sekalipu kamu seniorku, kalo sampe kamu nyebarin hal ini, aku ga akan tinggal diam.”

Radit termenung mendengar ancaman Adrian itu hingga akhirnya ia menepuk pundak Adrian sambil tertawa kecil.

“Hahaha.. Tenang aja kali.. Nue juga kan temenku.. Lagian kalo ternyata dia juga sesama gay, aku ga akan nyusahin dia. Dulu aku gosipin dia juga buat ngecek apa dia gay atau bukan. Dari reaksinya yang langsung jauhin Gigi aja udah keliatan kalau dia punya bibit-bibit gay, hahaha…”

Adrian mendengus kesal melihat sikap radit yang santai juga melambai itu, tapi dia juga harus kagum karena penilaiannya yang begitu akurat.

“Ehem… Udah deh Dri.. Kalo Gigi nggak mau, aku mau kok..”

Kini Radit merapat ke arahnya, langsung saja Adrian menghindar dengan risih. “Iish… Apaan sih??!”

Radit terus saja mengikutinya dan terus menggodanya. “Ayoo… Jadi pacar semalem juga nggak apa-apa..”

“Hah?? Ogaaah..!!!” langsung saja Adrian berlari meniggalkan radit.

‘Ya Tuhan.. Jadi ginikah perasaanmu Gi, kalo ada orang kegenitan ngerayu-rayu kamu?? Huaaaahhh..!!’
***

Ibu Nue menutup mulutnya dengan air mata deras membasahi pipinya. Dengan dituntun oleh ayah Nue, ia mendekati tubuh Nue. Nue tampak dengan acuh mencoba melepas selang infus yang menembus nadinya. Sementara kabel ECG sudah tergantung lemah dan membuat mesin itu tak hentinya mengeluarkan bunyi monoton.

“Nue…!!”

Dan ibu Nue pun memeluk erat tubuh Nue, sedangkan ayah Nue segera membuka pintu dan memanggil dokter.

“Nue….. Kamu sadar nak..? hug… Ibu rindu nak….” isak ibu Nue setengah histeris.

Nue hanya tersenyum tipis. Dibiarkannya selang infus di tangannya, dan ia mengelus punnggung ibunya itu.

“Iya bu… Ini.. Aku kenapa? Kok aku bisa disini?”” tanya Nue polos.

Cukup lama ia menunggu jawaban dari ibunya yang masih menangis pilu dalam dekapannya hingga ibu Nue menatap wajahnya dan mengelus pipi Nue.

“Kamu koma nak.. kepala kamu terbentur saat kamu kejang, jadi harus dirawat disini.” Ujarnya. Tampak matanya yang basah memendam kebahagiaan yang begitu dalam.

Tak lama kemudian suster-suster datang. Mereka segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada Nue. Selama itu, wajah Nue tampak termenung. Saat ia palingkan wajahnya ke arah samping, ia melihat sebuah gitar yang bersandar di samping meja, menghadap dirinya. Sebuah gitar berwarna biru yang seolah mengingatkannya pada seseorang.

“Bu.. ini… punya siapa?” tanya Nue.

Ibu Nue mlihat ke arah yang ditunjuk mata Nue. Lalu ia tersenyum pada Nue. “ Itu Gigi yang bawa.. katanya itu adalah kado dari teman-teman PSM.”

Alis Nue berkerut. “Kado? Gigi?”

“Iya nak.. kamu kemarin berulang tahun..sekarang Gigi dan teman-temannya sedang berjuang di lomba..”

Mata Nue segera melebar. Kini ia baru sadar. Ternyata dia sudah terbaring cukup lama, dan kini ia terbangun tepat saat lomba berlangsung. Lomba dimana seseorang sedang memperjuangkan nasibnya.

Dengan tiba-tiba, Nue bangkit dari ranjangnya hingga mengagetkan suster-suster yang memeriksanya.

“Loh.. kamu mau kemana Nu?” tanya ibu Nue panik.

“Aku harus ke Kampus, bu… Aku harus pergi..” serunya. Ia pun menoleh ke arah suster-suster di sampingnya sambil menyodorka tagannya yang diinfus. “Lepasin infusnya..!”

Ibu dan Ayah Nue segera saja menahan tubuh Nue. “Tapi kamu belum pulih nak..”

“iya Nu.. sabar.. kamu istirahat dulu, besok ayah minta temen-temen kamu kesini..”sambung ayah Nue.

“Nggak yah, bu.. ini adalah malam yang sangat penting buat Nue. Nue harus kesana!”
***

Ibu Nue mengakhiri ceritanya dengan hembusan napas dalam dan gelengan kepala prihatin. Disampingnya, duduk Gigi yang tertawa geli mendengarnya. Sedangkan Nue tampak cuek sambil memainkan gitar yang diberikan oleh Gigi.

“Ya ampun kak Nue.. Nekat banget..” seru Gigi. “Terus tante ijinin? Naik apa? Soalnya malam itu kak Nue ga bawa sepeda tuh, pas balik.”

“Iya udah akhirnya tante sama Om ijinin. Nue kan keras kepala orangnya. Tante terpaksa panggilin taksi buat dia.” Ujar ibu Nue sambil menatap Nue denga bibir manyun. “Akhirnya Om sama Tante yang harus diem dimarain dokternya. Huuuh… Nue.. Nue… “

Gigi tertawa dengan puasnya. Tidak ia sangka Nue bisa begitu nekatnya, bahkan sampai maksa nyopot infus segala, dan akhirnya minta tolong suster juga. Ckck…

Nue menghela napas dalam lalu ia berdiri. “Gi.. Keluar yuk..” ujar Nue pada Gigi.

Gigi dan ibu Nue spontan heran.

“Loh.. mau kemana?? Udah malam lo ini..” cegah ibu Nue agak panik.

“Ya nganterin Gigi pulang lah Bu.. Udah malam, nanti kos-kosannya dikunci..”

Belum sempat Gigi ingin menyanggah kata-kata Nue itu, karena gerbangnya tidak dikunci sampai pukul 00.00, Nue sudah meraih tangannya dan menariknya.

“Ya sudah.. Jangan pulang malam-malam..!!” seru ibu Nue yang melihat Nue dan Gigi meninggalkan kamar Nue. Namun untuk beberapa saat ibu Nue termenung.

“Sebentar… Nganter aja kok bawa gitar??”

Di tempat parkir, Nue menyerahkan tas gitarnya pada Gigi sedangkan ia menaiki motornya. Gigi melihat takut-takut ke arah Nue yang tengah menghidupkan mesin sepeda motornya. Ia takut Nue akan marah karea Gigi meertawakannya. Suara mesin motor Nue sudah terdengar. Nue pun menoleh ke arah Gigi yang diam di tempatnya.

“Loh.. Kenapa? Kok ga naik?” tanyanya.

“Kakak…. Bener-bener mau nganter aku pulang?” tanya Gigi takut-takut.

Seketika Nue tersenyum. “Nggak dong… ayok naik dulu..”

Perasaan takut Gigi berangsur menghilang berganti dengan senyum simpul. Ia pun menaiki motor Nue dan motor itu bergerak meninggalkan tempat itu.

Diperjalanan, Gigi menikmati momen itu, saat angin mendera wajahnya dan kilas-kilas cahaya melewatinya, membawa sebuah ingatan lama yang indah.gigi tidak tahu mau kemaa Nue ‘kan membawanya pergi, tapi Gigi tidak peduli. Dia sangat merindukan momen ini, saat ia dan Nue duduk berboncegan. Sudah lama sekali..

Setelah kejadian di gedung Soetardjo saat itu, kini hatinya tak lagi terbelenggu. Kini ia tahu kalau Nue juga mencintainya dan sudah menjadi milik Gigi seutuhnya. Perjuangan Gigi selama ini akhirnya terbayar. Dengan sedikit ragu, ia mengulurkan tangannya dan mengalungkannya di tubuh Nue.

Nue menoleh ke arahnya dari kaca spion lalu tersenyum. Gigi membenamkan wajahnya di punggung Nue. Ini adalah hal yang sangat Gigi inginkan dari dulu. Memeluk tubuh Nue dengan erat dan tak ingin ia lepas lagi. Ternyata begini rasanya. Begitu hangat dan nyaman, seolah tidak akan ada apapun hal yang bisa mengancamnya ketika ia berada dalam dekapan Nue. Gigi tidak pernah merasa sebahagia ini.

Akhirnya motor Nue berhenti di sebuah jalan kecil. Dengan berat Gigi melepaskan pelukannya dan turun dari motor. “Ini….” gumam Gigi saat melihat ke sekelilingnya.

Jalan kecil itu terletak di kaki sebuah bukit yang Gigi kenal. Setelah Nue mengunci setir sepeda motornya, segera saja ia mengambil tas gitar yang Gigi gendong dan ia menutun tangan Gigi menyusuri jalan setapak menuju bukit itu. Gigi tahu betul bukit itu. Ia biasa memandangi bukit ini dari jendela kamarnya.

Hati Gigi langsung berdegup kencang. Ini adalah hal yang sangat ia impikan dari dulu. Begitu mereka sampai di atas bukit, keduannya duduk di atas sebuah dudukan dari batu. Gigi segera mengenakan kapucon jaketnya.

Waktu yang beranjak larut membuat jalanan tampak sepi. Sosok keduanya tertutup oleh bayangan pepohonan disana, menyembunyikan kenyataan bahwa keduanya adalah laki-laki.

Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Sesekali Gigi menoleh ke arah Nue yang termenung menatap jalanan. Sepintas, Gigi khawatir, jika Nue akan teringat pada masa lalunya bersama Grace.

“Maaf Gi…”

Suara Nue tiba-tiba mengejutkan Gigi. Perlahan ia menoleh ke arah Nue yang masih menatap kosong ke jalanan.

“Maaf buat apa kak?”

Wajah Nue tertunduk, tangannya ia simpulkan, dan dengan getir ia berkata, “Maafin kakak yang dulu sudah nyakitin kamu..”

Seketika Gigi terdiam. Teringat peristiwa di malam itu. Di malam sebelum Nue koma. Jujur, luka itu masih ada, meski sudah dijahit, namun masih menimbulkan bekas samar.

“Malam itu.. aku bingung dengan pikiranku sendiri. Pikiranku kacau saat aku mendengar Adrian nembak kamu. Padahal saat itu, aku juga ingin mengungkapkan perasaanku ke kamu. Di luar pintu, aku dengar bagaimana Adrian mengungkap penderitaan kamu selama ini, selama kamu ada di sampingmu. Aku dengar bagaimana tulinya aku yang ga bisa mengerti perasaanmu.. aku… aku saat itu menyadari, kalau aku ga pantas buat kamu..

“Aku bingung Gi… di satu sisi aku masih enggan melepas kamu ke Adrian, tapi di satu sisi yang lain, kata-kata Adrian itu benar.. dia lebih baik daripada aku. Aku…”

Kata-kata Nue terhenti ketika jari Gigi menyentuh bibirnya.

“Jadi karena itu? Kakak cemburu..?” tanya Gigi.

Nue memandang Gigi dengan sendu, hingga akhirnya ia kembali menundukkan wajahnya.
“Ya..”

Gigi masih bisa melihat kalau wajah Nue bersemu merah.

“Berarti masalah kak Grace itu..”

“Itu cuma menambah kebingunganku Gi.. “ potong Nue. “Sebenarnya aku sendiri sudah tidak begitu peduli dengan Grace dan kebohongan-kebohongannya. Tapi yang terakhir itu, menyulut emosiku. Perasaanku bercampur aduk dan aku ga tau bagaimana cara aku mengungkapkannya.

“sebenarnya aku ga ingin membentak kamu saat itu. Semua yang aku rasakan justru menjadi kebalikannya saat aku ugkapkan. Saat aku ingin berada dalam dekapanmu, aku justru mendepakmu. Aku benar-benar… arrghhh…”

Gigi termenung melihat Nue yang mengacak-acak rambutnya. Ia teringat akan kata-kata ibu Nue.

‘Dia juga sangat tertutup jika ada masalah. Padahal kadang dia juga bingung harus bagaimana untuk menghadapi masalah itu. Akhirnya tidak jarang dia bersikap bodoh.’

Kini semua jelas. Nue tidak pernah sekalipun membenci Gigi. Ia hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Itu semua karena Nue yang tidak pernah mengungkapkan perasaannya keluar. Sama seperti surat itu. Nue tampak begitu tegar dan kokoh tapi di dalam dia rapuh dan tipis seperti kertas.

Dirangkulnya tubuh Nue untuk membuatnya lebih tenang.

“Udah kak.. Aku nggak apa-apa kok.. kalo cuma digituin sih nggak ada apa-apanya.. perasaanku ke kakak nggak aka pernah berubah. Apalagi setelah tahu kalau sebenarnya kakak cemburu sama aku.. haha..”

Nue menoleh ke arah Gigi lagi. Alis matanya menurun sendu. “Jadi.. kamu dan Adrian…”

Seketika Gigi tertawa. “haha.. nggak lah.. aku dan dia bersahabat.” Lambat laun tawa Gigi mulai mereda dan digantikan dengan senyum lirih “Sedih memang, malam itu aku harus jelasin ke dia, kalau perasaanku ga bisa diubah.. aku ga mau memberi harapan palsu ke dia.. pada akhirnya aku lega, karena dia mau mengerti.”

Nue termenung. Sedalam itukah perasaan Gigi padanya? Entah kenapa hati Nue terasa begitu hangat. Sudah lama ia tidak merasakan perasaa seperti ini. Bahkan Grace tidak mampu menciptakan perasaan seperti ini padanya. Ternyata, di dunia yang ia pikir tidak akan ada yang mencintainya dengan tulus, masih ada satu orang, yang setia menunggunya. Yang senantiasa tersenyum untuknya, bernyanyi untuknya, tanpa melihat siapa dia, berapa uangnya, sehatkah dia, cacatkah dia. Orang yang tetap teguh mencintainya meski ia juga tidak tahu apakah Nue akan mencintainya atau tidak. Orang yang tetap mencintainya meski ia sendiri sering tersakiti. Orang itu.. yang kini duduk di sampingnya, merangkulnya dengan hangat.

“Terimakasih Gi..” bisiknya.

Sekilas Gigi tersenyum. Lalu ia mengambil tas gitar yang Nue letakkan di sampingnya.

“Ini… Terimakasih aja ga cukup. Nyanyiin aku sebuah lagu, baru aku puas..” Gigi menyodorkan gitar berwarna biru ke hadapan Nue.

Dengan ragu Nue meraih gitar itu. Ditatapnya wajah Gigi sesaat. Gigi mengangguk padanya, tanda ia harus memaikan gitarnya. Nue pun tersenyum, dan jari jemarinya mulai menari di atas senar-senar gitarnya.

Malam terasa begitu lengkap bagi Gigi. Semua yang ia impikan selama ini teryata buka mimpi belaka. Malam ini Nue duduk di sisinya, menyanyikan lagu ‘Talking to the Moon’ untuknya diiringi dengan gitar pemberiannya. Dipandangnya wajah Nue yang asik dengan gitarnya.

“somewhere far away…”

Nue pun mengakhiri lagunya. Dilihatnya wajah Gigi, memastikan apa dia puas dengan lagu yang ia bawakan itu. Tapi ia tertegun ketika Gigi justru menyandarkan kepalanya di bahu Nue.

“I was no longer in ‘somewhere far away’.. i’m in your side now.. and always will be..”

Hati Nue berdegub kencang. Tampak wajahnya yang bersemu saat Gigi mengatakan itu di bahunya.

Akhirnya, Nue pun memiringkan kepalanya, sehingga kepala mereka saling bertemu.

Saling membisu dan memejamkan mata. Di bawah langit yang gelap, ditemani dengan bulan sabit yang bersinar temaram, keduanya saling terpaut. Mencoba mendengarkan suara hati masing-masing. Gigi merasa bersyukur. Pilihannya untuk masuk paduan suara tidak percuma. Dengan sebuah partitur lagu, ia bisa mengenal Nue. Dengan sebuah lagu ia bisa duduk berdampingan dan berbagi kesedihan dengan Nue. Dengan sebuah lagu, ia bisa mengungkapkan perasaannya pada Nue. Dengan sebuah lagu ia mengucapkan selamat ulang tahun pada Nue. Dan dengan sebuah lagu pula ia berhasil membuktikan kebenaran pilihannya, dengan lagu itu pula ia kembali dipertemukan dengan Nue.

Bertemu dalam lagu, bersatu oleh lagu.

Setiap hati menyanyikan lagu-lagu yang mengalun jernih, sebuah musik yang tidak terdengar oleh orang lain, sebuah musik yang tidak mengenal nada fals, semua musik itu mengalun apa adanya. Musik itu tidak bisa diubah oleh siapapun. Musik itu bisa menerobos kegelapan. Meskipun telinga bisa angkuh dan bertingkah tuli, toh musik itu akan meresap ke dalam hati. Meski tenggorokan ini tak mampu bersuara, toh musik itu tidak melalui teggorokan dan bibirmu. Musik itu tidak perlu bagus hanya di bibir dan gitar, tapi dari hati. Itulah yang Gigi pikir dan ia sudah membuktikannya.

“Kak..”

“Hmm?”

“Bisakah kakak dengar, kalau hatiku bernyanyi untuk kakak?”

“Tentu… karena aku sedang menyanyikan lagu yang sama.”

“Oh ya?”

Nue mengangkat kepalanya dan dengan lembut ia menarik tubuh Gigi hingga meghadap wajahnya. Mata Gigi tampak melebar dan wajahnya bersemu merah ketika wajah Nue hanya berjarak beberapa inti di depannya. Wajah itu tersenyum padanya hingga bibirnya mendekat ke bibir Gigi.

“Terima Kasih….”

Sebuah kecupan hangat menyentuh bibir Gigi. Mata Gigi melebar. Jatungnya seakan ingin melocat keluar. Dalam keadaan yang membuatnya seakan tidak mampu bergerak lagi itu, ia hanya bisa memejamkan matanya, menikmati setiap detik yang mengalir lambat dan ia bergumam dalam hati.

‘Ya.. Terimakasih kak… Terimakasih sudah menjadi langit untuk awan ini.. Terima kasih… Aku pasti tidak akan lepas darimu kak.. Selamanya, hati ini akan bernyanyi untukmu..’

[b]THE END[/b]

 

Terima Kasih
By Jamrud

Lelah menghitung hari
Entah berapa lama
Kita berbagi rasa

Dan bukan hanya dalam mimpi
Kau tetap tersenyum dengan sejuta kasih

Hati ingin mengucap pasti

Terima kasihku
untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Kujadi tersenyum bila ada didekatmu

Terima kasihku
untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti kujaga semua ketulusanmu

Hari yang kita bagi
Kadang ada kesal benci dan caci maki
Tapi kau tak pernah tergoda
Jadikan alasan dendam di hati

Kasih, dengarkan aku nyanyikan janji suara hati ini
Genggam semua kataku simpan di hati
Kasih, kaulah bungaku di alam mimpi di alam sadarku
Masuk ke sel darahku dan setiap inci tubuh ini

Terima kasihku
untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Kujadi tersenyum bila ada didekatmu

Terima kasihku
untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti kujaga semua ketulusanmu

Terima kasihku…

 

 

 

HYMN OF MY HEART 19

 

Bar 19, The Blue Night

“Tahan ya..” ucap Adrian.

Sementara Gigi tampak memandang Adrian dengan wajah tegang dan pucat.

“Aa.. aww…” erang Gigi sambil memejamkan matanya.

Wajah Adrian yang semula tampak tegang kini mulai terlihat lega.

“Nih.. udah lepas..” ujarnya sambil memperlihatkan pecahan beling yang tadi sempat menancap di kaki Gigi.

Gigi menghembuskan nafas lega sambil kembali merebahkan punggungnya di sandaran kursi.
Adrian segera membuang beling itu di tempat sampah di dekatnya lalu mengoles sedikit revanol di telapak kaki Gigi.

“Kok bisa sampe gini sih Gi..?” tanya Adrian. Perhatiannya kini beralih pada wajah Gigi yang tengah melihat fokus lain.

“Panjang ceritanya.” Ucapnya datar.

“Karena itu, ceritakan Gi.. kali aja aku bisa..”

“udah Dri..”

Seketika Adrian menghentikan kata-katanya, begitu juga dengan tangannya yang berhenti mengoleskan revanol.

Gigi tampaknya menyadari kekhilafannya. Ia segera menundukkan wajahnya.“maaf Dri.. tapi aku ga mau bahas itu sekarang..”

Adrian tersenyum tipis. Diolesnya kembali luka Gigi dengan revanol. Setelah itu ia membalutnya dengan perban. Sesekali ia melirik ke arah Gigi yang kini memalingkan wajahnya ke luar jendela.

‘Aku kecewa.. punya adik seorang homo.’

“Uugh..!” Gigi memejamkan matanya rapat-rapat. Ingatan itu menyakiti kepalanya seperti kanker. Begitu tajam dan menusuk. Akhirnya Gigi hanya tertunduk di dalam dekapan tangan yang ia kalungka di lututnya.

Pemandanga itu seketika membuat Adrian merasa hatinya teriris. Bagaimana tidak? Cowok manis dan mungil yang ia kasihi itu, yang begitu berharga baginya bahkan terlalu mahal untuk ia miliki itu, tengah bersedih karena seseorang yang bahkan tidak pantas untuknya. Kini Gigi tampak begitu rapuh di matanya. Bagai laron yang kehilangan sayap dan menunggu untuk disapu keesokan paginya dalam keadaan tak bernyawa.

Jujur, Adrian sangat menyesali sikap Gigi. Bagaimana dia bisa memilih Nue? Ketika di depannya tampak jelas sebuah pintu yang terbuka, kenapa ia harus menunggu pintu yang terkunci?
Namun Adrian tidak bisa sepenuhnya bisa menyalahkan Gigi. Dia jugalah yang ‘mungkin’ menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja dulu ia tidak malu untuk mengungkapkan perasaannya, mungkin dia masih memiliki lebih banyak waktu untuk membuat pikiran Gigi pada Nue berubah. Tapi apa daya? Pengandaiannya hanya tinggal andai-andai saja. Tidak bisa membuat Gigi tersenyum sekarang.

Mungkn hanya ada satu hal yang bisa Adrian lakukan. Ia berdiri dari tempat ia duduk, dan kini ia duduk di sisi Gigi. Agak ragu, ia ulurkan tangannya melingkar di pundak Gigi.
Ya, hanya itu saja yang bisa Adrian lakukan saat ini. Ditengoknya Gigi yang merebahkan kepalanya dengan pasrah di bahu Adrian. Belum kering benar air mata yang Gigi tinggalkan di bajunya, kini Adrian merelakan lagi pakaiannya dibasahi oleh air mata Gigi. Setitik kepuasan Adrian adalah, ia masih bisa menjadi tempat bagi Gigi untuk menumpahkan seluruh kesedihannya. Bahu itu telah ia relakan menjadi sebuah cawan bagi air kesedihan Gigi. Tanpa Gigi sadari jika Adrian sendiri tersenyum dengan air mata bercucuran dari dalam hatinya.

Agak lama Gigi bersandar di bahu Adrian, hingga akhirnya air yang semula membasahi pakaian Adrian perlahan mengering. Gigi pun mengangkat kepalanya dan mengusap sisa air matanya.

“Makasih Adrian..”ujarnya setengah terisak.

Adrian tersenyum melihat Gigi yang sudah mulai tenang kembali. Dielusnya kepala Gigi. Ia tertegun ketika melihat Gigi yang merelakan kepalanya Adrian belai, tidak seperti Gigi yang akan menepis tangannya seperti biasanya. Entah apakah hati Gigi mulai terbuka untuk Adrian ataukah karena memang ia sudah kehabisan tenaga untuk melawan, yang jelas Adrian sangat menikmati momen itu.

“Udah yuk gi, kamu istirahat aja..” ujar Adrian.

Gigi mengangguk. Adrianpun memapah tubuh Gigi untuk berdiri dan berjalan menuju kamar yang Adrian siapkan.

“Kalau ada apa-apa, panggil aku ya.. aku di kamar sebelah kok..” ujar Adrian setelah membantu Gigi duduk di kasurnya.

Gigi hanya menjawabnya dengan sebuah senyum tipis dan anggukan.
Adrian membalas senyumannya itu lalu mematikan lampu kamar.

“Good night..”

“Good night..” jawab Gigi. Wajahnya tampak menahan sesuatu.

Mulanya Adrian sedikit curiga dengan ekspresi Gigi itu, tapi ia mencoba mengabaikan hal itu dan menutup pintu. Gigi perlu istirahat, pikirnya.

Baru setelah ia melangkahkan kakinya, ia merasa ada sesuatu yang terasa lengket di kakinya. Ia pun menatap ke bawah, dan seketika ia terkejut. Dari arah ruang tamu tempat ia merawat luka Gigi, tertinggal bercak-bercak darah menuju kamar Gigi. Adrian sama sekali tidak menyadari itu dari tadi. Melihat jumlah ceceran darah yang tidak sedikit itu, Adrian segera membuka pintu kamar Gigi.

“Gi..!” seru Adrian terkejut ketika melihat Gigi yang meringkuk memegangi kakinya.

“Kenapa GI? Lukanya masih ngeluarin darah ya??” Adrian tampak panik sambil menghidupkan lampu lalu menghampiri Gigi. Dilihatnya darah yang merembes dari perban di kaki Gigi.

“Nggak apa-apa.. nanti bekas darahnya aku pel..” ucap Gigi sambil tersenyum memaksa.

“Aduh.. bukan masalah lantainya.. tapi kakimu itu lo! Ayok ke UGD.. kaki kamu harus dirawat..!” dari suara Adrian terlihat ia benar-benar takut melihat kondisi Gigi.

“Ah, nggak perlu Dri.. nanti juga berhenti sendiri.”

“Ck.. nggak.. ayok..” kini Adrian meraih tubuh Gigi dan memapahnya.

Gigi tak punya banyak pilihan selain menuruti kata-kata Adrian, karena dia sendiri tidak tahan lagi dengan perih yang mulai menjalar di kakinya. Tidak ia sangka luka kecil itu bisa menjadi seperih ini.

Di rumah sakit, seorang suster tampak sedang membalut kaki Gigi. Sedangkan seorang dokter wanita paruh baya sedang berbicara dengan Adrian.

“Lain kali jangan diatasi sendiri,karena ini lukanya cukup dalam dan tidak bersih.. Untung segera dibawa ke sini, coba kalau telat, bisa kena tetanus lo…” tegur dokter itu kalem.

Adrian hanya tersenyum kecil, sedangkan Gigi yang ada di ranjang merasa bersalah pada Adrian. Ia telah banyak menyusahkan Adrian. Gigi benar-benar merasa tidak enak. Kemarin malam ia telah membuatnya patah hati, kini ia justru datang padanya dan menangisi orang lain di bahunya. Gigi seolah tidak berperasaan. Namun, ia tidak tahu lagi harus kemana untuk mencurahkan semua kesedihannya. Hanya Adrian yang paling mengenal dirinya. Bahkan Adrian mengenal Gigi lebih dalam daripada Ully.

Gigi juga merasa tersentuh dengan sikap Adrian yang dengan sabar dan ikhlasnya menerima Gigi di bahunya. Untuk beberapa saat sosok Adrian mengingatkan Gigi akan dirinya dulu, yang dengan sabarnya menemani Nue saat ia sedang bersedih. Dan Gigi masih ingat benar bagaimana rasanya.

“Hey.. gimana? Udah merasa baikan?” tanya Adrian.

Gigi tersenyum dan mengangguk.

“Ya udah, ayok pulang.”

Adrianpun membantu Gigi turun dari ranjang dan menuntunnya keluar dari UGD.

“Makasih dan maaf Dri… aku udah banyak nyusahin kamu.” Bisik Gigi pada Adrian begitu keduanya keluar dari pintu UGD.

Adrian menjawabnya dengan sebuah senyuman yang dalam, antara kebahagiaan dan kesedihan yang tertahan.

Sementara mereka berjalan menyusuri koridor, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki. Gigi dan Adrian tampak heran. Di waktu malam seperti ini, tidakkah mereka menyadari jika suara langkah kaki mereka yang terburu-buru itu bisa mengganggu pasien yang sedang beristirahat?

Mata Gigi dan Adrian melebar ketika dari belokan jalan, muncul ketiga sosok yang familiar, yaitu Nurul, Omi dan Radit.

“Loh, mbak Nurul?” sapa Adrian.

Tampak ketiga senior PSM itu juga terkejut melihat dua juniornya di depan mereka.

“Loh.. ngapain kalian di sini? Eh, kalian tadi nggak datang latihan ya?!” sergah Nurul.

“Udah rul.. sekarang kita langsung aja ke sana. Ga perlu bahas latihan dulu sekarang.” ujar Omi.

Gigi jadi semakin heran. Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka tidak di kampus? Bukankah mereka harus melatih Tim LPSAF? Lalu malam-malam seperti ini, siapa yang ingin mereka temui?

“Kak, ada apa sebenarnya? Siapa yang sakit?”tanya Gigi.

Mendengar itu, wajah Nurul dan kedua temannya berubah getir. Dipandangnya Radit dan Omi bergantian. Omi mengangguk. Nurulpun menghembuskan napas dalam dan menatap Gigi.

“Ayok ikut..!” ujarnya singkat. Lalu ketiga orang itu berjalan melewati Adrian dan Gigi, meninggalkan suara gaung langkah kaki mereka yang kian menjauh.

“Ayok Dri..”ujar Gigi, tapi Adrian justru tidak bergerak dan menahan gerakan Gigi.
“Kamu yakin mau ikut? Kamu sendiri kan juga sakit.. kamu harus istirahat..”bujuknya.

Gigi termenung sesaat. Dia memang merasa lelah sekali, disamping rasa linu yang berdenyut di lukanya. Namun, hati kecilnya mengatakan jika ia harus mengikuti langkah kaki ketiga kakak angkatannya.

“Aku nggak apa-apa Dri.. ayo ikuti mereka..”

Mulanya wajah Adrian tampak ragu dengan keputusan Gigi, tapi pada akhirnya ia mengikuti langkah kaki Gigi yang pincang sebelum akhirnya ia memapah Gigi dan mengikuti ketiga orang itu.

Mereka berlima akhirnya sampai di sebuah kamar. Tampak seorang laki-laki tua berkaos putih dan memakai sarung tengah duduk di kursi di depan kamar. Nurul bergegas menemui orang itu. Gigi menatap dalam-dalam wajah orang tua itu. Entah kenapa ia merasa pernah bertemu dengan orang itu, entah kapan dan dimana.

“Gimana keadaan dia sekarang pak?”

Orang tua itu menghela napas dalam lalu menjawab pertanyaan Nurul itu dengan nada berat. “Tadi dokter bilang kalau dia sudah melewati masa kritis, tapi sampai sekarang dia masih belum sadar.”

Kritis? Tidak sadar? Siapa sebenarnya?” tanya Gigi dengan panik.

Perasaannya makin terasa tidak enak. Jantungnya berdegub makin kencang tanpa ia sadari alasannya. Dilihatnya wajah para seniornya yang main muram, hingga orang tua itu membuka pintu kamar.

“Silakan masuk.” Ujarnya.

Ketiga senior pun masuk kedalam kamar itu, sedangkan Gigi dan Adrian masih di tempatnya.
“Dri.. Ayok masuk..”
Adrian menoleh ke arah Gigi sekilas dan menghembuskan napas dalam. Ia pun menuruti keinginan Gigi dan memapahnya masuk ke dalam kamar.

Begitu Gigi memasuki kamar itu, suara nada putus-putus dari mesin ECG terdengar menyambutnya. Nurul tampak menutup bibirnya dan matanya berkaca-kaca. Radit dan Omi tampak memijat pundak Nurul untuk menangkannya.

Siapa yang mereka sedihkan? Mata Gigi menyipit, berusaha menangkap wajah orang yang tergolek lemah di ranjang putih itu. Yang Gigi lihat pertama kali adalah sebuah perban yang membalut tebal kepala orang itu. Begitu juga dengan beberapa plester yang merekat di wajah orang itu. Wajah yang putih dan tampan tampak berpendar dingin di ruangan itu.

Seketika lutut Gigi terasa lemas. Tangannya gemetar, bahkan Adrian bisa merasakannya. Adrian sendiri seakan tidak percaya pada apa yang ia lihat.

“Gigi.. Tenang ya.. Kamu harus tenang..” bisik Adrian pelan di telinga Gigi.

Tapi Gigi seolah tidak dapat mendengar kata-kata Adrian lagi. Wajahnya masih melongo menatap wajah orang itu. Alisnya turun dengan sendunya dan air mata menggenang di bola matanya, memantulkan berkas-berkas kesedihan yang dalam.

“Kak.. Nue..”
***

Tik.. tik…tik..

Biip.. bip.. bip…

Suara detak jam berdetak kaku di ruangan berlampu putih itu seolah berpadu dengan suara putus-putus yang dihasilkan mesin ECG. Menciptakan sebuah nuansa yang biru. Begitu sesak dan dalam. Adrian terdiam di tempat duduknya. Untuk kesekian kali ia menatap punggung Gigi di depannya. Gigi yang saat ini tengah termenung di sisi ranjang Nue.
Adrian mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka nasib akan menyeret Gigi lebih dalam lagi. Tidak cukupkah Gigi bersedih selama ini? Tidak cukupkah air mata yang Gigi boroskan malam ini? Tapi mengapa? Kejadian demi kejadian, kenyataan yang tersingkap, justru membuat Gigi makin jatuh. Adrian bahkan tidak berani membayangkan, seberapa besar kepedihan yang ia harus tanggung.

Itu semua tampak dari sikap Gigi. Semenjak dia melangkahkan kaki ke ruangan itu, matanya selalu tertuju pada Nue. Daritadi ia hanya diam dan merenung di hadapan Nue. Ully, Radit, Omi, bahkan orang tua itu, kini sudah pamit untuk pulang. Gigilah yang berjanji untuk menjaga Nue disni. Adrian tidak memiliki pilihan selain menemani Gigi di sana. Meskipun sebenarnya dadanya pilu juga. Adrian tidak bisa membohongi hatinya sendiri, dia merasa cemburu.

Adrian pun bangkit dari kursinya dan menepuk pundak Gigi. “Gi.. Nue biar istirahat disini.. ada perawat juga yang akan menjaga Nue. Kita pulang yuk.. kamu kan harus istirahat..” bujuk Adrian.

Gigi tidak menjawab. Matanya bergerak-gerak menatap wajah Nue. Sebenarnya dia juga merasa lelah. Sesekali ia merasakan lukanya perih mencubit. Belum lagi pengalaman berat yang ia terima satu hari ini. Semuanya seakan membuat tubuh Gigi setipis kertas. Tapi ketika ia melihat wajah Nue.. dia tidak bisa lepas dari itu. Meskipun hari ini Nue benar-benar membanting hatinya, tapi melihat kondisi Nue saat ini, Gigi bahkan tidak bisa mencari lagi alasan untuk membencinya. Semua alasan itu bagai sirna tertiup angin.

“Nggak Dri.. Kamu pulang aja..Aku mau nginap disini..” ucap Gigi.

“Tapi gi.. kamu..” kata-kata Adrian terhenti ketika Gigi memegang tangannya.

“Aku nggak apa-apa.. kamu pulang aja. Aku butuh waktu berdua dengan Nue sekarang..” ujar Gigi sambil tersenyum tipis pada Adrian. “…aku harap kamu mau mengerti..”

‘deg..’

Tenggorokan Adrian seakan tercekat. Tidak banyak yang bisa ia katakan. Ia pun menarik perlahan tangannya dari pundak dan genggaman tangan Gigi. Dengan sebuah senyuman singkat, ia memalingkan wajahnya dan berjalan meninggalkan kamar itu.

“Adrian..” panggil Gigi.

Langkah kaki Adrian terhenti. Ia pun menoleh ke arah Gigi, berharap Gigi akan berubah pikiran.

Tampak Gigi masih tersenyum padanya, meski dengan alis yang menurun. “Makasih ya Dri…” ucapnya pelan.

Adrian terhenyak. Tak lama kemudian dia membalas senyum itu dengan canggung. Lalu ia pun berbalik dan meninggalkan kamar itu. Gigi masih memandangi sosok Adrian, hingga daun pintu tertutup dan menimbulkan suara berdebam pelan. Senyum itupun memudar. Ia palingkan wajahnya ke arah Nue.

Kini Gigi sudah bisa mengingat siapa orang tua berkaos putih itu. Ia adalah bapak kos Nue. Gigi pernah melihatnya dulu, ketika ia menginap di rumah Nue. Bapak itulah yang menemukan tubuh Nue tergeletak tak sadarkan diri di kamarnya. Dugaan sementara, Nue mengalami kejang hebat sebelum akhirnya kepalanya membentur sudut kaki dipan kasur yang keras. Setelah dibawa ke rumah sakit dan diberi perawatan yang intensif, akhirnya Nue bisa diselamatkan. Namun Nue harus mengalami koma karena pembekuan darah di otaknya. Kini Gigi hanya bisa menunggu tanpa tahu kapan Nue akan kembali terjaga.

Bapak kos Nue sudah menghubungi orang tua Nue yang ada di luar kota Jember, mungkin besok pagi barulah mereka bisa sampai. Selama itu, Gigi tadi sudah menawarkan diri untuk menjaga Nue. Dari pihak PSM juga kan berjanji akan membesuk setiap harinya.
Sebenarnya tidak banyak yang bisa Gigi lakukan. Ia hanya bisa duduk disana dan memandang lekat-lekat wajah Nue, berharap tiba-tiba Nue membuka matanya. Mata Nue tampak menutup dengan rekatnya, seolah sedang tidur lelap. Gigi sudah sering memandang wajah Nue yang tengah terlelap seperti ini. Tapi baru kali ini ia merasa begitu sedih ketika melihat wajahnya.Wajah Nue tampak begitu manis dan polos ketika ia tertidur, malam ini juga begitu. Ia tidak tampak seperti koma, melainkan hanya tidur dan seolah akan bangun keesokan harinya.

Gigi mendekatkan tubuhnya ke sisi Nue. Bibirnya tersenyum tipis dan bergetar, seolah tak kuasa menahan untuk menyapa orang yang ia sayang.

“kak..”panggilnya lirih.

Nue tidak menjawab, suara ECG lah yang manjawab sapaan Gigi itu.

“Kak.. bangun..” ucap Gigi lagi. Dadanya terasa sesak dan berat. Tapi ia berusaha untuk bertahan untuk tetap tersenyum padanya, dan mencoba untuk memanggilnya.

“Kak.. Kakak bangun dong… Aku minta maaf, tadi udah berteriak ke kakak.. Aku minta maaf.. Makanya sekarang kakak bangun.. Jangan diemin aku lagi..” bisik Gigi. Suaranya terdengar parau dan serak. Entah hal apa yang mencekat tenggorokannya kini.

Namun, Nue masih membisu. Seolah ia tidak menghirukan Gigi dan tidur dengan wajah tanpa ada rasa bersalah. Melihat itu, akhirnya pertahanan di kelopak mata Gigi jebol juga. Satu persatu air mata yang daritadi ia tahan meluncur satu persatu membasahi pipinya.

“Bangun kak… Jangan diemin aku lagi… Aku nyesel kak.. Aku ga bisa jauh dari kakak.. “
Dipeluknya tubuh Nue yang lemah itu dan di dada Nue itu Gigi menumpahkan kesedihannya.

“Kaaak….. “ panggilnya dengan parau.

Suara Gigi yang parau itu menggaung hingga terdengar di luar pintu. Suara itu yang membuat Adrian, yang dari tadi menyandarkan punggungnya di pintu itu menjadi begitu teriris.

‘Gi.. sampai kapan kamu berhenti? Sampai kapan kamu habiskan air matamu itu? Nue hanya menjadi sumber air mata untukmu. Sampai kapan kamu mengerti ..?’
***

“Assalamualaikum..”

Seorang wanita paruh baya seketika menengadahkan wajahnya kearah pintu, arah suara salam itu berasal.

“Waalaikum salam..” jawabnya. Ia letakkan peralatan rajutnya di atas meja lalu ia berjalan menuju arah pintu dan membukanya.

“Eh.. Gigi.. ayo masuk..” ujar wanita dengan ramah.

Cowok manis di balik pintu itu tersenyum. Diciumnya tangan wanita yang tak lain adalah ibu Nue. Begitu ia masuk, langsung saja ia berjalan ke arah ranjang Nue terbaring. “Hei kak.. Udah siang.. Ayok bangun..” goda Gigi.

Ibu Nue tersenyum mendengar candaan Gigi itu. Ia kembali duduk dan mengambil peralatan rajutnya. “Tumben kamu datang lebih pagi Gi?” tanya ibu Nue.

Gigi tertawa kecil mendengar kata-kata ibu Nue itu. Ditariknya sebuah partitur dari tasnya yang ia letakkan di atas meja. “Iya te.. Tadi nggak ada kuliah, dosennya ke luar kota.” Jawabnya.

Beginilah rutinitas Gigi selama Nue terbaring koma. Setiap siang, setelah ia selesai kuliah, ia pergi ke rumah sakit. Ia bersedia menjaga Nue ketika ibu Nue harus kembali ke Kalibaru untuk bekerja. Ibu Nue memang memiliki sebuah usaha di sana, sedangkan ayah Nue saat ini memang harus pergi ke luar kota karena tugasnya selaku pejabat kota Kalibaru. Selama sepekan ibu Nue cuti dari pekerjaannya, tapi melihat kondisi Nue yang tidak juga sadar dari komanya, tidak mungkin bagi ibu Nue untuk cuti lebih lama lagi. Itulah kenapa Gigi ke sana setiap siang dan menggantikan tugas menjaga Nue ketika ibu Nue pergi bekerja. Di sana ia habiskan waktunya untuk berlatih lagu untuk lomba, berharap Nue akan bangun dan membenahi nada-nadanya yang fals. Seperti yang Gigi lakukan saat ini. Di hadapan Nue dan ibunya, Gigi menyanyikan hasil latihannya selama ini. Ya.. Gigi masih semangat untuk berlatih meski Nue tidak lagi ada untuk melatihnya, tidak lagi membenahinya jika ia salah, tidak lagi mencontohkan nada yang benar. Selama ini dia belajar untuk membaca notasi sendiri. Kadang ia juga bertanya pada senior-seniornya jika ia menemui kesulitan. Hasil ia latihan itu ia praktikkan di depan Nue setiap saat ia berkunjung kesana. Ia tahu jika tindakannya itu tidak akan membawakan hasil, namun Gigi tetap percaya jika Nue bisa mendengarnya. Dia yakin jauh di bawah alam sadarnya, Nue mendengarkan ia bernyanyi untuknya. Menyanyikan sebuah hymne yang mempertemukan mereka berdua.
“… penerus bangsamu…”

Gigi mengakhiri lagu hymne yang segera disambut dengan tepuk tangan oleh ibu Nue.

“Bagus…! Siapa yang ngajarin?” tanya ibu Nue. Ibu Nue memang baru ini mendengar Gigi menyanyikan lagu hymne.

“ya kak Nue dong.. hehe.. Tapi beberapa hari ini ya belajar sendiri, sesekali juga tanya ke kakak senior lain.”

“Wah.. Nue bisa ngajar?” wajah ibu Nue tampak tidak percaya.
“Lho? Iya Te..Kak Nue hebat lagi Te.. salah sedikit aja pasti langsung di tegur. Hehe.. aku sampek di privat karena ga bisa-bisa.” Ujar Gigi sambil menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

Alis ibu Nue tampak mengangkat sebelah, seolah masih tidak percaya. “Oh ya? Masa Nue seperti itu?”

“iya Te.. Memang kenapa Te? Kok kayaknya ga percaya gitu?” tanya Gigi dengan senyum penuh selidik.

Ibu Nue hanya menanggapinya dengan senyuman. Beliau terlihat begitu cantik saat tersenyum. Tampaknya mata Nue yang dalam dan indah serta dagu yang runcing itu diwariskan oleh ibunya. Ibu Nue mengambil rajutannya dan tampak mulai kembali melanjutkan rajutannya.

“Nue itu.. Anaknya sangat tertutup. Dia bahkan ga pernah bilang kalau dia ikut paduan suara. Tante taunya saat dia menang lomba LPSAF tahun lalu. Tahu-tahu dia bilang, kalau timya dapat juara 2. Tante sama Om ya kaget.. karena dia ga pernah cerita tentang kehidupannya. Dia selalu begitu. Selalu memendam semuanya sendiri.” Ekspresi ibu Nue yang semula ceria lambat laun berubah sendu. Diusapnya air mata yang menggenang di kelopak matanya, lalu kembali tersenyum dan melanjutkan rajutannya. Sementara Gigi duduk termangu mendengarkan kisah ibu Nue tentang putra semata wayangnya.

“Dia juga sangat tertutup jika ada masalah. Padahal kadang dia juga bingung harus bagaimana untuk menghadapi masalah itu. Akhirnya tidak jarang dia bersikap bodoh. Kamu tahu? Dia dulu saat masih SD, sering hilang waktu mau berangkat sekolah. Kamu tahu dia dimana?”

Gigi menggeleng pelan. Seketika ibu Nue terkekeh pelan.

“Ternyata tiap subuh, dia manjat ke genting, biar ga disuruh sekolah..”

Spontan Gigi tertawa. “Ha? Hahaha… Masa si Te? Emang kenapa kak Nue dulu ga mau sekolah?”

Selama Gigi masih tertawa kecil, tawa ibu Nue berubah menjadi sebuah senyum kecil saja.

“Karena dia malu..”

Tawa Gigi seketika terhenti dan berubah menjadi sebuah senyum tipis.

“Saat di sekolah, epilepsinya kambuh. Banyak teman-temannya yang melihat. Sejak saat itu, Nue selalu dijadikan bahan ejekan oleh teman-temannya.”

‘deg..’ senyum tipis Gigi sudah sepenuhnya hilang sekarang. “.. dan dia.. ga cerita ke tante?”

Ibu Nue menggeleng. “Nggak.. Dia sama sekali nggak cerita ke Om dan Tante. Padahal dia pasti malu. Sampai akhirnya ia nggak mau sekolah. Tapi tante justru selalu maksa dia sekolah tanpa tahu alasannya.”

Ibu Nue menghentikan kata-katanya untuk menahan kesedihan di matanya. Dalam jeda itu, Gigi mengamati wajah Nue. Ia bisa membayangkan posisi Nue saat berdiri sendiri di tengah ejekan teman-temannya. Itu pasti sangat berat dan menyakitkan.itukah sebabnya dulu Nue melarangnya memberitahukan penyakitnya pada Grace dan orang lain.

Ibu Nue sadar kalau matanya mulai berkaca-kaca. Ia pun segera menengadahkan wajah dan mengedip-kedipkan matanya untuk mengeringkan matanya yang mulai semakin basah. “Oh.. Tante kok malah sedih gini..” ujarnya. Ia pun kembali melanjutkan rajutannya meskipun sesekali terdengar suaranya yang sesengukan.

Gigi memandangi ibu Nue dengan mata sendu. Wajah ibu Nue tampak makin tirus. Cincin kehitaman tampak menghiasi kelopak matanya. Meski tetap saja wajahnya masih terlihat cantik di umurnya yang sudah mencapai 40 tahun.

“Bagus nggak gi?” ibu Nue mengangkat hasil rajutannya. Sebuah sweater rajutan yang masih setengah jadi, tapi sudah tampak bentuk dan motifnya.

“Iya bagus Te..” jawab Gigi yang memandang sendu hasil rajutan ibu Nue itu. Gigi takjub dengan motif pada sweater itu yang tampak begitu rumit dan indah. Kelihatan sekali jika ibu Nue mencurahkan semua kemampuannya untuk rajutan itu.

“Itu.. buat kak Nue, Te?” tanya Gigi.

Ibu Nue yang tadi tersenyum lega karena hasil rajutannya dipuji kini melanjutkan lagi rajutannya. “Iya Gi.. Ini untuk hadiah ulang tahun dia nanti..”

“U..ulang tahun Te?” ujar Gigi setengah tergagap. “Memangnya tanggal berapa kak Nue ulag tahun Te?”

“Oh kamu belum tahu ya..? Nue berulang tahun bulan ini. Tepatnya tanggal 28 besok.”

’28? Berarti satu hari sebelum lomba..!’ batin Gigi.

“Ya ampun.. Jam berapa sekarang?” ujar ibu Nue yang segera menengok ke arah jam dinding. “Waduh.. Ya sudah, tanta berangkat kerja dulu ya Gi..” ibu Nue segera memasukkan hasil rajutan dan perlegkapannya ke dalam tas. Tampak Gigi yang beranjak dari kursinya dan menghampiri ibu Nue.

“Titip Nue ya..” pesan ibu Nue saat tangannya Gigi cium.

“Iya te.. Tante juga hati-hati di jalan..” ucap Gigi yang dibalas dengan senyuman oleh ibu Nue.

Ibu Nue pun lenyap di balik pintu yang menutup pelan. Kini hanya Gigi dan Nue berdua di kamar itu. Gigi kembali ke tempat duduknya dan melipat kedua tangannya di atas ranjang Nue.

Cukup lama ia memandangi wajah Nue yang terlelap. Gigi pun menutup wajahnya dan..
“Ba..!”

Nue tidak bergeming. Gigi pun kembali menurunkan tangannya. “ Hehe… Masih ga berhasil juga bikin kakak bangun. Kakak kuat banget sih..” ucap Gigi dengan wajah getir.

Untuk sesaat Gigi termenung, tapi ia segera mengangkat dagunya dan mengambil napas panjang. Diambilnya sebuah partitur lagi dari dalam tasnya.

‘yup, latihan lagi yuk…biar ga sedih terus.’ Yakin Gigi dalam hatinya.

Sudah satu minggu penuh dia harus meratap dalam kesepiannya. Jatuhnya Nue dalam ketidaksadaran tanpa tahu kapan ia akan bangun lagi membuat Gigi sempat depresi berat. Perlakuan yang ia lakukan pada Nue terakhir kali membuatnya menyesal. Meskipun dia ingat betul bahwa yang menyakitinya lebih dulu adalah Nue, tapi tetap saja kata-kata terakhirnya pada Nue terus menghantui pikirannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk melupakan sejenak kesedihannya dengan cara berlatih. Satu minggu tidak mungkin ia habiskan seluruhnya untuk menangis. Sebenarnya Gigi bisa saja melakukan itu, mengingat kesedihannya yang tidak pernah luntur. Namun Gigi sadar kalau hidupnya tidak bisa dihabiskan dengan penyesalan. Masih ada kehidupan yang harus ia jalani. Masih ada lomba yang harus ia lalui. Ia ingat perjuangan yang ia tempuh untuk bisa mengikuti lomba itu. Ia ingat bagaimana usaha Nue mempertahankan dirinya untuk bisa tergabung dalam tim. Ia ingat bagaimana Nue dengan sabar melatihnya hingga ia bisa.

Ia tidak tahu apakah kini Nue masih marah padanya dalam tidurnya, tapi Gigi berusaha untuk menghargai usaha Nue di masa lalu.
Membaca partitur dan menyanyikannya membawa kesan tersendiri bagi Gigi, karena dengan begitu, ia bisa mengingat senyum Nue yang dengan sabar menuntunnya membaca partitur. Nue pasti tidak akan membiarkannya fals. Meskipun Gigi merasa, mungkin Nue masih marah padanya, tapi dia pasti akan mendengarkan Gigi jika ia bernyanyi. Karena Gigi tahu, jika Nue akan terganggu mendengar nada fals.Ya, dia pasti akan mendengarkan. Bahkan dalam tidur panjangnya.

Not demi not, bar demi bar Gigi bunyikan. Beberapa kali ia lupa dan beberapa kali pula Gigi harus mengulang dari awal. Sesekali dia juga mendengarkan rekaman suara Nue yang diberikan padanya dulu.

Saat Gigi mendengarkan rekaman itu, perlahan bola matanya mulai basah. Dihentikannya rekaman itu dan ia tengadahkan wajahnya, berharap air di matanya bisa kembali masuk ke dalam kelopak matanya. Sudah satu minggu lebih Gigi tidak mendengar suara Nue, dan kali ini begitu mendengar suaranya yang jernih itu, seketika hatinya tercekik oleh rindu. Dia sangat rindu pada suara Nue yang kini membisu.

Gigi segera menggeleng-gelengkan wajahnya dan menarik napas dalam. Air di matanya mulai mengering, dan ia pun membuka matanya.

“Nggak… Nggak boleh Gi.. Kamu harus tabah. Kamu ga bisa nangis terus!” bisik Gigi. Ia pun mencoba membuka lagi partiturnya.

“Tok tok tok..”

Suara ketukan pintu terdengar ketika Gigi baru membuka partiturnya. ‘Wih.. Anak PSM kah?’ tanyanya dalam hati.

Teman-temannya dari PSM memang seringkali datang dan tak jarang membawakan makanan yang bisa mereka makan bersama. Kehadiran mereka juga berperan bagi Gigi untuk melupakan sejenak kesedihannya. Meskipun teman-teman PSM tidak tahu benar seberapa dalam kesedihan Gigi atas tidak sadarnya Nue, tapi gurau dan canda mereka secara langsung menghibur hati Gigi. Gigi pun berharap Nue bisa terhibur degan kehadiran mereka, meskipun setitik senyumpun tidak pernah muncul di bibirnya yang merah itu.

Dengan segera Gigi bangkit dari kursinya dan membukakan pintu kamar, berharap yang datang adalah teman-temannya yang akan membawakannya pizza seperti kemarin. Namun, begitu daun pintu terbuka, semua harapannya seketika kandas. Yang berdiri disana bukanlah, Nurul, bukanlah Radit, bukanlah Omi, bukanlah Adrian, Budi, Ully, atau siapapun dari daftar orang-orang yang ia harapkan, melainkan seseorang yang berada di puncak daftar orang yang tidak ingin ia lihat. Grace.

“Gi.. boleh aku masuk?” tanya Grace getir.

Cukup lama Gigi terdiam. Mulanya dia bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dia masih marah dengan Grace, karena Gigi yakin, Grace-lah yang menyulut kemarahan Nue saat itu. Tapi saat Gigi menoleh ke arah wajah Nue yang terlelap, hatinya mulai luluh. Seolah Nue memintanya untuk membiarkan Grace masuk.

“Iya, silakan.” Jawab Gigi degan wajah datar.

Grace pun memasuki kamar itu dengan canggung. Matanya tampak bergerak-gerak pilu saat melihat kondisi Nue. Sebuah mesin dengan kabel-kabelnya terhubung di tubuh Nue, memberikan ia ketukan untuk ritme jantungnya. Kantong infus tergantung tinggi dengan selangnya yang tersambung ke dalam urat nadinya, membiarkan cairan asing memasuki tubuh Nue dengan bebasnya. Begitu juga dengan perban yang melilit kepala Nue dengan rapi, menutup luka yang membuatnya tertidur.

Perlahan Grace berjalan mendekati tubuh Nue. Dari balik punggung Grace, Gigi bisa melihat perlahan tubuh Grace menggigil, hingga akhirnya Grace bersimpuh di samping ranjang Nue. Tangannya menggenggam erat tangan Nue. Gigi seketika memalingkan wajahnya. Bagi Gigi, pemandangan itu terlalu menyakitkan. Pemandangan yang hanya akan memancing amarah dan cemburu.

Dalam keheningan ruangan itu, sayup-sayup terdengar suara Grace yang merintih dan terisak-isak.

“Nue.. maafin aku Nu…”

Tangan Gigi mengepal. Air mata yang tadi mengering seolah mulai mendapatkan kekuatan untuk menerobos pertahanan kelopaknya. Gigi mencoba menahannya, sehingga
memunculkan ekspresi kesal yang tertahan.

“Maafin aku Nu… Aku ga bisa membela diri aku lagi.. Yang kamu lihat dan tahu, semuanya benar.. Aku sudah buta. Aku bodoh. Aku ga bisa liat orang yang mencintai aku.. aku udah menyia-nyiakan kesempatan kedua yang kamu kasih.. Aku memang bodoh Nu.. Aku ga tau malu.. Aku murahan.. Aku akui semua itu.. Tapi please Nu… Bangun… Bangun dan maafin aku nu..”

Gigi sudah tidak tahan lagi. Ia muak, ingin sekali meluapkan amarahnya pada Grace. Bisa-bisanya dia masih punya wajah untuk meminta maaf pada Nue. Ini sudah hari keberapa? Kenapa dia harus minta maaf setelah Nue lama terbaring koma, kenapa tidak di awal-awal? Apakah masih memikirkan alasan? Untuk apa beralasan lagi? Toh Nue tidak akan mendengar dan menjawabnya!

Sekilas Gigi memalingkan wajahnya ke arah Nue. Dilihatnya wajah Nue dalam-dalam. Wajah itu tampak terlelap dengan tenang meski seseorang sedang menangis tersedu-sedu di punggung tangannya.

Selama ini Gigi yakin, jika Nue bisa mendengarnya ketika ia bernyanyi untuknya, namun sekarang, apakah Nue juga mendengarnya? Tangisan Grace itu.. apakah Nue merasakannya? Mungkinkah Nue akan memaafkannya?

Dulu, begitu mudahnya Grace meminta maaf pada Nue, dan begitu mudah pula Nue memaafkannya. Hubungan mereka bisa kembali utuh seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi bagaimana dengan Gigi? Permasalahan mereka berbeda. Grace adalah seorang wanita dan Nue adalah laki-laki. Mereka layak untuk menjadi kekasih berkat restu kodrati. Sungguh mudahnya Grace memeluk Nue, begitu ringannya ia mencium Nue, begitu leluasanya Grace memperlakukan Nue dengan sesuatu yang Gigi tidak bisa lakukan. Butuh waktu yang sangat lama dan kesempatan yang sangat tipis bagi Gigi untuk sekedar memegang tangannya. Butuh sebuah keberanian dan kondisi yang sangat tepat bagi Gigi untuk bisa mencium kening Nue. Butuh sebuah pengorbanan dan rasa sakit bagi Gigi untuk memeluk erat tubuh Nue. Tapi yang Grace lakukan…. Dengan berbagai fasilitas eksklusif yang ia miliki itu, ia dengan mudahnya bermain dengan hati Nue. Dengan mudahnya ia berselingkuh dengan cowok lain, dan dengan mudah pula ia meminta maaf pada Nue bagai orang yang tak berdosa.

Bandingkan dengan Gigi. Ia tidak pernah sekalipun berpaling dari Nue. Sedikitpun ia tidak pernah memasang wajah dingin ke arah Nue. Dia selalu menyempatkan ada ketika Nue sedang membutuhkannya. Dia yang selalu mengingatkannya untuk minum obat. Dia yang selalu ada ketika Nue sedih. Yang Gigi dapatkan selama ini adalah tumpahan kesedihan dan emosi Nue. Dan, hanya dengan satu hal, Nue berpaling seratus delapan puluh derajat darinya. Hanya karena dia gay.

Kini, melihat Grace yang berlutut dan menangis tersedu di punggung tangan Nue membuat Gigi muak. Dengan langakah tegas, ia meninggalkan tempat itu. Menutup pintu dengan bunyi berdebam pelan dan ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, di ujung koridor, Adrian datang dengan wajah heran ketika melihat Gigi yang berjalan menjauh dari kamar Nue.

“Gigi?”
***

Hymn of My Heart 18

Bar 18, Crying Moon

Seorang cowok dengan rambut yang agak acak-acakan tengah duduk termenung di sudut caffe. Beberapa kali dia meremas rambutnya dengan gelisah dan sesekali menghirup cappuchinonya.

Setelah kejadian malam itu, pikirannya terasa berat sekali. Banyak pertanyaan dan tuduhan yang memenuhi kepalanya. Saat Adrian mengungkapkan perasaannya juga bagaimana perasaan Gigi selama ini padanya.

“Aku cinta sama kamu Gi..”

‘deg..’ suara itu kembali menghantui pikiran Nue. Berulang kali ia mencoba menghapus suara itu dari kepalanya, tapi tetap saja suara itu menggaung di rongga kepalanya. Sebenarnya bukan suara itu yang membuatnya Nue risau, tapi lebih pada apa jawaban atas pertanyaan itu. Apa jawaban Gigi? Apakah ia menerimanya?

‘Kenapa kamu bingung mikirin itu?’ tanya sisi hati Nue pada sisi hatinya yang lain.

‘ya.. karena.. Aku ga suka aja,kalau dia sama Adrian.’

‘Kenapa kamu ga suka jika Gigi dengan Adrian?’

‘Adrian itu cowok!’

‘terus kenapa? Kamu juga cowok.. trus kenapa kamu perhatian
banget sama Gigi?’

‘ka..karena… dia adikku..’

‘adik? Setelah apa yang Adrian ungkapkan kemarin, apakah kamu masih ngerasa kalau kamu pantas disebut kakaknya?’
Seketika Nue termenung.

‘… no..’ gumamnya lirih sambil meremas rambutnya. Ia menundukkan kepalanya seolah ada beban yang sangat berat menimpanya.

‘aku.. sudah jadi kakak yang buruk untukmu Gi.. aku bego.. harusnya aku tahu perasaanmu..’

Kalimat itu terus menggaung di hati dan otak Nue. Terus menggaung dengan kalimat yang sama, hingga Nue benar-benar terlarut ke dalam suara itu dan terpuruk lebih dalam. Hingga akhirnya seseorang memukul meja dan menyadarkannya.

“Hey..! hhehe.. Jenapa sih…? Kok ngelamun aja..?” gebrak

Grace dengan seyum manisnya.
Mata Nue mengarah pada Grace sebentar, terseyum tipis, lalu kembali menudukkan wajahnya.
Grace tampak heran dengan sikap Nue itu, tapi ia justru tersenyum lalu ia berpindah ke kursi di sebelah Nue.
Dengan ringan tangannya merangkul Nue dan tangan satunya mendorong pipi Nue mendekat ke arahnya.

“Kamu keliatan makin sexy kalo diem gitu..” bisiknya. Dikecupnya pipi Nue di tempat itu, otomatis Nue risih dengan sikapnya itu dan berontak.

“Ck, apaan sih Grace.. Banyak orang tahu!”tepisnya dengan sedikit tertahan.

“Hehe… ih, Nunu emang susah banget buat dicium.. Bikin gemes..!” ujar Grace sambil mencubit pelan pipi Nue yang tadi ia cium.

Nue tidak menanggapi rayuan Grace itu. Entah kenapa ia merasa malas sekali untuk menanggapi Grace saat ini. Sebenarnya dia tidak ingin pergi. Ia ingin tinggal di kamarnya dan memejamkan mata untuk menghilangkan semua kepenatan ini. Tapi Grace memaksanya untuk datang di caffe favorit mereka dan menemaninya minum capuchinno.

“Ada apa sih Nu? Kok muram gitu wajahnya?” tanya Grace yang sudah mulai melihat tanda-tanda kurang menyenangkan dari Nue.

“Nggak ada apa-apa.Kamu mau pesen apa?” tanya Nue. Ia merasa harus mengalihkan topik daripada harus diam memikirkan jawaban atas pertanyaan Grace itu.

“Ehmm.. Capuchinno juga.”

Nue pun memanggil waitress yang kebetulan lewat di depan mereka dan memesankan pesanan Grace. Setelah itu Nue kembali pada posisinya semula, melipat tangan dan termenung di meja caffe. Grace hanya bisa duduk dengan canggung di sampingnya.

“Ehmm.. Nu.. Nunu marah karena aku maksa kamu kesini ya?” tanya Grace dengan sedikit takut-takut.

“Nggak..” jawab Nue singkat.
Jawaban Nue membuat Grace makin merasa melempem dan akhirnya hanya bisa duduk diam dan memilin jari-jarinya di bawah meja. “Ooh..”

Tak berapa lama, pesanan Grace datang juga. Grace pun menghirup capucinnonya untuk mencairkan kecanggungannya. Tiba-tiba ponsel Grace berdering. Ia pun buru-buru meletakkan lagi cangkirnya dan mengambil ponsel di tasnya. Nue melihat sesaat ke arah Grace. Ia lihat mata Grace tampak melebar ketika melihat layar ponselnya. Grace buru-buru mereject panggilan itu dan bersikap cuek sambil menghirup lagi capuchinnonya.

Nue masih memandang heran pada Grace dan bertanya dengan nada curiga. “telfon dari siapa? Kok di reject?”
Mata Grace melirik sesaat. Ia turunkan cangkir capuchinnonya dan menelan capuchinno di mulutnya dengan sedikit gugup.

“Temen kok.. Paling telfon buat tanya tugas. Males jawabnya, ya udah aku matiin aja.”

Nue masih terdiam dan terus memperhatikan gerak-gerik Grace hingga membuat Grace risih.

“Kenapa sih Nu?”

Nue pun memalingkan wajahnya dan mengambil cangkir capuchinnonya. Grace tampak kurang senang, terlebih lagi setelah di’kacangin’ oleh Nue, kini ia diperhatikan layaknya seorang kriminal. Ia pun beranjak dari kursinya da meletakkan tasnya di atas kursinya.

“Sebentar ya, aku ke belakang dulu.” Pamitnya singkat. Tanpa menunggu jawaban dari Nue, ia segera berjalan menuju kamar mandi.

Nue menghela napas dalam. Ia akui, ia telah bersikap tidak baik dengan Grace. Ini karena pikirannya yang sedang kacau. Bahkan kehadiran Grace tidak membuatnya merasa lebih baik, justru membuat pikirannya makin keruh.

‘drrrttt……. drrrtttt…..’

Mata Nue melebar. Dilihatnya ponsel Grace yang menyembul dari dalam tas yang tidak ditutup milik Grace. Sekejap Nue penasaran, siapa sebenarnya yang menelfon Grace. Kenapa harus dimatikan? Nue kurang yakin dengan jawaban Grace tadi. Dilihatnya layar ponsel Grace yang menyala. Tidak ada nama nomor kontaknya. Tak lama kemudian, panggilan itu berhenti. Nue memilih untuk tidak menghiraukannya dan kembali pada cangkirnya. Tapi baru saja Nue mendekatkan bibir cangkir di bibirnya, ponsel Grace bergetar lagi. Kali ini getarannya singkat, tanda hanya sebuah sms.

Rasa penasaran dan curiga kembali menjalar di hati Nue. Hatinya merasa tidak enak dengan panggilan dan sms itu. Ia pun melihat ke arah kamar mandi, belum ada tanda-tanda Grace akan keluar. Ia pun mengambil ponsel itu dan membukanya.

Di layar ponsel itu terlihat pesan dari sebuah nomor tanpa nama. Nue yakin jika itu nomor yang tadi menelfon. Dengan ragu, ia pun membuka pesan itu.

‘Honey.. telfonku kok ga dibales sih? Aku kangen sama kamu..
Jangan krn sdh balikan sama Nue kamu blh nglupain aku. Inget, foto2 itu ada di aku. Aku bs kirim ini ke hapenya Nue kalo aku mau :P’

‘deg..’ jantung Nue mulai berdegub kencang. Tangannya bergetar saat memegang ponsel Grace.

‘foto apa? Dan ini.. nomor siapa? Mungkinkah ini..’

Dengan ragu ia menekan keypad-keypad ponsel Grace hingga membentuk sebuah kalimat.

‘foto apaan si?’

Nue tidak tahu apakah si pemilik nomor itu akan menyadari jika yang mengirim pesan itu bukan Grace, tapi ia tetap mengirim pesan itu dan berharap ia akan mendapat balasan yang memuaskan.

Nue menengok ke arah kamar mandi, dilihatnya Grace baru saja keluar. Kini ia tengah bercermin sambil membenahi tatanan rambutnya.

‘drrt.. drrrrt…’

Mata Nue kembali melebar. Dilihatnya ponsel Grace yang bergetar itu, ternyata sebuah pesan lagi dari nomor tadi. Jantungnya makin kencang berdegub. Dilihatnya isi pesan itu.
Seketika, jantung Nue yang semula berdegub kencang, kini seakan meledak memuntahkan darah segar. Isi pesan itu bukan lagi text, melainkan sebuah image. Image yang membuat mata Nue menggelap. Sebuah foto Grace dan aldo yang tengah berciuman dan berangkulan, dalam keadaan tanpa kain sehelaipun menutupi tubuh keduanya!

Tangan Nue gemetar. Dia palingkan wajahnya dengan getir ke arah Grace yang berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Tidak, senyum itu tidak mengubah suasana hati Nue kini. Dengan tegas, ia banting ponsel Grace di atas meja dan ia meninggalkan tempat itu.

“Loh… Nu!” panggil Grace yang heran ketika melihat Nue dengan tergesa meninggalkan caffe.

“Nue..!!” teriak Grace di pintu caffe, tapi ia terlambat. Nue sudah mengegas kencang sepeda motornya dan menghilang di keramaian jalan kota Jember.

Grace hanya melongo melihat sikap Nue. Sambil berdecak, ia kembali masuk ke dalam caffe dan mengambil tas serta ponselnya.

Ia sedikit terkejut ketika melihat ponsel yang sebelumnya ada di dalam tas kini tergeletak di atas meja. Ia pun membuka ponselnya dan seketika matanya melebar. Dengan gemetar ia menutupi bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca saat melihat isi pesan yang tidak ia duga itu. “I..ini…”
***

Hari beranjak senja. Gigi membuka pintu kamarnya dan melempar tas pinggangnya dengan sembarangan. Setelah itu, ia langsung membanting tubuhnya di atas kasur. Ia tahu, ini tidak seperti Gigi yang biasa, yang akan meletakkan tas dengan rapi di atas meja belajar, berganti baju, mengambil wudlu dan sholat. Ia benar-benar capek hari ini. Tidak hanya capek karena harus kuliah maraton dari pukul 7 sampai setengah 6 sore, tapi juga lelah pikiran. Kejadian semalam membuatnya risau dan frustasi. Adrian tidak menemuinya lagi sepanjang hari ini. Gigi juga tidak berani untuk menghubunginya lewat sms. Ia merasa tidak tega pada Adrian, tapi ia juga tidak tega pada dirinya sendiri jika harus terpaksa mencintai orang yang tidak ia sukai.

Gigi membalikkan badannya. Kini wajahnya menghadap ke langit-langit kamarnya. Ia termenung menatapnya. Kata-kata Adrian kembali terngiang di kepalanya.

‘Aku tahu, kalau kamu menderita selama bersama dia! Kamu hanya bisa jadi bayangan dia aja. Kamu mencintai dia, tapi sekaligus juga kamu sadar, kalau kamu ga akan mungkin milikin dia! Dia juga ga pernah ngerti perasaan kamu kan? Dia hanya bisa nyakitin dan nyakitin kamu lagi dengan ketidakpekaannya! ia pikir dialah satu-satunya di bodoh yang cuma bisa duduk diam dan bicara dengan bulan, padahal sebenarnya kamu lah, si bodoh yang sepanjang malam duduk dan mengadu pada bulan! Tapi dia tidak pernah mengerti kan?’

Gigi memejamkan matanya rapat-rapat. Damn..! kata-kata itu benar-benar menusuk tepat di jantungnya.

‘kalau itu benar.. berarti aku memang si bodoh itu.. jadi, apa yang aku lakukan waktu itu.. lagu itu.. semuanya, sia-sia..?’tanya Gigi pada hatinya.

Tentu hatinya tidak bisa menjawab. Keheningan mereka membuat Gigi jatuh semakin dalam. Tidak terasa sebuah air mengalir dari ujung matanya. Gigi mengusap tetesan air itu dan memandanginya.

‘Air mata? Kenapa masih ada air mata yang tersisa? Padahal sudah aku kuras selama ini.. selama bersamamu. Sampai kapan air mata ini mengering?’

‘drrt…drrttt….’

Gigi menolehkan wajahnya. Ia dengar ponselnya berdering. Ia pun menurukan tangannya dan mengusap air matanya. Setelah itu ia meraih ponselnya dan membaca isi pesan singkat yang ia terima itu.

Ia agak tercengang ketika melihat pesan itu. Pesan dari Grace. Grace memang pernah memberinya nomor ponselnya saat Gigi bertugas menemani Nue waktu itu. Tak ia sangka Grace akan menghubunginya lagi, dan jika ia meghubunginya pasti permasalahannya tidak akan jauh-jauh dari Nue.

‘Ke kos-kosan Nue sekarang!’

Mata Gigi tampak bergerak-gerak melihat pesan itu. Dari kalimatnya tampak ada masalah yang penting dan mendesak.
Buru-buru ia mengambil jaketnya dan membuka pintu kamarnya. Hatinya merasa tidak enak. Gigi yakin, ada sesuatu yang menimpa Nue sampai Grace memberinya sms seperti itu. Saat ia akan menutup pintu, gerakannya terhenti sesaat.

‘Kenapa? Kenapa aku masih saja mempedulikannya?’

Cukup lama Gigi terdiam, hingga akhirnya dengan mantap ia menutup pintunya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Dalam langkah yang terburu-buru itu, bibirnya tersenyum tipis di bawah matanya yang berpendar lirih.

‘Karena.. Aku ga bisa lepas dari kamu kak..’
***

Cukup lama Gigi berjalan karena jarak kos-kosannya dengan kos-kosan Nue yang agak jauh. Akhirnya ia sampai di pintu gerbang kos-kosan Nue. Tampak di tempat parkir hanya ada dua sepeda yang berjejer, salah satunya sepeda motor Nue. Sepi sekali. Mungkin karena penghuni kos yang lain belum pulang dari bekerja. Gigi pun berjalan menuju kamar Nue. Ia lihat di atas meja di depan kamar Nue, terdapat sebuah bungkusan plastik. Gigi yang penasaran pun medekati bungkusan itu. Tapi, belum sampai ia menyentuh bungkusan itu, suara-suara tinggi terdengar menggema dari kamar Nue, mengejutkan dirinya.

“Kamu mau jelasin apa lagi Grace?! Sudah jelas semuanya!”
Mata Gigi terbelalak. Itu suara Nue!

Ia pun berjalan tergesa ke depan pintu Nue. Di sana ia bisa mendengar percakapan orang yang ada di dalam dengan jelas meski tanpa harus menempelkan telinganya di daun pintu. Suara mereka cukup keras terdengar.

“Please Nu.. Maaf… Itu masa lalu Nu.. Aku dijebak..”terdengar suara wanita yang menangis dan bersuara parau.

Setelah itu terdengar suara seorang cowok yang menggelegar dan menakutkan. Gigi benar-benar takut untuk menebak siapa pemilik suara itu.

“Dijebak gimana? Aku sudah percaya sama kamu, tapi apa?! Kamu ga perlu melakukan sejauh itu Grace..!”

“Aku ga sadar Nu.. Aku dijebak… Saat itu aku mabuk…”

“Siapa suruh kamu mabuk?! Siapa yang bolehin kamu minum?!”

“Aku terpaksa Nu… Kamu tahu sendiri aku butuh uang.. “

“Terus kamu anggap aku ini apa? APA..??!”

Suara cowok itu terdengar keras dan mulai serak. Tampak seseorang penghuni kos baru saja keluar dan menoleh sesaat di kamar Nue sambil menghidupkan motornya. Gigi bersikap acuh pada tatapan orang itu sampai akhirnya orang itu pergi meninggalkan kos-kosan.

“Maaf Nu.. Maaf…”

“Udah.. Kamu mending pulang aja..” ujar si cowok itu dengan volume suara yang mulai melemah.

“Tapi Nu..” isak Grace.

“Pulang!!!”

Pintu kamarpun terbuka. Dengan cepat Gigi menepi dan dilihatnya Grace keluar dari kamar Nue dengan wajah sembab, rambutnya acak-acakkan dan air matanya membasahi semua pipinya. Pintu berdebam keras, menghasilkan angin yang menerpa wajah Grace yang menyedihkan. Dengan perlahan Gigi mendekati Grace.

“Kak.. Ada apa?” tanyanya hati-hati.

Grace tidak menjawab. Dia duduk sambil menutupi wajahnya dan bahunya naik turun karena isak tangis. Cukup lama Gigi menunggunya. Ingin sebenarnya Gigi memijat bahunya untuk membuatnya tenang, tapi ketika ia ingin melakukannya, gerakannya tertahan. Ia tidak sanggup dan terlalu ragu untuk melakukannya. Ia pun hanya diam dan menunggu Grace tenang.

Cukup lama akhirnnya Grace membuka kembali wajahnya. Matanya tampak sangat basah dan merah, begitu juga wajahnya yang basah. Sambil mengusap air matanya ia mengumpulkan tenaga untuk berbicara pada Gigi. Diambilnya sebuah bungkusan dari plastik yang ada di atas meja dan disodorkannya pada Gigi.

“Ini.. Kasihkan ke Nue ya..”suaranya tersengal-sengal dan parau. Gigi nyaris tidak bisa menangkap apa yang ia katakan. “…pastikan Nue makan.. dia belum… huk… minum obat..”
Gigi termenung dan diraihnya bungkusan plastik itu dari Grace. Di tengadahkan wajahnya ke arah Grace lagi. “Kak.. Ada apa sebenarnya?”

Grace tidak menjawab. Ia sibuk menghapus air mata yang lagi-lagi keluar dari ujung matanya. Hingga akhirnya ia berdiri. “Maaf gi..” ujarnya singkat dan ia pun berjalan tergesa meninggalkan tempat itu.

Gigi mematung sesaat dengan kantung plastik di tangannya. Dilihatnya pintu kamar Nue. Ia pun berjalan perlahan mendekati pintu itu. Diputarnya gagang pintu itu.

‘cklik’

Rupanya tidak dikunci. Ia pun dengan ragu memasuki tempat itu. Dada Gigi mendadak terasa sesak. Ia melihat Nue duduk memunggungi Gigi dengan kedua tangannya mencengkram dahi dan rambut depannya. Mengingat Nue yang tadi mengeluarkan suara begitu menyeramkannya, Gigi menjadi sedikit gentar ketika mendekatinya. Ia pun memberanikan dirinya dan berjalan mendekati Nue.

“Kak..” panggilnya lirih.

Nue tidak bergeming.

Gigi menelan ludah. Ia pun berinisiatif untuk mengambil sebuah piring di rak dan membuka bungkusan nasi di atasnya. Setelah itu ia kembali mendekati Nue.

“Kak.. Makan dulu yuk..” ujarnya.

Saat ini posisi Gigi ada di belakang agak di samping Nue, sehingga Gigi tidak bisa benar-benar melihat wajah Nue. Ia pun berjalan ke arah depan Nue. Dengan keberanian sekuat hercules ia berdiri di depan Nue lalu berjongkok di depannya sehingga wajahnya berada tepat di wajah Nue yang menunduk itu. Wajah Nue tertutup bayangan kedua tangannya.

“Kak..” panggil Gigi, tapi lagi-lagi Nue tidak bergeming.

“Kak.. Makan yuk.. Kakak harus minum obat..” ujarnya pelan.

Agak lama Nue membisu, akhirnya ia bicara juga, meski dengan kata-kata yang membuat Gigi langsung ingin menangis.

“Pulang..” perintahnya, pelan tapi tegas.

Tenggorokan Gigi seakan tercekat. Ia Gigi bibir bawahnya karena menahan getir, tapi ia tetap berusaha dan menguatkan dirinya.

“Nggak kak.. Kakak harus makan dan minum obat dulu…” sanggah Gigi dengan suara agak bergetar. Ia paksakan senyum sebisanya untuk melawan getir hebat di dadanya.

Nue tidak menjawab kata-kata Gigi itu. Masih pada posisinya.
Untuk kedua kali Gigi menelan ludah, bukan karena takut tapi lebih karena sedih. Ia pun membujuk Nue lagi dan lagi.

“ayo kak…”

Nue tetap membisu.

Gigi pun memegang tangan Nue yang terpaku kaku mencengkram rambutnya itu.

“ayo kak.. mak..”

‘prangg..!!!’

Pupil Gigi melebar. Tubuhnya seakan memematung ketika Nue dengan kerasnya menepis tangan Gigi yang memegang piring hingga piring itu jatuh dan pecah di lantai.

“Aku ga mau makan! Ngerti ga sih!”

Wajah yanng tadi tersembunyi dalam bayangan kini terpampang dengan jelas di mata Gigi. Wajahnya yang tampan itu kini berubah menjadi begitu dingin, seakan bisa membuat siapapun yang melihatnya menjadi patung es. Seperti yang Gigi alami saat ini.

Perlahan, mata Gigi mulai berkaca-kaca. Air mata yang tadi ia pikir sudah mulai surut kini mulai berdesakan di kelopak matanya. Bibirnya bergetar. Melihat itu, Nue memalingkan wajahnya ke arah lain. Alisnya yang tadi mengangkat tajam, kini beralih menajdi turun dan sendu.

“Pulanglah Gi..” ucapnya masih sama dinginnya.

Dengan gemetar, Gigi berdiri. Ia membungkuk ke arah pecahan piring-piring itu. Setetes demi setetes, air mata Gigi mulai jatuh di atas lantai. Gigi memunguti pecahan piring dan nasi yang bercecran itu dengan tubuh menggigil.

“Hug… Kakak kenapa sih..?” ujarnya dengan terisak. Sambil satu tangan mengumpulkan pecahan piring, tangan satu ia usapkan di kelopak matanya untuk menyingkirkan air mata yang menutupi matanya. Meski tetap saja air mata mengalir dan membuat pandangannya kabur.

“Kenapa sih kakak selalu begini? “

Nue terdiam. Sementara Gigi membuang pecahan-pecaha piring itu di tempat sampah.

“Kenapa kaka ga bisa ngeliat orang-orang yang sayang sama kakak..” ujar Gigi.

Agak lama Nue terdiam, hingga akhirnya ia berkata, “Sayang? Siapa yang sayang sama aku? Sudah terbukti sekarang. Semuanya cuma berpura-pura. Ga ada yang sepenuhnya sayang sama aku. Buat apa juga aku makan? Buat apa aku minum obat? Semuanya cuma omong kosong.”

Gerakan Gigi terhenti. Ia berdiri dan berjalan ke arah Nue. “siapa bilang ga ada orang yang sayang sama kakak? Orang tua kakak, temen-temen PSM…. Aku..!”

Kini Gigi sudah berada di hadapan Nue. Ia pandangi dalam-dalam wajah Nue, meskipun saat ini wajah Nue tidak terarah padanya.

“Aku sayang sama kakak..”ujarnya lirih.

Satu jari Nue reflek bergerak mendengar hal itu. Dalam wajahnya yang tertunduk itu, matanya tampak melebar. Tapi lambat laun matanya menyipit kembali dan alis matanya kembali terangkat tajam.

“Aku ga perlu itu.. Sayangi saja pacarmu itu.”

Gigi terkejut dengan kata-kata Nue barusan. Dengan tergugup ia menanyakan maksud Nue itu. “Pacar? Ma.. maksud kakak apa?”

“Nggak perlu ditutup-tutupi lagi.. Aku sudah denger semuanya malam itu. Aku denger. Adrian menyatakan cinta ke kamu kan..? Sudah, ga perlu kamu menampik lagi..”

Gigi terperangah. Ia tidak menyangka malam itu Nue juga datang. Tapi kenapa ia bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Apakah Nue tidak mendengarkan sampai akhir? Selain itu, ada apa Nue menghampirinya malam itu?

“Sebentar kak… aku..ak..”

“aku kecewa..!”

Suara Nue memotong kata-kata Gigi dan membuatnya terdiam. Wajah Nue kini menengadah padanya dengan sorot mata yang begitu dingin.

“Aku kecewa.. Punya adik seorang homo.”
‘DEG..’
Tik… tik.. tikk…
Jarum jam berdetak dengan begitu khidmat. Suara itu mengisi kebisuan yang tercipta antara Gigi dan Nue saat itu. Bagi Gigi sendiri, waktu seolah terhenti. Matanya menatap tidak percaya ke dalam mata Nue.

Air mata yang sempat terbendung, kini mengalir lagi. Dengan gemetar, Gigi menundukkan wajahnya dan perlahan serta agak tertatih, ia berjalan ke belakang Nue. Di sisi kasur yang lain, Gigi duduk dengan lemas. Tubuhnya menggigil dengan hebat. Kata-kata Nue tadi menghujam keras ke jantungnya. Tidak pernah Nue mengatakan hal yang kasar padanya selama ini, dan sekalinya ia melakukan itu, seketika menghancurkan hati Gigi berkeping-keping.

Dengan tenaga yang tersisa, ia memaksa dirinya untuk berbicara. Meski suaranya harus tersendat-sendat oleh isak tangis.

“Kakak tahu..? hug… aku.. sebenarnya ga bisa bahasa inggris.. aku bego’.. aku ga bisa nyanyi… aku ga bisa baca partitur… aku malu buat tampil di depan panggung..” Gigi menelan ludah dan menghapus air matanya yang tak hentinya mengalir.

“Tapi aku laluin itu semua.. karena siapa? Itu karena kakak… aku sayang sama kamu kak… “

Gigi menoleh sedikit ke arah Nue. Nue tidak bergeming.

“Aku berusaha semampuku.. meskipun aku harus belajar notasi tiap malam.. harus ngadepin matakuliah yag sama sekali ga aku ngerti.. meski aku harus dibentak-bentak senior.. semua aku hadapi dengan ikhlas, semua karena kakak.. aku dah lakuin semuanya untuk kakak!”

“Sekarang kakak bilang aku homo… oke.. aku akui itu bener.. Tapi, kalau kakak benci sama aku karena pribadiku ini, AKU JAUH LEBIH MEMBENCI DIRI AKU SENDIRI KARENA INI..! kalau akhirnya aku cuma ngerasain sakit karena memendam perasaan sama kakak! Selama ini aku harus mendam sakit karena perasaan cintaku ke kakak.. setiap hari aku harus memaksakan senyum saat Nue bercerita tentang kak Grace.. aku berusaha tetap kuat dan menemani kakak ketika kakak sedih,meskipun yang kakak tangisi itu adalah orang lain. Setiap malam aku cuma bisa nangis ketika bayangin wajah kakak yang rasanya makin jauh dari aku. Asal kakak tahu, akhirnya aku capek hidup seperti ini!kalau bisa memilih, aku ga mau dapet nasib seperti ini.. aku ga pengen suka sama sesama cowok.. aku ingin lepas dari bayanga kakak.. “ suara Gigi yang semula meninggi perlahan mulai melemah.

“tapi aku ga bisa…”

Gigi pun berdiri dari kasur Nue dan berjalan sambil menghapus semua air mata di wajahnya. Hingga ia sampai di ambang pintu, ia menoleh ke arah Nue yang memuggunginya.

“Ternyata benar.. aku ini si bodoh yang duduk sendirian… berbicara dengan bulan.”

Tangan Nue bergetar, dan tubuh Gigi pun meghilang dari ambang pintu. Ia berlari, meninggalkan ‘kakak’ yang mengkhianatinya.

 

‘ting tong…’

Adrian yang tengah terduduk lesu di meja belajarnya mulai terusik. Di rumahnya hanya ada dirinya sendiri. Dengan malas ia pun berjalan menuju pintu ruang tamu.

“cari siap…”

Kata-kata Adrian terhenti ketika ia melihat seorang cowok dengan mata sembab di depannya.

“Malam ini.. aku boleh nginep Dri?” tanya Gigi dengan suara serak.

Adrian tercengang. Ia tidak tahu apa yag terjadi pada Gigi, tapi dilihatnya kondisi Gigi yang menyedihkan. Ia pun mengangguk. “I.. iya boleh Gi.. ayok masuk..”

Gigi tersenyum lalu masuk ke dalam rumahnya. Begitu Adrian menutup pintu, sebuah pelukan erat megunci tubuhynya. Mata Adrian terbelalak. Tak lama kemudian, ia bisa merasakan bajunya basah.

“Gi…?”

Tubuh Gigi menggigil dan air mata terus membasahi baju Adrian.

“Kamu bener Dri… Kamu bener.. aku si bodoh itu.. aku si bodoh….” erang Gigi.

Mendengar itu, Adrian hanya termenung. Setidaknya ia sedikit tahu apa yang sedang terjadi. Ia pun dengan lembut mengelus kepala Gigi di dekapan dadanya.

“udah… Aku disini Gi..kamu menangislah sepuasnya.. habiskan kesedihanmu Gi… “
***

Di kamar Nue yang gelap, Nue mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Hingga ia menengadahkan wajahnya. Tampak matanya yang basah oleh air.

“Begoo!!” erangnya.

Ia menundukkan wajahnya dan memangku dahi denga kedua telapak tanganya. Membiarkan air mata dengan bebes jatuh ke lantai yang dingin.

“Apa yang udah kamu lakuin Nu..?” decitnya parau.

Ia ingat apa yag sudah ia lakukan dan katakan pada Gigi. Ia ingat bagaimana wajah Gigi. Ia ingat air mata Gigi. Ia ingat kata-kata Gigi. Semua itu tanpa ia duga sudah meninggalkan bekas luka dalam di hatinya.

Hatinya telah digelapkan oleh amarah juga cemburu. Membuatnya lupa pada orang yang selama ini menyayanginya dengan sepenuh hati.

Ia teringat saat pertama kali berjumpa dengannya. Ia ingat saat Gigi menolongnya saat penyakitnya kambuh. Ia ingat saat ia dan Gigi saling berbagi earphone. Ia ingat saat Gigi mendengarkan curahan hatinya. Ia ingat saat Gigi setiap hari mengingatkannya minum obat. Ia ingat….

Perlahan Nue menengok ke belakang. Di rabanya kasur itu dan air mata Nue kembali mengalir.

Ia bahkan ingat saat Gigi memeluknya saat ia kejang. Ia tidak bisa mengingat dengan jelas. Tapi entah kenapa dia merasakan sebuah pelukan hangat, yang akhirnya mengetuk kesadarannya.

“Gi.. kaukah itu?” gumam Nue pelan.

Tapi seketika bayanga wajah Gigi yang menangis menyeruak di mata Nue.

“sekarang kakak bilang aku homo… oke.. aku akui itu bener.. kalau kakak benci sama aku karena pribadiku ini, AKU JAUH LEBIH MEMBENCI DIRI AKU SENDIRI KARENA INI..!”

Nue langsung memejamkan matanya menahan sesak. Penyesalan hebat menghujani tubuhnya seperti ribuan lembing. Dengan tubuh menggigil ia pun bangkit dari kasurnya.

‘Bagaimana bisa aku berbuat seperti itu? Aku sayang padanya.. dia ga salah apa-apa. Tapi kenapa aku membentaknya? Harusnya itu Grace!’

‘ya.. aku akui.. ternyata aku cemburu.. aku melampiaskan itu dengan amarah pada Gigi. Aku bilang aku kecewa.. padahal..’

Nue memejamkan matanya dan ia mengusap wajahnya. Diatas jari jemarinya yang menutupi mulutnya, matanya mulai terbuka dengan sendu.

‘apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah Gigi membeciku?’

‘aku tahu, aku bukan orang yang pantas lagi berbicara dengannya tapi…’

‘nggak.. aku..’

“Ya.. Aku harus minta maaf ke Gigi..” gumamnya.

Meski awalnya ragu, tapi akhirnya ia membulatkan tekadnya dan ia bangkit dari kasurnya.

Sayangnya tekad yang kuat itu ditopang oleh tubuh yang rapuh. Baru saja kakinya melangkah, seketika kaki Nue serasa tidak bertulang, dan tubuh Nue jatuh ke lantai. Tubuhnya yang semula menggigil karena isak tangis berangsur-angsur berubah menjadi kejang.

“please… janga…”

Tapi sia-sia. Bangkitan itu datang diluar kehendak Nue. Langsung saja tubuh Nue meronta dengan keras di lantai. Seolah dihukum oleh penyesalannya sendiri. Serpihan kecil piring yang masih tercecer menggores dan menancap di sekujur tangan dan wajah Nue hingga wajah tampan dan putih itu kini berhiaskan garis-garis darah. Nue yang tidak bisa merasakan sakit itu terus meronta dengan hebatnya. Berkali-kali tangan dan kaki Nue harus berbeturan dengan benda-benda keras di sekitarnya. Kini dia sendiri. tidak ada orang yang meungguinya sambil menangis, atau memeluknya dan berbagi sakit dengannya. orang itu sudah pergi meninggalkannya. Seolah pederitaan belum puas mencambuk tubuh Nue, sebuah hantaman keras kini mendarat di kepala Nue.

“daaashh!!”

Benturan itu mengenai kepala Nue dengan telaknya. Berangsur, kejang di tubuh Nue mulai melemah. Darah segar menggenang cepat dari kepala bagian belakang Nue. Tubuh Nue akhirnya sudah berhenti menggelepar. Kesadaran nue perlahan bagkit kembali meski hanya berupa pandangan kabur.

Diulurkannya tangannya yang penuh luka ke arah ambang pintu yang terbuka. Di luar sana langit malam tampak cerah. Rembulan bersinar dengan aggunnya, menyinari wajah Nue. Cahaya itu menembus samar di dalam kesadaran Nue. Membentuk sebuah siluet dari sosok yang sebenarnya ia kasihi.

Dengan sisa kesadaran yang ia miliki, bibir pucatnya bergerak lirih. Jari jemarinya merekah seakan mencoba meraih seseorang jauh di sana.

“Gigi….ma…af..”

Siluet itu tersenyum padanya dan ia berlari menjauh. Nue terkejut. Ingin ia memanggil sosok itu, tapi tubuhnya tak bisa lagi ia gerakkan. Bulan yang bersinar seakan kian menciut dan akhirnya tidak menyisakan sedikitpun cahaya di mata Nue. Hingga akhirnya semua berubah menjadi hitam. Tangan itu, jatuh dengan lemah di atas lantai. Bersama dengan tubuh yang tergolek tak berdaya di lantai yang dingin, berselimutkan penyesalan yang tak tersampaikan.
***

Hymn of My Heart 5b

bar 5b

Nue mengamati jam dengan sedikit risau. Sudah pukul 17.27 tapi temannya yang akan menggantikan shift kerjanya belum datang-datang. Nue berdecak lalu merogoh ponselnya, ia pun menghubungi temannya itu, berharap kali ini akan di angkat, karena daritadi ia hubungi namun tidak dijawab.

‘halo’ ucap seseorang dalam ponsel Nue.

“oi, Meng! Cepet kesini! Udah waktunya balik aku!” kata Nue dengan sedikit kesal.

“iya.. sorry bro, aku baru bangun.. tunggu ya, aku mandi dulu. 15 menit doang kok, see ya..”sambunganpun terputus.

“ha? Mandi? Hoi.. tung… yah ditutup, sialan!” Nue mengangkat alisnya dengan emosi. Di letakkannya kembali ponsel itu kedalam saku celananya.

Bagiamana Nue tidak emosi? Pergantian shift seharusnya pada pukul 16.00 tadi. Artinya, sudah hampir satu setengah jam Nue menunggu temannya yang dipanggil Omenk itu. Belum lagi, pukul 18.30 nanti ia harus melatih Gigi. itulah kenapa dia harus cepat-cepat pulang. Nue pun mengacak-acak rambutnya dengan kesal.

“mas… mau bayar..”

Nue spontan menoleh, ternyata ada cewek yang melihatnya dengan tatapan aneh. Nue pun seketika merapikan rambutnya dan berdehem pelan untuk menyumbunyikan rasa malunya.

“ehem.. ya, nomor 7 ya? 4000..”

‘sialan kamu Menk.. mana masih mandi lagi..?! sampe jam berapa entar??’

Pukul 18.10 barulah Omenk datang dengan vespanya.

“sorr..” baru saja omenk menyapa, Nue langsung menyerobot keluar dan melajukan sepeda motornya, meninggalkan omenk yang heran sambil menggaruk-garuk rambut keritingnya.

Nue melajukan sepeda motornya dengan kencang. ‘sialan omenk, jam segini baru dateng!’ gerutunya.

Akhirnya ia sampai di kos-kosannya. Segera ia memarkir sepeda motor, lalu bergegas menuju kamarnya. Mengambil peralatan mandi lalu menuju kamar mandi.

Sementara itu, Gigi tengah menunggu di gazebo ditemani dengan laptopnya. Ia menengok jam, sudah pukul 18.34.

‘nggak biasanya kak Nue dateng telat..’ pikir Gigi.

Baru saja Gigi membatin, tampak Nue dengan sepeda motornya melaju menuju ke arahnya.

“sory Gi, agak telat.”ujar Nue.

“oke, no problem..”jawab Gigi sambil tersenyum.

“hehe.. oke dah ayok langsung latihan!”

Mereka berdua pun mulai mereview bagian yang mereka pelajari kemarin. Tampak Gigi yang sudah mulai fasih melantunkan lagu itu hingga pada bagian tersulitnya. Nue tersenyum puas melihat perkembangan Gigi. ia pun mulai mengajari Gigi bar-bar selanjutnya. Bar-bar selanjutnya tidak begitu sulit sehingga Gigi dengan cepat mencerna dan mempraktekkannya.

“nah sip…! tinggal dikit Gi… tinggal 5 bar lagi, habis itu tuntas deh..” ucap Nue yang duduk di kursi gazebo sambil meminum air yang ia bawa.

“fyuh… iya juga.. ga kerasa cepet juga.. ehmm btw tenor yang lain sekarang sudah sampek mana?” tanya Gigi yang kini juga duduk di gazebo.

Nue menutup botol airnya dan menyerahkannya pada Gigi.

“sudah sampe Mars UJ.”

“haaa!” Gigi melongo sambil mengambil botol air minum Nue.

‘hah? Aku kira aku sudah lebih cepat belajar daripada yang lain. Ternyata mereka sudah belajar lagu mars?!! What the….!!!’

Nue terkekeh saat melihat reaksi Gigi. “hhaha.. kenapa kaget? Biasa aja kali. Mereka mungkin cepet bisanya, tapi belum tentu notasi mereka semateng kamu kan?”

Gigi mengangguk pelan sambil meneguk air, berharap yang Nue ucapkan itu benar. Dia memang sudah dilatih Nue dengan cukup ketat. Jika Nue mengatakan notasi Gigi sudah benar, berarti memang benar-benar tidak ada yang cacat. Gigipun tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Tidak percuma ia meluangkan waktunya untuk latihan privat bersama Nue.

“oh iya kak.. makasih ya..”ucap Gigi.

Nue mengangkat alisnya dengan heran. “makasih buat apa?”

Gigi tersenyum malu. Sebenarnya ia ingin bilang ‘makasih buat semuanya..’ tapi ia urungkan itu karena menurutnya itu terlalu… ehemm…

“makasih buat koreksi tugasnya waktu itu, aku dapet A lo.. hehehe..”

“ooh… biasa aja kali.. “

“beneran? Berarti lain kali aku bisa minta tolong lagi donk?”

“hoee.. enak aja. Lain kali bayar… udah yok, latihan lagi..” Nue pun bangkit dari kursinya dan memberi Gigi isyarat untuk berdiri juga.

“yah, cepet banget istirahatnya..” keluh Gigi. Gigi melangkah gontai menuju ke arah Nue.

“iyah.. biar cepet selesai, cepet pulang.. aku belum makan ini..” ujar Nue sambil membaca partiturnya.

Gigi meniup poninya. Ia pun membuka partiturnya dan Nue mulai memberikan ketukan.

“siap ya.. 1..2..3.. solfamisol…”

Gigi menoleh ke arah Nue yang tiba-tiba menghentikan ketukannya. Nue sendiri tampak terdiam dan memegangi pelipisnya.

“kenapa kak?” tanya Gigi heran juga khawatir.

“ehmm.. kamu latihan dulu, aku ke kamar mandi sebentar.”ujar Nue.

Belum sempat Gigi banyak bertanya, Nue sudah berlari menuju kamar mandi. Gigi hanya bengong menatapnya.

‘se-kebelet itukah?’ batin Gigi.

Gigi pun kembali duduk di kursi gazebo. Dibacanya partitur di tangannya. Mencoba sebisanya membunyikan bar selanjutnya.

Agak lama Gigi mencoba dan akhirnya ia menyerah. ‘fuahh.. tauk ah, susah amat!’ keluhnya.

‘gguuhh…’

Mata Gigi terbelalak. Diletakkannya dengan perlahan partitur itu di meja. suara tadi langsung membuat hatinya kecut. Ia baru sadar kalau saat ini dia sedang sendirian di kampus yang gelap dan lengang itu.

‘suara apaan tuh??’ gumam Gigi dengan sedikit gemetar, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gelisah, mecoba mecari sesuatu yang sebenarnya tidak ingin ia lihat.

‘gguuaaahhh….’

Suara itu terdengar lagi. Kini kian keras menggema. Suara itu terdengar seperti eraman yang parau. Dengan lutut gemetar Gigi berdiri. Ia sudah semakin takut. Ia pun mencoba berlari menuju kamar mandi. Ia ingin menjemput Nue. Ia tidak ingin sendirian di tempat itu.

‘Huaa..!!! kak Nuee..!!’ teriak Gigi dalam hati.

Anehnya semakin ia mendekat ke arah kamar mandi suara itu semakin keras, membuat Gigi makin kencang berlari. Hingga akhirnya ia berhenti. Saat suara itu sudah benar-benar ada di depannya. Lutut Gigi sudah lemas. Kiini ia berada di koridor kamar mandi.

Ia melihat kaki seseorang di balik pintu kamar mandi itu. Suara itu kian keras menggelegar. Terdengar begitu pilu dan parau. Sedangkan kaki itu tampak meronta-ronta.

Mata Gigi bergerak-gerak. Di dekatinya ruang itu. Rasa takut itu entah kenapa sudah berganti, dengan rasa khawatir, karena Gigi tahu, sepatu yang dikenakan kaki itu adalah sepatu Nue.

“kak..” panggil Gigi lirih.

Dan begitu Gigi sudah sampai di depan pintu kamar mandi itu, mata Gigi terbelalak. Air wastafel mengucur dengan keras dan tersumbat sehingga airnya tumpah dengan deras di lantai. Dan di lantai itu, sosok yang ia kenal tengah menggelepar-gelepar di lantai.

“kak Nue..!!”

Nue tampak tidak merespon suara Gigi. tubuhnya meronta-ronta dan kejang tidak terkendali. Pupilnya menyempit dan mulutnya menganga.

Gigi benar-benar panik. Tubuh Nue kejang dengan hebatnya, tapi Gigi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia pernah melihat hal itu sebelumnya. Ini pasti gejala epilepsi!

Lutut Gigi sudah benar-benar lemas sekarang. Perlahan ia mematikan kran wastafel sehingga airnya berhenti mengguyur tubuh Nue. Lalu ia berjongkok di dekat Nue dan diam.

Mengapa Gigi diam saja? Ia hanya menyaksikan Nue mnggelepar dan meronta-ronta.

Tidak. Gigi hanya bisa duduk dan melihat, karena tidak ada yang bisa ia lakukan. Penderita epilepsi yang sedang mengalami bangkitan/kejang tidak boleh ditahan atau berusaha menghentikan kejangnya, karena hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Yang ada justru akan melukai diri sendiri maupun penderita. Karena itu Gigi hanya termenung disana, memastikan Nue tidak terbentur benda-benda keras dan… menangis.

“gwaaahhh… haaaaa!!! “ Nue mengerang makin keras, begitu juga tubuhnya yang terus kejang seperti tersengat listrik.

Gigi hanya bisa menangis. Saat ia melihat Nue tampak begitu menderita. Rasanya pasti sakit. Rasa sakit yang juga Gigi rasakan saat ini, karena tidak bisa melakukan apapun selain ‘menonton’. Berteriak minta tolong pun tak ada gunanya mengingat hanya ada mereka berdua di kampus itu.

‘maafin aku kak Nue.. aku ga bisa lakuin apa-apa.. aku cuma bisa ikut menangis..’ batin Gigi.
***

Setelah 6 menit, akhirnya kejang pada tubuh Nue sudah mulai mereda. Hingga akhirnya tubuh Nue tidak bergerak sama sekali. Gigi pun segera menghapus air matanya dan menghampiri Nue.

“kak..”panggilnya pelan.

Sedikit demi sedikit kesadaran Nue mulai muncul. Dengan tatapan sayu, dilihatnya wajah Gigi, lalu ia melihat kesekililingnya dan dirinya sendiri. Tampak ia bingung dengan apa yang terjadi.

“Gi.. ada apa ini Gi..?” tanyanya masih dengan nada bingung saat mendapati tubuhnya basah kuyup. Gigi pun membantunya untuk bangun dan menyandarkannya pada bingkai pintu.

Setelah itu Gigi terdiam, ia masih ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Nue.

“kakak.. aku anter pulang yuk..” ujarnya pelan.

Mendengar itu Nue termenung. Tidak ada komentar apapun yang ia ucapkan selain mulutnya yang sedikit menganga.

“aku tadi.. kejang kan?”

Gigi meundukkan wajahnya sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.

Setelah itu keduanya pun terdiam. Gigi menunduk, begitu juga Nue. Hingga akhirnya Gigi mendekati tubuh Nue dan merangkulnya.

“gi..?”

“aku anter kakak pulang ya..”ujar Gigi, dengan susah payah ia mengangkat tubuh Nue yang masih lemah.

“tapi gi..”

“aku bisa kok, nanti kakak tunjukin aja jalannya..”

“nggak Gi, biar aku yang nyetir..”

“nggak!”

Kata Gigi yang lantang membuat Nue terdiam.

Gigi menoleh ke arah Nue dengan tatapan sendu. “maaf kak, plis jangan salah paham.. aku cuma khawatir kakak masih belum bisa nyetir untuk sekarang. Biar aku yang bonceng kakak.”

Nue pun mengangguk, setelah itu Gigi merangkul Nue berjalan menuju tempat Nue memarkir sepedanya.

Nue tampak menunduk lemas dalam boncengan Gigi. Gigi menoleh wajah Nue sesaat dari spion, lalu dengan satu tangan ia meraih tangan Nue dan menggenggamkannya pada pinggangnya.

“pegangan kak, biar ga jatuh.”

Nue memandang Gigi sesaat lalu diam, tidak mengatakan apapun selain menuruti kata-kata Gigi.

Tak lama kemudian , mereka telah sampai di kos-kosan Nue. Gigi merangkul Nue menuju kamar yang ia tunjuk. Setibanya di kamar, dengan hati-hati Gigi merebahkan tubuh Nue di kursi.

“boleh aku buka lemari pakaiannya?” tanya Gigi.

Nue mengangguk. Gigi pun membuka lemari pakaian Nue dan mengambil baju ganti untuk Nue.

“biar aku pake sendiri Gi..”kata Nue saat Gigi menyodorkannya pakaian ganti.

“oke.. aku beli makan dulu ya kak, kakak belum makan kan?” pamit Gigi.

“eh? Nggak perlu Gi..” cegah Nue, tapi percuma, Gigi sudah menutup pintu kamarnya dan terdengar suara sepeda motor dinyalakan.

Nue termenung. Dengan perlahan ia membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian ganti yang tadi Gigi ambilkan.
Setelah selesai, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelum ia kejang. Yang ia ingat hanya saat ia mendapat aura (semacam sensasi penglihatan, pendengaran atau penciuman yang dirasakan penderita epilepsi sebelum terjadinya bangkitan.) ia bergegas menuju kamar mandi. Ia tidak ingin seorangpun melihat saat ia kejang.

Setibanya disana, untuk beberapa saat aura itu hilang. Nue pun entah kenapa masih belum kehilangan kesadaran. Nue menghembuskan nafas lega. Ia kira bangkitan tidak terjadi. Sayangnya baru saja ia mencoba untuk membuka kran wastafel untuk mencuci muka, aura itu kembali muncul, lututnya mendadak lemas dan… semuanya menjadi gelap.

Kini Nue memejamkan matanya rapat-rapat. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, hal yang biasa ia alami setelah kejang.

Dengan tubuhnya yang selemas ini, Nue bisa mengira-ngira, dia pasti kejang cukup lama. Berapa lama Gigi di sana dan menunggunya? Dan wajah Gigi tadi.. apakah dia menangis?

Beberapa lama kemudian pintu kamar Nue diketuk. “masuk..” sahut Nue.

Gigi membuka pintu dan memasuki kamar Nue. Di tangannya tampak sebuah kantong plastik yang ternyata berisi roti.

“ini kak, makan dulu.. maaf aku Cuma bisa beliin roti. Warung-warung pada tutup soalnya..”sesal Gigi.

Nue pun tersenyum sambil meraih roti itu, “gapapa.. makasih Gi..” ujar Nue yang dibalas dengan senyuman Gigi.

Gigi duduk di sana, menunggu Nue menghabiskan rotinya.

Tampaknya kekuatan otot Nue mulai pulih, Nue memakan roti itu dengan lahap.

“ohm.. Gi.. mau?” tawar Nue.

Gigi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “nggak kak.. kakak makan aja..”

Nue mengangguk-anggukkan kepalanya dan menggigit roti itu. “hm.. ya kapan-kapan aku traktir deh..” ucapnya dengan mulut penuh.

Gigi tertawa kecil. Keduanya kembali tidak terlibat percakapan, sementara Nue sibuk dengan rotinya, Gigi memandangi Nue dengan prihatin.

“kak..”

“hmm..?”

“boleh aku tanya sesuatu?”

Nue memperlambat kunyahannya dan melirik Gigi. “hmm.. silakan..”

Gigi menghirup napas dalam. “sejak kapan kakak sakit begini?”

Nue mencoba menelan sisa roti di mulutnya lalu menghirup napas dalam. Ia tahu Gigi akan menanyakan hal ini.

“sejak aku kecil Gi.. “ jawabnya. Iapun melahap secuil roti terakhirnya, dan dengan mulut setengah penuh ia melanjutkan kata-katanya. “sudah lama aku menjalani terapi, hingga saat ini. Sudah lama penyakit ini nggak kambuh. Tapi hari ini memang aku lupa minum obat karena terburu-buru dari pulang kerja tadi. Aku ga nyangka kalau penyakit ini bisa kambuh secepat itu.”

Gigi mengeryitkan alisnya. “kerja? Sejak kapan kakak kerja? Kakak kan penyandang beasiswa juga..”

Nue tersenyum dan melempar plastik roti itu kedalam keranjang sampah tak jauh darisana. Agak lama, akhirnya dia bicara.

“aku.. pingin ngasi Grace hadiah Gi.. ponselnya sudah usang, jadi aku pingin belikan dia black berry seperti yang dia pinginin.”

Gigi termenung. Hatinya pilu saat tahu alasan Nue bekerja. Nue rela mengorbankan waktu dan tenaga bahkan kesehatannya hanya demi membelikan Grace sebuah Black Berry? sebenarnya sejauh apa cinta Nue pada Grace?

“apa.. kak Grace tahu kalau kakak..”

Nue menggeleng. Matanya menerawang kosong. “karena itu Gi, please… jangan bilang siapa-siapa tentang penyakitku ini.. apalagi Grace..”

Gigi segera memandang Nue denga tatapan protes, “tapi kak,, kak Grace itu pacar kakak.. sudah seharusnya dia tahu tentang penyakit kakak.. kalau dia memang mencintai kakak, dia pasti mengerti dan pastinya akan merawat kakak saat penyakit kakak kambuh seperti ini..”

Nue tersenyum mendengar kata-kata Gigi. “berarti saat ini kamu sudah seperti pacarku ya?”

“apa? Ha? Nggak.. bukan gitu..!!” Gigi tampak kaget dan gelagapan menjawab pertanyaan Nue yang ‘jleb’ di hati itu.

Nue terkekeh pelan lalu ia menerawang kosong pada langit-langit. “aku tahu itu Gi.. aku tahu harusnya dia akan mengerti jika dia benar-benar mencintaiku. Tapi… aku masih takut Gi. Aku takut kalau dia akan ninggalin aku. aku ga mau jadi beban bagi dia..”

Gigi menelan ludah dengan getir. Di satu sisi ia sangat prihatin pada Nue, di satu sisi ia juga marah dan iri, kenapa Nue bisa begitu cinta pada Grace? Padahal Gigi bisa ngelihat dari mata Nue, kalau dia juga belum yakin Grace juga mencintainya dengan tulus.

“Jadi aku mohon Gi.. rahasiakan ini..” ujarnya.

Gigi tidak langsung menjawab. “selain aku, siapa lagi yang tahu?”

“cuma kamu dan bapak-ibu kos..”jawab nue lirih.

setelah mendengar hal itu, Gigi menundukkan wajahnya dan mengusap dahinya.

kali ini Nue memandangnya dengan tatapan memohon, “plis Gi..”

Gigi pun mendongakkan wajahnya dan di tatapnya Nue dengan senyuman tipis. “oke, kak..”

Nue tersenyum. Ia pun bangkit dari ranjangnya, mengacak-acak rambut Gigi sambil terkekeh dan mengambil obat anti-epilepsinya. “makasih ya Gi..”

Gigi hanya tersenyum sambil merapikan kembali rambutnya.
ia pandangi Nue yang tengah menenggak obatnya hingga ia merenung.

‘bisa-bisanya kakak seperti itu. Apa sih yang bikin kak Nue cinta mati sama kak Grace? Padahal aku tadi sudah khawatir setengah mati saat kakak kejang, tapi justru kakak mengkhawatirkan orang lain! Uuughh… kenapa dunia ga adil banget! Tapi.. yah.. aku janji ga akan memberitahukan hal ini pada kak Grace karena memang kakak meminta begitu. Sakit sih.. tapi, ini semua aku lakuin buat kakak. Asalkan kakak bahagia…..’
***

Hymn of My Heart 1

Nue menghentikan sepeda motornya di halaman Gedung S, Universitas J. Dalam boncengannya tampak seorang gadis yang mengalungkan tangannya dengan mesra pada pinggang Nue.

“eh, udah nyampek? Hehe.. keenakan deh dibonceng Nunu..” ujar gadis itu dengan ekspresi kocak.

Nue hanya tersenyum simpul saat melihat gadis itu turun dari sepeda motornya. “kamu nggak ke fakultas aja?”

“ehm.. nggak dulu deh Nu, aku sibuk ini di pusat, tau sendiri kan aku juga ikut tampil buat choir LPSAF? Jadi harus latihan mulai sekarang.. Nunu nggak apa-apa kan?” ujar gadis itu sambil mengorek-ngorek isi tasnya.

Mendengar kata-kata gadis itu, lagi-lagi Nue hanya tersenyum. “iya.. nggak apa-apa kok. Kenapa? ada yang ketinggalan?” tanyanya saat heran melihat gadis di depannya tampak heboh mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya.

“ehmm.. ini cari partitur… nah ini dia.. ya ampun aku lipet-lipet begini.. hehehe… iya udah deh nu, grace latian dulu yah..”

“honey, tunggu..” cegah Nue pada grace yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkannya.

Gadis bernama grace itupun menoleh padanya lalu berjalan kembali ke arahnya. “heum….. katanya ga mau dipanggil honey, tapi nunu sendiri manggil grace gitu..hehe..”

Nue cengengesan dan mendekatkan wajahnya ke wajah grace lalu mengecup lembut pipi grace yang langsung membuat pipi grace memerah.

“ih,, apaan sih nu, kan malu kalo diliat temen-temen…” protes grace yang celingukan ke kanan-kiri, masih dengan wajah memerah. Sementara itu Nue masih tersenyum puas.

“hehe.. dah honey..”ujar Nue lantang sambil melajukan sepeda motornya.

“ih.. nakal nunu ya..!”

Nue tersenyum kecil saat melihat bayangan grace di cermin spion lalu kembali melayangkan pandangannya kembali ke depan, menuju kampusnya.
***

Bar 1, Nue and Anggian

Sesampainya Nue di halaman kampus, tampak tempat parkir yang dipenuhi dengan belasan sepeda motor. Nue pun bergegas memarkir sepeda motornya dan berjalan menuju ruang aula. Mata Nue sempat terbelalak sesampainya di aula, melihat banyak yang hadir pada latihan perdana malam ini.

“hei! Telat! Denda Rp.5000,00 ya..?!”

Nue kaget saat seorang gadis menepuk pundaknya dengan buku absensi. “apaan si mbak? Baru juga telat semenit!” protes Nue pada gadis bernama nurul itu.

“eits, entah kamu telat semenit kek, setengah menit kek, satu detik kek, kalo namanya telat ya telat, dan sesuai komitmen kita di awal, telat sama dengan denda Rp 5000,00!!”

Nue hanya mendengus pendek dan mengeluarkan dompetnya. “hmm.. tahun ini banyak juga yang ikut.” Ujar Nue saat merogoh isi dompetnya.

“iya nih, hehe.. ga percuma kita promosi pas puasa-an, hehe..” jawab nurul yang memandangi para Maba (Mahasiswa Baru) yang sedang menyiapkan barisan.

Nue tersenyum kecil lalu menyodorkan selembar uang limaribuan pada nurul. Nurul pun menyambut uang itu dengan sigap.

“nanti kamu yang seleksi tenor ya..”ujar nurul yang sedang berusaha menarik uang di genggaman Nue.

“oke”jawab Nue santai, masih memegang erat uangnya.

“nu, lepasin.” Kali ini nurul memandang Nue dengan tatapan mengancam.

Nue pun melepaskan uang limaribuan itu sambil cengengesan nggak jelas. Ya namanya juga uang lima ribu, siapa yang rela juga ngelepas gitu aja? :P

Nurul mendengus sesaat pada Nue lalu memasukkan uang itu ke dalam buku absensi lalu berjalan menuju barisan Maba yang sudah tertata rapi. Sementara Nue berdiri bersandar pada bingkai pintu sambil menyilangkan lengannya di dadanya. Tampak beberapa maba cewek yang mencuri-curi pandang ke arahnya. –resiko cowok ganteng-

“selamat malam..” sapa Nurul.

“malam…”jawab para maba serentak.

“terima kasih atas kehadiran kalian malam ini. Aku sampai terharu…” ujar nurul sambil berpolah mengusap kelopak matanya.

“kak.. ga usah lebay kak..” ujar Radit yang langsung direspon dengan gelak tawa para senior dan beberapa maba.

Namun para senior langsung menahan tawanya ketika nurul melotot pada mereka. Nurul pun melanjutkan kata-kata sambutannya.

“oke, saya selaku ketua umum UKM Paduan Suara fakultas Sastra menucapkan terima kasih atas partisipasi kalian pada latihan LPSAF malam ini. Kalian pasti sudah tahu apa itu LPSAF kan? Karena pada ospek kemarin kami sudah menjelaskan panjang lebar mengenai hal itu, tapi disini saya akan jelasin lagi. Jadi, LPSAF, atau Lomba Paduan Suara Antar Fakultas adalah event tahunan yang diadakan oleh PSM (Paduan Suara Mahasiswa) UJ. Lomba ini dikhususkan bagi mahasiswa baru dari setiap fakultas. Karena LPSAF ini adalah acara yang dibuat UKM PSM, sudah pasti yang dilombakan adalah paduan suara. Dalam lomba ini, kita diharuskan menyanyikan 3 lagu. Dua diantaranya adalah lagu wajib, yaitu Hymne dan Mars UJ sedangkan satu lagi adalah lagu pilihan atau bebas. Lagu-lagu tersebut akan dibawakan dengan empat suara, yaitu sopran, alto, tenor dan bass. Huu… kalian pasti bingung nyanyi aja sampek ada 4 jenis suara gitu. Tenang saja, karena kami akan melatih kalian hingga 4 bulan kedepan, tepatnya sampai lomba itu dimulai, yaitu awal desember. Jadi, sebelumnya saya perkenalkan dulu ya kakak-kakak yang akan melatih kalian selama 4 bulan kedepan.” Nurul menghentikan kata-katanya lalu memberikan isyarat pada para senior termasuk Nue untuk berbaris di depan.

“nah, dimulai dari saya sendiri, saya Nurul Aini, ketua umum PSM Fakultas Sastra. Nah lalu yang di samping saya ada kak Lily, dia adalah wakil saya sekaligus menjadi kakak pengajar suara sopran. Lalu yang disebelah saya, kak Nue, adalah satu-satunya cowok di sini..”

“heh! Maksudmu??” potong salah satu cowok senior dengan suara ‘cetarrr’nya..

“upss.. ya, maksudnya kamu juga Mi, hehe… ya ini kak Nue, dia adalah anggota bidang 1 dan akan menjadi kakak pengajar tenor, trus yang sewot tadi kak Omi , juga akan ngajar tenor.”

Nue tersenyum sekilas saat namanya dipanggil, begitu juga para maba cewek juga ikut-ikut tersenyum tidak jelas.

“oh iya, sebenarnya ada kak Grace, dia ketua bidang 1 sekaligus pengajar suara sopran, tapi hari ini dia tidak bisa hadir karena harus berlatih di PSM Pusat. Oh ya dan satu lagi, buat yang cewek-cewek jangan deket-deket kak Nue ya, nanti Kak Grece bisa jadi monster, hehe..”

Langsung saja Nue menyenggol siku nurul dengan ekspresi sewot, namun nurul masih cengengesan saja. Seperti ingin mengacuhkan Nue, nurul segera mengganti topik dan melanjutkan sambutannya.

“well, kalian yang berdiri disini adalah maba pilihan yang telah kami seleksi pada masa ospek kemarin. Tapi kalian masih belum dipilah-pilah berdasarkan jenis suaranya, jadi malam ini kita akan memilah kalian berdasarkan 4 suara tadi. Yak, langsung saja ya, setelah ini, yang cewek ke bagian kanan tangan saya. Kalian akan diuji oleh saya, kak lily dan kak Ruri. Sementara yang cowok ke sebalah kiri saya, kalian akan diuji oleh kak Omi dan kak Nue. Oke, silakan!”

Langsung saja barisan itu terbagi dua dan Nue pun berjalan menuju barisan Maba cowok.

“oke, nanti kalian maju dua-dua.Kalian harus membunyikan nada do re mi fa sol la si do re mi fa sol la…” tampak Omi mempraktekkan membunyikan notasi dari do sampai pada notasi tertinggi yang bisa ia capai, yaitu la tinggi. Beberapa maba cowok tertawa kecil saat mendengar suara Omi yang memang sedikit.. ehm… ‘cetar’ lah istilahnya.

“ngapain ketawa?!”semprot omi sewot. Maba pun kembali diam meski masih menahan senyum.

“nah, sekarang kamu dan kamu, maju. Bunyikan nada do dari kunci C sampai nada yang sekuat kamu. Segini ya ‘do’-nya, ‘doo…’ ayo Nu, kamu urus yang satunya!” ujar Omi, Nue pun segera memberikan instruksi singkat pada maba yang ia uji, setelah itu aula pun mulai dipenuhi dengan suara-suara doremifasol.

Setelah beberapa menit, terpilihlah delapan suara tenor dan sepuluh suara bass. “oke, sip. Jadi sudah terpilih ya, mana yang bass, mana yang tenor. Langsung saja kita mulai latihan lagu Hymne UJ ya.. Bass akan diajari oleh saya, sedangkan kak Nue dan kak Radit akan mengajar tenor.” Terang Omi.

Ya, Omi memang bisa menyanyikan 2 suara, Tenor dan Bass.

“eh, aku di bass aja..” rengek radit pada omi.

“yakin? Emang situ bisa nada rendah?” tanya Omy dengan nada menyebalkan.

“ya bisa lah..! udah aku di bass aja..!” ujar rfadit yang segera nyelonong ke arah barisan bass.

Omy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “dasar tuh, banci gatel..” umpatnya yang seketika membuat nue menahan tawa.

Anak-anak bass memang lebih tegap-tegap badannya jika dibandingkan dengan anak tenor, wajahnya pun oke-oke. Pantas saja radit lebih memilih ke bagian bass (dan pantas saja omy mengejeknya dengan sebutan itu.)

Kelompok bass pun berjalan menjauh, mencari spot yang lumayan jauh dan terpisah dari tenor suapaya tidak terpengaruh saat latihan. Nue pun mulai membagikan partitur lagu Hymne UJ pada adik-adik bimbingannya.

“oke, sudah dapat semua ya partiturnya. Jadi langsung kita mulai aja ya latihannya. Sebelumnya biar aku contohkan dulu bagaimana lagu hymne ini berdasarkan suara tenor, kalian diam dulu dan dengarkan, oke?”

“ya kak.”jawab para maba singkat.

“sip. Aku mulai ya.. ehm.. sebentar, Mi’, ‘sol’-nya semana?” teriak Nue pada omi yang kini berada di depan tempat parkir.

“soool…!!” suara omi menggema hingga sampai di telinga Nue.

“sol.. oke. Sol fa mi…”

“kak…!”

Nue menghentikan suaranya. Ia segera menoleh ke arah suara itu. Di depannya kini seorang cowok datang sambil terengah-engah. Nue hanya memperhatikannya sambil mengeryitkan dahi.

“kak, maaf terlambat..”ujar cowok itu dengan nafas masih terengah-engah.

“hmm.. oke, besok jangan diulang lagi. Sekarang mending kamu atur nafasmu dulu, setelah itu aku uji kamu, masuk suara bass atau tenor.”

“hosh..iya kak..”ujarnya, ia pun duduk di sebuah kursi tak jauh dari tempat tenor latihan.

“oke, aku lanjutin lagi ya.” Nue pun mulai menyanyikan Hymne itu. Suaranya mengalun dengan halus dan tertata. Bahkan di bagian nada tinggi pun suaranya masih tetap utuh dan tetap‘laki’ (ga kayak si Omi tadi.)

Saat mata Nue sedang fokus pada partitur, diam-diam, sepasang mata yang bulat memandanginya dari sela-sela punggung para maba tenor. Tampak rasa kekaguman dari sinar matanya itu.
Nue pun mengakhiri lagu hymne dan diambut dengan tepuk tangan para maba tenor.

“ya, itu tadi hymne UJ dari suara tenor. Dan untuk..”

“kak, saya belum diuji!” ujar seorang cowok yang tadi terlambat.

“ya.. aku juga mau bilang. Ya udah sini kamu.”

Cowok itu pun berjalan melewati teman-temannya menuju ke hadapan Nue.

“bunyikan nada do, re, mi, sampai nada tertinggi yang bisa kamu bunyikan. Rileks, oke?”

“oke.”jawabnya mantap.

“sip, segini ‘do’-nya, doo… ayo bunyikan.”

“do.. “

Nue seketika mengeryitkan alisnya ketika mendengar suara cowok itu. “kurang tinggi. Do…”

“do..” cowok itu membunyikan nada do sekali lagi, kali ini Nue mengangguk, tanda sudah benar.

Cowok itu pun melanjutkan lagi ke nada berikutnya dengan suara pelan dan ragu. “re.. mi.. fa.. sol.. la..si..do..”

“kok berhenti, ayo teruskan, kalo bisa sampe ‘fa’ tinggi.”ujar Nue.

Cowok itu mengangguk kecil lalu mengambil nafas dalam-dalam.

“do..re..mi..fa…sol.las..si..do..re..”

Suara cowok itu lagi-lagi tertahan. Ia menengok ke arah Nue lagi, lalu mencoba membunyikannya lagi.
“do..re.. mi.. fa..sol..la..si..do..re……………………………..mii..”

Seketika semua tertawa setelah mendengar nada ‘mi’ cowok itu yang tercekik dan terdengar seperti tersedak. Cowok itu segera menundukkan wajah dan menggaruk-garuk kepalanya. Sementara Nue hanya tersenyum kecil.

“ayo lagi, jangan ragu-ragu. Langsung saja tembak nadanya. Mi…”ujar Nue sambil mempraktekkan bunyi ‘mi’ yang benar.

Cowok itupun mencoba lagi, namun lagi-lagi ia ‘miss’ pada nada ‘mi’, meskipun ia telah mencoba berkali-kali.

Nue pun mengujinya dengan membunyikan nada do ke bawah, jadi do, si,la,sol,fa,mi,re,do. Namun cowok itu ternyata hanya sampai pada nada sol, itupun suaranya sudah seperti dengkuran. Lagi-lagi teman-temannya tertawa.

Akhirnya Nue pun menghembuskan nafas cukup panjang. “oke, kalo gitu, kamu mending masuk suara bass saja. Karena sepertinya kamu ga akan mampu nembak nada suara tenor yang tinggi.Di lagu mars, nada tertinggi tenor adalah ‘mi’ tinggi (‘mi’ titik atas) dari kunci C. Jadi..”

“jadi, saya harus bisa nada ‘mi’ tinggi suapaya bisa masuk tenor ya kak?”potong cowok itu.

“hm.. yeah.. idealnya seorang tenor minimal harus sampai nada ‘fa’ tinggi, tapi kalau kamu bisa sampai ‘mi’ tinggi ya boleh lah.. soalnya suara kamu di bass juga lemah.”terang Nue.

“kalo gitu, biar aku coba sekali lagi kak!” tantang cowok itu.

Nue hanya memandangnya dengan tatapan heran, begitu juga temannya yang lain. Kenapa dia begitu kukuhnya ingin masuk tenor, padahal dia tahu sendiri batasannya sampai mana.

“oke.”jawab Nue.

Cowok itupun tersenyum sesaat lalu menarik nafas dalam-dalam.

“do,re,mi,fa,sol,las,si,do,re….” dia menghentikan sejenak untuk bernafas, sementara Nue memandangnya dengan antusias.

“mii…..!!”

Nue tersenyum, akhirnya cowok itu bisa membunyikan nada ‘mi’ dengan benar meskipun sedikit memaksa.

“oke, kamu bisa masuk tenor.”kata Nue.

“uhuu,, yeah!”teriak cowok itu yang kemudian langsung bergabung dengan teman-temannya yang langsung mengacak-acak rambutnya.

“oh ya, aku belum tahu nama…”

“anggian kak!”

Lagi-lagi cowok itu memotong kata-kata Nue.

“namaku Anggian Dwitama! Cukup dipanggil Gigi saja, hiiiiii…”ucapnya sambil memamerkan gigi-giginya yang kecil-kecil dan putih.

“apaan sih kamu, nggi..! sok imut banget!” celetuk salah satu temannya yang bernama Tony.

“sok imut apaan coba? Aku memang imut, hahaha.. aduh!” segera saja kepala cowok bernama anggian itu dijotos teman-temannya yang gemas.

Sementara itu Nue hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya lalu mendekati keramaian itu.

“sudah?”tanya Nue kepada mereka yang langsung diam dan kembali pada posisi semula.

Nue pun memandang wajah anggian yang semula menunduk.

“Namaku Nue, Nue Lazuardy.”

***

Hymn of My Heart 17

Bar 17. Confession

“kita mau kemana Nu..?” tanya Grace yang ada di boncengan Nue.

“liat Pentas Seni Maba..” jawab Nue.

Grace mengangguk pelan namun kemudian memasang wajah cemas. “ooh.. tapi kamu nggak apa-apa kan Nu.. kamu kan baru sembuh..”

Mendengar kekhawatiran Grace, Nue menanggapinya denga senyuman. “hehe.. nggak apa-apa.. aku kan udah sehat nih.”

Akhirnya motor Nue sudah membawa mereka di tempat parkir kampus yang sudah dipenuhi denga puluhan kendaraan mahasiswa. Setelah Nue memarkir sepedanya, ia berjalan menghampiri Grace yang menunggunya.

“ayok..” ajaknya pada Grace.

Nue sedikit tertegun ketika Grace menggandeng tangannya, tapi akhirnya ia tersenyum dan berjalan mendekati kerumunan penonton.

Saat Nue datang, sebuah pertunjukan baru saja selesai. Nue melihat arlojinya. Ia berharap ia tidak ketinggalan penampilan dari Gigi yang sebelumnya sudah Gigi janjikan pukul sembilanan.

Sementara itu, di belakang panggung, tampak Gigi duduk dengan kaki dan tangan gemetar. Ia menyimpulkan jari-jarinya lalu meniup-niupnya karena jari jemarinya itu terasa begitu dingin sekali sekarang. Ia benar-benar-sangat-amat-grogi-sekali. (kalimat tidak efektif, jangan ditiru!)

Adrian menangkap kecemasan Gigi itu. ia pun menghampiri Gigi lalu menepuk pundaknya.

“setelah ini kita yang maju..” ujarnya. Kini ia menggeser kursi dan duduk di samping Gigi.

“iya.. huuftt..”jawab Gigi, ia meniup lagi jemarinya yang kian dingin ketika mendengar kata-kata Adrian itu.

Adrian tersenyum melihat sikap Gigi itu. ia merangkul pundak Gigi dan menepuk-nepuk pelan pundaknya.“santai… jangan grogi.. kamu pasti bisa!”

Gigi terdiam. Rangkulan Adrian itu, sedikit demi sedikit bisa membuatnya tenang. Rangkulan dan kata-kata Adrian terasa hangat, dan kehangatan itu menjalar hingga ke jari jemarinya. Kini jari-jemarinya tidak sedingin es lagi.

Dari balik panggung, terdengar suara host yang menggaung hingga ke rongga hati Gigi.

“yak, itu tadi penampilan dari peserta nomor 5. Sekarang mari kita sambut penampilan peserta nomor 6, “Toothfairy” band!!”

‘gleg!!’

“To..Toothfairy..??!!!!” pekik Gigi.

Adrian bangkit dari kursinya dan menepuk punggung Gigi. “ayok berdiri! Kita tampil nih..”

Seketika Gigi menoleh Adrian dengan tampang putih pucat seperti casper. “hah? Jangan bilang kalau toothfairy itu…..”

Adrian tampak tersenyum nakal sambil mengangguk.

Gigi hanya bisa melongo dan berdecit lirih.”… nama band kita..?”

Penonton tampak antusias bertepuk tangan dan ada juga yang tertawa mendengar nama yang…. ‘aneh’ itu. terlebih lagi ketika yang keluar adalah cowok-cowok dengan tampang angker dan memegang alat musik band. Hanya satu yang keluar dengan malu-malu tapi sempat membuat penonton terdiam. Beberapa yang mengenal Gigi tampak berbisik-bisik karena sebagian dari mereka tidak menyangka Gigi adalah ‘anak band’.

Sementara itu, Nue tertegun melihat Gigi yang berdiri diatas panggung bersama dengan Adrian. Terlepas dari nama band yang aneh itu, Nue juga tidak menyangka jika Gigi akan menampilkan sebuah pertunjukan musik dalam group band. Lebih tidak menyangka lagi ketika ia harus tampil dengan Adrian dan ketika ia memegang microphone.

“wih.. itu kan Anggian? jadi vokalis lo dia…!” seru Grace sambil tertawa kecil.

Nue masih tertegun. Dilihatnya Gigi yang berdiri canggung di panggung sementara teman-temannya yang lain sedang melakukan check sound.

‘aaarrghh..!! apa-apaan si ulet bulu ini! masa namanya toothfairy?? Menjijikkan banget!!’ gerutu Gigi.

ia juga tak habis pikir, bagaimana bisa teman-teman yang lain diam saja dengan nama band seperti itu. jauh-jauh hari, Gigi memang pernah mengingatkan Adrian tentang nama band mereka, tapi Adrian tidak menjawab dan dia bilang akan mengatakannya nanti, ketika akan tampil. Tapi… please…. diantara beribu nama keren, kenapa harus ‘toothfairy’? kata itu bahkan tidak termasuk dalam kategori ‘keren’ (setidaknya begitu bagi Gigi).

Ingin rasanya Gigi menangis di panggung itu ketika melihat gelak tawa dan pandangan mengejek para penonton ke arahnya. Tapi ketika mata Gigi menyisir mata penonton itu, ia melihat mata yang berbeda. Mata yang sejuk dan mengingatkannya akan tujuannya bergabung dalam band itu. ya, itu mata Nue. Wajah Nue tampak jelas menyembul dari kerumunan yang padat karena tubuhnya yang tinggi. Wajah Nue tampak tersenyum, seolah sedang memberikan semangat padanya.

Adrian menoleh ke arah Gigi. “Gi, udah siap?” tanyanya.

Gigi agak lama terdiam dan memandang wajah Nue lebih lama lagi, hingga akhirnya ia mengangguk pada Adrian.

Ia pun mendekatkan bibirnya ke depan microphone, dan entah kenapa seketika penonton terdiam.

“lagu ini.. buat kamu, yang setiap malam, hanya duduk termenung dan berbicara pada bulan..”

Sebagian penonton tertawa karena menganggap kalimat itu aneh, tapi berbeda bagi seseorang disana, yang wajahnya menyembul sendiri di atas kepala para penonton. Bagi Nue, kalimat itu sungguh berarti, hingga membuat kegetirannya menjalar ke seluruh pembuluh nadinya.

“talking to the moon..” sambung Gigi, dan tepuk tangan pun menyambut penampilan perdana gigi itu.

Rasa canggung, takut dan malu berpadu menjadi satu, saling berdesakan di dinding dada Gigi. mata para penonton makin menguatkan perasaannya itu. tapi Gigi pejamkan matanya rapat-rapat, lalu ia fokuskan pandangannya pada satu titik, sehingga seolah hanya ada dia dan orang itu di sebuah ruang kosong yang gelap. Dua buah sinar menyinari tubuhnya dan sosok yang ia pandang itu, dan pada akhirnya keduanya saling terhubung dalam sebuah dimensi yang berbeda dengan orang lain disekitarnya.

Musik mulai mengalun, dan Gigi pun membuka bibirnya.

“I know you somewhere out there..

Somewhere far away..

I want you back

I want you back

My neighbours think i’m crazy

But they don’t understand

You’re all i had

You’re all i had”

Tanpa Gigi sadari, penonton makin hening. Mata mereka terpaku pada Gigi, meskipun mata Gigi hanya terpaku pada satu orang. Orang yang juga tak bergeming memandangnya.

“waw… suara Gigi bagus juga ya Nu.. aku ga nyangka kalau dia bisa seperti ini..”gumam Grace, tapi Nue tetap tak bergeming.

“at night when the stars light up my room..

I sit by myself…

Talking to the moon…

Trying to get to you…

In hopes you’re on the other side

Talking to me too,

Or am i fool.. who sits alone,

Talking to the moon..”

Tepuk tangan penonton meledak riuh. Suara Gigi memang mengalun dengan jernih dan bening. Memang tidak banyak lekukan-lekukan dan vibra seperti seorang pro, tapi suaranya yang bening dan tinggi berhasil merebut hati penonton di sana. sementara itu, diam-diam Adrian melirik ke arah Gigi. Dilihatnya Gigi yang memandang getir ke satu titik. Adrian pun menelisik titik fokus Gigi itu, dan ia harus menelan pahit ketika yang ia lihat adalah Nue. Sedikit demi sedikit, Adrian kini memahami, tujuan Gigi mau bergabung dengannya.

“aaa… aaa…aaa…

Do you ever hear me calling..?

Aaa…aaa…aaa…

Cause everynight i’m talking to the moon…!”

Penonton tampak ber’wuuuh..’ kagum sambil bertepuk tangan lirih mendengar capaian nada tinggi Gigi yang baik. Sementara itu Gigi menjulurkan tangannya ke arah Nue, seolah memperjelas pada siapa lagu ini ia tujukan.

“still trying to get to you..

In hopes you’re on the other side

Talking to me too

Or am i fool who sits alone

Talking to the moon..”

Mata Nue bergerak-gerak memandangi Gigi yang baginya sedang bernyanyi untuknya. Tampaknya Nue menangkap dengan jelas apa maksud lagu itu. makna berbeda yang lagu itu sampaikan ketika dibawakan oleh Gigi.ya, sebuah makna yang berbeda.

Alunan musik mulai berhenti, hanya Adrian dengan gitarnya yang mengiringi kata-kata terakhir Gigi dalam lagu itu.

“I know you somewhere out there…. somewhere far.. away….”

Dan gelak tepuk tanganpun memenuhi lapangan kampus itu. saat Gigi masih tersenyum getir memandang wajah Nue jauh disana, tiba-tiba pandangannya terhalang oleh tangan-tangan penonton yang bertepuk tangan di atas kepala mereka.

Sementara itu di barisan penonton, Nue tersenyum sambil memberikan tepuk tangannya, dan Grace bertepuk tangan dengan meriahnya. “waw..!! Anggian keren!!” teriaknya.

‘ya.. dia memang keren..’ gumam Nue dalam hati. Tak hentinya dia tersenyum melihat Gigi hingga ia turun panggung.

Di bawah panggung, tampak Adrian dan kawan-kawannya merangkulnya dan mengacak-acak rambutnya dengan girang. Nue juga bisa melihat, wajah Gigi yang tersenyum dengan begitu lepasnya.

Akhirnya, Nuepun berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu. Sementara Grace yang bingung, hanya bisa mengikutinya dari belakang.

“Loh, Nu.. mau kemana? Ga liat Pensinya? Masih banyak lo..” tanya Grace heran.

“Nggak.. Pensinya.. sudah selesai.” Ujar Nue. Senyum yang tadi tersungging lebar, perlahan kini berubah menjadi senyum yang bercampur dengan kesedihan.

‘Gigi.. Maaf‘

***

Di kamar kosnya, Nue hanya bisa berbaring menatap langit-langit kamarnya. Satu-satunya yang terkenang di benaknya hanya suara Gigi ketika menyanyikan lagu ‘Talking To The Moon’ itu.

Banyak pertanyaan muncul setelah momen itu. ‘apakah Gigi benar-benar mencintainya?’

‘tapi Gigi adalah cowok, dan Nue juga adalah cowok!’

‘mungkinkah jika Gigi adalah seorang…’

‘terlebih lagi, apakah aku juga memiliki perasaan padanya?’

‘rasa yang selama ini kupendam untuknya, apakah itu cinta?’

‘tapi bukankah aku cowok?’

‘mungkinkah jika aku….’

Nue seketika bangkit dari kasurnya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

‘nggak.. nggak mungkin.. aku ga seperti ini sebelumnya.. aku punya Grace! Ya, aku punya Grace, dan aku mencintainya..’

‘tapi, kenapa? kenapa aku selalu memikirkan wajahnya bahkan saat aku sedang bersama Grace?’

‘kenapa aku selalu merasa kosong jika jauh dengannya?’

‘kenapa aku merasa tidak nyaman, ketika dia dekat dengan cowok lain?’

‘Adrian? Yah.. Adrian.. aku tidak suka jika Gigi dekat dengannya. Tapi.. tapi kenapa?’

‘Adrian ga pentes buat Gigi! dia itu cowok yang ga bener! Karena dia… dia… aahh! Harus aku akui dia bukan cowok ga bener.. dia baik.. tapi..’

‘aku ga bisa.. membayangkan dia mengacak-acak rambut Gigi aja, aku udah geram!’

‘sebagai kakak, aku… ‘

‘kakak?’

‘adik?’

‘apakah benar? Jika selama ini aku hanya….’

Kini Nue benar-benar terdiam. Cukup lama, barulah ia menoleh ke arah meja belajarnya. Ia pun beranjak dari kasurnya dan duduk di depan meja itu. diambilnya secarik kertas dan bolpoin.

Matanya menerawang getir pada kertas putih kosong itu. hingga akhirnya, tangannya yang memegang bolpoin itu mulai bergerak dengan ragu.

‘To: Anggian’

***

“Aaarrghhh….!!!” Gigi memukul-mukul kepalanya ketika mengingat kejadian di Pensi tadi. Kini dia sama sekali tidak mengerti apa yang ia pikirkan sampai-sampai berbuat sejauh itu. dilihat orang banyak, dan terlebih lagi disaksikan oleh Nue sendiri!

‘aarrhh..!!! narator sialan!! Kenapa malah diperjelas??!! (cekik narator)’

Uggh…ughh.. ampun…. !! oke..oke.. narator ga akan ungkit hal itu lagi.

Gigi pun merebahkan tubuhnya di tas kasur dengan keras, sayangnya, saking ia luput memposisikan posisi jatuh yang tepat, sehingga..

‘dug..!’

“aww..!!! adooh… apesss….!!” keluh Gigi sambil memegangi kepalanya yang terbentur bingkai kasur dari kayu solid yang pastinya… hmmm… sedap untuk dibenturkan di kepala..

‘sialan lu narator… seneng bener liat lakonnya menderita..!’

Huhu.. salahkan authornya sono..!

Sementara Gigi mengelus-elus kepalanya, tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya di ketuk.

somebody’s knocking in the door~

Somebody’s knocking in the door~ (nyanyi)

Tanpa mengabaikan nyanyian narator, Gigi segera saja menuju di dekat pintu. Jantungnya berdegub cukup kencang.

‘ini.. apakah mungkin kak Nue..?’ tebak Gigi dalam hati.

Suara ketukan terdengar lagi. dengan ragu, Gigi pun memutar kunci pintunya dan menarik gagang pintu.

Dan seketika pupil Gigi melebar ketika melihat wajah orang yang menemuinya malam itu.

“assalamualaikum..” sapanya dengan senyum yang khas.

Sementara itu, Nue baru saja menghentikan sepeda motornya di depan gerbang kos-kosan Gigi. matanya terpaku pada motor byson yang juga bertengger gagah di depan gerbang. Dengan tangan mengepal dan bergetar ia pun memasuki kos-kosan itu.

Tangga terakhir menuju lantai dua sudah ia tapak. Dengan perlahan ia berjalan menuju kamar Gigi. kamar Gigi tampak tertutup, tapi Nue bisa melihat lampu kamarnya masih menyala. Ia yakin Adrian ada di sana, tapi tekadnya sudah bulat. Ia harus menyerahkan surat itu pada Gigi. dia tidak mau membuat Gigi menunggu dan mengharap lagi. mungkin ini berat, tapi Nue harus mengungkapkan hal ini, meskipun hanya melalui surat.

Saat Nue akan mengetuk pintu, tangannya terhenti ketika mendengar suara Adrian di dalam kamar itu.

“aku cinta sama kamu Gi..”

Mata Nue melebar. Begitu juga Gigi yang ada di dalam juga terbengong tidak percaya mendengar kata Adrian itu.

“heh.. kamu mesti bercanda deh.. udah bercandanya ah, udah malem..!” tepis Gigi sambil melambaikan tangannya. Tapi Adrian langsung menangkap tangan Gigi dan mendekap Gigi dalam pelukannya.

Otomatis Gigi terkejut dan segera meronta melepaskan diri.

“issh..! kamu apa-apaan sih!” seru Gigi saat berhasil lolos dari pelukan Adrian.

Adrian tampak memandangnya dengan memelas. Akhirnya ia menjatuhkan dirinya di kursi dan menundukkan kepalanya. pada akhirnya ia harus mengakui semuanya pada Gigi. semua perasaan yang ia pendam dalam hatinya.

“udah lama Gi.. sejak pertama kali liat kamu saat ospek. Aku sudah tertarik sama kamu..”

Pupil Gigi bergerak-gerak seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar. “jadi.. kamu.. gay?”

Adrian tidak berani menjawab pertanyaan itu selain menunduk lebih dalam. “aku ga tau Gi.. aku ga tau, ‘apa’ sebenarnya aku ini.. aku ga pernah merasa seperti ini sebelumnya. Semua berubah sejak aku ngeliat kamu.. aku ga bisa lepas dari ingatan tentang wajahmu.”

Dari balik pintu, Nue tertegun. Ia mengakui, apa yang Adrian rasakan, sama dengan apa yang ia rasakan.

“tapi aku takut Gi.. aku ga bisa ngungkapin itu ke kamu. Aku merasa diriku ini pengecut. Jantungku berdetak lebih cepat ketika dekat denganmu. Melihat matamu aja aku ga sanggup. Aku cuma bisa berdiri dan melihatmu dari jauh, tanpa bisa berkata atau sekedar menyapa. Bahkan ketika kamu dekat dengan Nue..”

Secara bersamaan, mata Gigi dan Nue terbelalak setelah mendengar kata Adrian itu.

“ma.. maksud kamu..?” tanya Gigi gugup.

“kamu ga perlu bohong ke aku Gi… bahkan sebelum gosip tentang kedekatan kamu dan Nue itu nyebar, aku sudah tahu hubungan spesial kalian.”

Gigi melongo dan tidak bisa berucap lagi. dia benar-benar shock ada yang mengetahui hubungannya dengan Nue.

“sudah lama, aku ngawasin kamu Gi.. maafin aku. tapi aku memang ga bisa lepas dari kamu.. jadi, begitu denger kamu akan menjalani latihan privat dengan Nue, diam-diam, setiap kamu latihan privat itu, aku mengawasi kamu. Aku lihat gimana cerianya kamu jika ada di dekat Nue. Aku lihat bagaimana bahagianya kamu ketika berbagi earphone dengan Nue.. aku lihat itu semua..”

“jadi.. yang nyebarin gossip itu?!” tanya Gigi sedikit emosi.

Buru-buru Adrian melambaikan tangannya dengan tegas. “Bukan! Meskipun hati aku sakit ketika kamu dekat dengan Nue, aku ga mungkin tega nyebarin gosip yang akan nyusahin kamu..”

Emosi Gigi kembali mereda. untuk sejenak, ia merasa prihatin dengan keadaan Adrian. Ia tahu apa yang Adrian rasakan, karena itulah yang selama ini Gigi rasakan ketika Nue berada di dekat Grace.

“Semenjak Nue dengan Grace putus, hubungan kalian makin dekat kan? Aku lihat itu semua. Saat kalian berdua duduk disana..” Adrian menunjuk jendela besar tempat Gigi dan Nue dulu dering duduk bersama. “saat kalian saling berbagi earphone.. saat kamu bersandar di pundaknya.. saat ia menggendongmu.. aku tahu itu semua..”

Kali ini emosi Gigi kembali merangkak naik. “kamu..!!” serunya sambil berdiri.

“maaf Gi.. aku ga bermaksud menjadi stalker, tapi… aku cuma ga bisa lepas dari kamu..” jawab Adrian dengan nada memelas.

“tapi.. kamu… issshh… ya udah lah!” decak Gigi sambil duduk lagi di kasurnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika setiap kegiatannya selama ini diawasi oleh Adrian. Yang membuat Gigi tidak kalah bingung adalah bagaiamana Adrian bisa tidak terdeteksi olehnya maupun oleh Nue? Apakah dia adalah mata-mata dari FBI? Apakah dia seorang ninja? Entahlah..

“terus, kenapa kamu tahu-tahu deketin aku? aku sudah lama curiga, kenapa kamu yang sebelumnya ga pernah ngobrol sama aku, ga pernah nyapa aku, tahu-tahu ngacak-acak rambutku dan berlagak kenal banget. Apa sih maumu?”

Adrian menelan ludah pahit. Ia menundukkan kepalanya dan memandang jari jemarinya yang ia simpulkan. “aku juga lihat ketika kamu nangis gi.. kamu nangis karena Nue memutuskan untuk balik ke Grace..”

‘deg’ jantung Gigi seakan membeku, begitu juga Nue.

Jari-jemarinya yang menempel di daun pintu tampak gemetar. ‘Gigi menangis..?’ batinnya. Tampak gurat rasa tidak percaya dan penyesalan di wajahnya.

“ssh… seberapa banyak yang kamu lihat sih Dri..” ujar Gigi sambil tersenyum lirih dan memalingkan wajahnya. Jujur, ingatan tentang kejadian itu seakan membuka jahitan luka lama di hatinya.

“aku tahu Gi..!” seru Adrian tegas.” Aku tahu, kalau kamu menderita selama bersama dia! Kamu hanya bisa jadi bayangan dia aja. Kamu mencintai dia, tapi sekaligus juga kamu sadar, kalau kamu ga akan mungkin milikin dia! Dia juga ga pernah ngerti perasaan kamu kan? Dia hanya bisa nyakitin dan nyakitin kamu lagi dengan ketidakpekaannya! ia pikir dia-lah satu-satunya di bodoh yang cuma bisa duduk diam dan bicara dengan bulan, padahal sebenarnya kamu lah, si bodoh yang sepanjang malam duduk dan mengadu pada bulan! Tapi dia tidak pernah mengerti kan?”

Gigi sebenarnya marah ketika mendengar Adrian menjelek-jelekkan Nue, tapi dia juga tidak bisa berkutik, karena apa yang Adrian ucapkan itu benar adanya. Ia tidak bisa menampik kenyataan jika dialah si bodoh yang duduk sepanjang malam untuk berbicara dengan seseorang belum tentu mendengarnya melalui perantara bulan.

Sementara Nue, wajahnya tampak pucat. Tak ia sangka, Gigi selama ini begitu menderita karenanya. Ternyata lagu yang ia bawakan bukan omong kosong Bruno Mars belaka, tapi benar-benar pengalaman sedih yang ia alami. Terpaksa Nue harus membenarkan kata-kata Adrian. Selama ini ia mengira dirinya adalah orang paling malang di dunia karena cinta yang tak terbalas. Namun siapa sangka jika juga adalah orang yang tak membalas cinta seseorang yang jauh dari perkiraannya, tapi begitu dekat dengannya.

Perlahan Nue membalikkan badannya. Kini ia menyandarkan punggungnya di tembok dengan kepala tersandar lelah di tembok yang dingin, meskipun tak sedingin hatinya kini. Kata-kata Adrian tentang dirinya, semuanya benar. Tak ada yang salah sedikitpun. Dia adalah seorang yang buta dan tuli, yang tidak bisa memahami perasaan Gigi. ia cuma bisa mempermainkan hati Gigi dengan sebutan ‘adik’. Bahkan jika sebutan ‘adik’ itu benar-benar berlaku, Nue merasa dirinya tidak pantas disebut ‘kakak’. Dia adalah kakak terburuk yang pernah ada.

Perlahan ia tarik lipatan kertas yang ia simpan di saku jaketnya. Agak lama ia memandangi lipatan bertuliskan ‘to: Anggian’ di satu sisinya itu dalam-dalam. Setitik dua titik air tak terasa jatuh membasahi lipatan kertas itu, sebelum akhirnya tangan Nue meremas kertas itu dan membuangnya ke lantai yang dingin.

‘aku bukan cowok yang baik buat kamu, Adrian yang lebih pantas buat kamu Gi..’

Bisik Nue, dan bayangnya pun menghilang dari tempat itu.

Sementara itu, Gigi masih tertegun bingung mendengar pengakuan Adrian yang mengejutkan itu. ia tidak tahu harus berkata dan melakukan apa kecuali diam dan mendengarkan.

“Aku ga mau melihat kamu seperti itu lagi Gi.. kamu berubah sejak malam itu. kamu seperti orang yang ga bernyawa Gi! Aku makin yakin setelah nabrak kamu waktu itu, aku lihat matamu yang memandang sedih ke arah Nue. Aku lihat bagaimana kamu mencoba menghindari dia dan melupakannya. Karena itu, sejak saat itu, aku putuskan untuk membuang semua rasa takut dan gugupku. Aku kuatkan diri aku sendiri untuk nemuin kamu. Mungkin selama ini kamu pikir aku orang yang supel dan SKSD, tapi kamu tahu? Jauh di dalam hati aku, aku masih memendam gugup padamu Gi.. jantungku berdegub kencang setiap kali di depanmu.”

Gigi tertegun mendengar penjelasan Adrian itu, ia hampir tidak percaya jika selama ini Adrian gugup jika ada di depannya. Jika itu benar, Gigi harus mengacungkan empat jempol untuk kemampuannya dalam berakting. Bahkan Gigi tidak bisa melakukan sebaik Adrian ketika ada di dekat Nue.

Tak lama kemudian, Adrian mendongakkan wajahnya ke arah Gigi dan tersenyum padanya. “Tapi aku bahagia Gi.. ketika aku ada di dekatmu, berbicara denganmu, meskipun kamu sering marahin aku, jitak kepalaku, tapi jujur, aku bahagia GI.. kamu ga tau kan betapa bahagianya kau saat kamu bilang mau gabung di band ku? aku senang, ketika lihat kamu mulai bersemangat lagi dan ikut berlatih sama aku, saat aku bisa mengiringi suaramu yang indah dengan gitarku.. aku senang sekali.. meskipun akhirnya aku tahu, kalau kamu cuma memanfaatkan kesempatan itu untuk menyatakan cintamu ke Nue..”

Tenggorokan Gigi tercekat. Ternyata Adrian mengetahui hal itu juga. Ternyata Adrian memang memahaminya begitu dalam.

“tapi ga apa.. aku ikhlas selama kamu juga bahagia. Tapi untuk malam ini Gi.. aku mohon ke kamu, lupain dia..”

Sebuah petir menggelegar dengan keras di dada Gigi. mata Gigi tampak membulat pada wajah Adrian. Gigi makin terkejut ketika Adrian menjatuhkan diri dan bersimpuh di bawah kakinya sambil menggenggam erat tangannya.

“Nue ga mungkin mencintaimu Gi.. kenapa kamu harus memaksakan diri kamu GI? Kenapa kamu harus mencintai orang yang ga bisa memahami perasaanmu? Kenapa kamu ga bisa lihat aku, orang yang benar-benar mencintaimu? Sekarang aku bersimpuh di kakimu gi.. aku mohon.. jadikan aku orang yang bisa bahagiain kamu.. aku akan jadi apapun yang kamu minta. Meskipun tentu aja aku ga bisa menjadi Nue, tapi percaya sama aku Gi.. aku akan menjadi lebih baik dari Nue… “

Gigi terdiam. Dengan sedih ia memandang mata Adrian yang berkaca-kaca menatapnya. Akhirnya bibir Gigi bergetar dan lidahnya mulai bergerak.

“benar Dri.. aku juga buta. Aku ga bisa liat mana yang benar-benar mencintaiku, mana yang tidak. itu benar. Aku juga yakin kalau kamu akan menjadi orang yang lebih baik dari Nue. Aku yakin kamu bisa, karena saat inipun kamu sudah selangkah lebih baik dari Nue. Kamu supel, kamu asik, kamu perhatian, kamu cakep, kamu kaya, kamu sehat… kamu seolah menambal apa yang Nue tidak punya.” Gigi memutus kata-katanya.

Bibirnya seolah tidak kuasa untuk melanjutkan kalimat berikutnya, sementara Adrian tampak menunggu dengan antusias.

“aku sayang kamu Adrian…”

Tampak mata Adrian berbinar sesaat. Tapi Gigi segera menyambung kalimatnya.

“tapi sayangku ke kamu, ga lebih dari sekedar sayangku pada seorang sahabat baikku..”

Kata-kata Gigi itu seketika membuat senyum Adrian memudar. Matanya berubah sayu dan tertunduk lesu.

“mmafin aku Adrian. Kamu benar. Aku sudah buta dan tuli. Yang bisa aku liat cuma dia yang tidak akan mencintai aku. tapi masalahnya adalah.. aku mencintainya.. aku ga bisa menghapus perasaan itu.. aku lemah.. sekarang coba bayangkan, jika kamu memang cinta sama aku, lalu aku nyuruh kamu untuk mencintai Ully? Apakah kamu sanggup?”

Adrian tertegun sesaat, hingga akhirnya ia menggeleng pelan.

“Kan? itu yang aku rasakan Dri.. aku ga bisa, menghapus cintaku karena dia tidak cinta sama aku.. cinta tuh ga sesimple itu.. “

Belum sampai Gigi menuntaskan kata-katanya, Adrian bangkit dari posisi bersimpuhnya tadi. Ia tersenyum tipis pada Gigi. “hm.. oke.. aku bisa menerima itu kok..”

Gigi tampak menengadah ke arah Gigi dengan ekspresi bersalah.“dri..”

Adrian seakan tidak kuasa melihat wajah Gigi itu. dengan cepat ia palingkan wajahnya dan berbalik. “maaf Gi.. udah ganggu malam-malam.. have a tight sleep..” ujarnya sambil membuka pintu.

Setelah itu sosoknya hilang dari pandangan Gigi seiring dengan menutupnya daun pintu itu. untuk beberapa saat Gigi menundukkan wajahnya dengan gurat sedih di wajahnya. Malam ini adalah malam yang berat baginya. Malam ini dia mengungkapkan cintanya secara tersirat kepada seseorang, tapi malam ini juga seseorang menyatakan cinta secara terang-terangan padanya.

Mengingat ekspresi Adrian, Gigi paham, betapa sakit hatinya. Gigi juga pasti akan merasakan sakit yang sama apabila Nue menolak cintanya.

Perlahan, setetes embun mengalir dari ujung matanya. Ia meringkuk dalam dekapan lengan yang ia kalungkan di lututnya.

“kak Nue.. apakah benar, kakak ga mencintai aku..?”

Sementara itu, di depan pintu kamar Gigi, Adrian duduk bersandar di pintu. Tangannya tampak mencengkram dahi dan rambut bagian depannya. Bulir-bulir air mengucur dari ujung matanya. Air mata yang daritadi ia coba tahan saat di depan Gigi, kini mengalir tak terbendung lagi. harusnya ia menyangka hal ini akan terjadI, bahwa Gigi akan tetap pada cintanya pada Nue, tapi ia tak menyangka hasilnya akan sesakit ini. Dalam pandangannya yang kabur karena air mata itu, sekilas ia melihat remukan kertas di dekat kakinya. Cukup lama ia memandangi kertas itu sambil menangis. Hingga akhirnya ia sadar, kalau kertas itu tidak ada ketika ia datang. Dengan gemetar ia meraih kertas itu dan dibukanya perlahan remukan kertas itu.

‘to: Anggian’

Air mata Adrian seolah ingin terhenti. Dia memegang surat  itu dengan gemetar.

‘apakah mungkin  dia… dia tadi ada disini?’ gumamnya.

Cukup lama ia gemetar dan memandangi surat itu dengan tajam. Hingga akhirnya ia berdiri dan menyelipkan surat itu ke dalam sakunya.

“tidak untuk saat ini.” bisiknya dengan nada tertahan.

Dan jadilah malam itu, sebuah malam pengakuan antara hati yang terkunci rapat-rapat. kini beberapa kunci itu telah dibuka lebar-lebar, meskipun pada akhirnya menebar luka. Hanya satu yang tersisa. Kunci yang akan menentukan akhir kisah antara dua orang cowok yang bertemu dalam sebuah paduan not. Notasi do bisa menjadi re, mi, fa, sol, la,si hingga do tinggi, semua tergantung  pada kunci nada dasarnya. Dan kunci itu, kini tengah disimpan, oleh orang yang sedang patah hati. Akankah Gigi bertemu dengan kunci itu?

***

Hymn of My Heart 16

sebelumnya maaf aku ga bisa upload cerita ini dari awal, melainkan dari part (atau disini aku menyebut nya ‘bar’) 16. ini sebenarnya mendadak, karena sebenarnya sebagian cerita ini (bar 1-15) sudah aku upload ke boyzforum. karena ada masalah, aku ga bisa upload ke boyzforum untuk smentara waktu, jadi untuk bar 16 aku upload di sini. smoga berkenan.:)

Bar 16. Get away and get closer

‘brugg..’

Gigi menjatuhkan kepalanya di meja gazebo. Ully meliriknya dengan heran sambil mengunyah baksonya.

“Kenapa Gi? Dari tadi lemes mulu bawaannya.”

Mata Gigi menyembul dari dekapan kedua lengannya di atas meja. matanya tampak lelah dan redup.

“Ngantuuk….” ujarnya sambil menenggelamkan lagi kepalanya di balik kedua lengannya.

Gigi memang kurang tidur semalam. Dia tidak bisa tidur saat di kamar Nue itu. selain karena dia harus menjaga Nue, juga karena banyak yang ia pikirkan. Akhirnya ia baru bisa tidur pukul 2 dini hari dan pukul 5 ia harus bangun untuk pulang ke kos-kosannya karena dia ada kuliah pagi. Sebelum pulang, dia memeriksa suhu tubuh Nue. Ia merasa sedikit tenang karena suhu badannya sudah mulai turun. Akhirnya Gigi pulang diam-diam tanpa diketahui oleh Nue.

Kini tubuhnya yang berganti lemah tak berdaya. Matanya terasa sangat berat, seakan digelantungi dua ekor gajah. Bertahan untuk tetap sadar saat kuliah berlangsung saja sudah merupakan perjuanga berat. Kini ada waktu baginya untuk memejamkan mata sejenak, setidaknya sepuluh menit sebelum kuliah berikutnya dimulai.

“Ull.. kalo udah mau masuk kuliah, bangunin ya.. jangan ditinggal!” ujarnya dengan mata terpejam.

“hmm..” sahut Ully datar. Dia benar-benar sibuk dengan baksonya.

Gazebo tempat Gigi beristirahat itu dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Semilir angin yang ditiupkan pepohonan itu, dan suara kicauan burung yang merdu, perlahan mulai menuntun Gigi ke dalam titik relaksasinya.

‘ooh.. damainya..’ gumamnya dalam hati.

Berangsur-angsur, kesadarannya mulai memudar dan..

‘Brakk..!!’

Seketika Gigi terperajat. “hah? Apa?? Gempa..!!!” cetusnya dengan gelagapan. Rasanya baru setengah saja nyawanya yang kembali dan ia harus dikejutkan seperti ini, membuat jantungnya mau melompat keluar.

“Hoi… Sadar woi..”

Seseorang dengan suara yang renyah, menepuk pundak Gigi.

Seketika kesadarannya sepenuhnya kembali. Dilihatnya wajah orang yang sudah dapat Gigi tebak itu. Adrian. Tampak wajah Adrian yang terkekeh melihat ke arah Gigi. lalu Gigi juga melihat ke sekitar, dia bisa melihat orang-orang yang sedang duduk-duduk di gazebo lain terkekeh-kekeh dan sebagian menahan tawa sambil melirik Gigi. termasuk Ully yang menahan geli sambil mengunyah baksonya. Berlagak innocent. Spontan wajah Gigi memerah dan dengan sorot mata pembunuh ia menatap Adrian.

“Huaarghh.. Sialann..!!  Bikin orang malu aja!” geramnya sambil tangannya menjitak kepala Adrian. “Kamu juga Ul..! Harusnya kamu bilangin dong, kalau aku lagi tidur dan ga mau diganggu! Enak makan mulu daritadi!” semprotnya pada Ully.

Ully yang baru saja membuang bungkus baksonya hanya menaikkan sebelah alis matanya sambil menatap Gigi.  “Heh? Kamu kan ga nyuruh! Lagian, aku kan lagi makan. Orang makan  ga boleh ngomong..”

Dengan santainya Ully bicara seperti itu, padahal ia tengah mengunyah bakso terakhir di mulutnya.

Mata Gigi berkedut-kedut melihat sikap menyebalkan sohibnya itu. sementara di belakang Gigi, Adrian tampak terkekeh sambil mengusap-usap kepalanya yang masih sakit karena dijitak Gigi.

“Hehe.. Bener tuh kata mbak itu.. Kalau makan ga boleh ngomong, entar nasinya di makan setan..”

“ishh.. diem..!” semprot Gigi.

“eh, ini bakso, oke..! bukan nasi’!” sahut Ully.

“itu metafora oke?!” balas Adrian tak mau kalah.

Kedua orang itu saling berteriak di telinga Gigi, membuatnya benar-benar naik darah.

“aduh..! bisa diem ga sih?! Eh, ulet, kenapa lagi si?” tanya Gigi dengan emosi pada Adrian.

Melihat Gigi yang dibakar emosi, Adrian tampak tenang-tenang saja bahkan bisa nyengir kuda lumping. “hehe.. cuma mau mastiin aja Gi.. kamu beneran mau jadi vokalis di bandku kan?”

Mata Ully seketika terbelalak mendengar kata-kata Adrian itu.

“ck.. iya..!” jawab Gigi tegas.

Wajah Adrian tampak bersinar-sinar sedangkan  mata Ully terbelalak lebih lebar mendengar jawaban Gigi.

“hah..?? kamu ngeband Gi..?jadi vokalis??” tanya Ully dengan ekspresi wajah benar-benar tidak percaya.

Gigi hanya memutar matanya ke atas sambil meniup poninya.

Melihat pertanyaannya tidak dijawab, Ully mengguncang-guncang pundak Gigi sambil menanyakan hal yang sama. “heh? Beneran kamu ngeband Gi?? Jawab donkk..!!”

“issh.. iya..!” gertak Gigi.

Belum hilang guncangan di bahu Gigi, kini Adrian yang mengguncang-guncang bahu kirinya.

“kamu yakin kan gi.. kamu serius kan? Janji ya..!!”

Belum sempat Gigi menjawabnya, bahu kanan diguncang lagi dengan keras oleh Ully.

“haaah..!! masa’ sih GI? Emang kamu bisa nyanyi??”

Baru saja Gigi menoleh ke arah Ully, bahu kirinya diguncang lebih keras oleh Adrian.

“ya udah, nanti kamu datang latian ya! jam 3, aku jemput..!”

‘hah? Jam tiga?’ batin Gigi. Saat ia ingin protes, lagi-lagi Ully mengguncang bahu kanannya.

“ya ampun Gi..!! mending jangan.. bukannya ga percaya sama kemampuanmu.. tapi entar kalo penontonnya pada budheg abis kamu nyanyi gimana??”

‘hah? Maksudmuu..!!!??’ baru saja Gigi membuka mulut, bahu kirinya diguncang lagi.

“Ah, nggak Gi.. aku yakin, kamu pasti bisa! Makanya ntar latian ya, jam 3!”

‘……..!’

“udah jangan Gi,, kamu ga kasian banget ma aku.. ntar aku budheg seumur hidup, gimana?! Mana mau cowok nikah ma aku nantinya..??!”

‘……..!!!’

“Ah, bawel kamu mbak..! ga usa nonton aja, kan beres..!”

‘………!!!!!!!’

“eh, kenapa kamu yang nyolot? Kamu punya masalah??!”

‘….!!!!!!!!!!!!!’

“ya lah..! pokoknya Gigi harus tampil na….”

“Brakk..!!” suara gebrakan meja.

“berisik..!!!”

Gigi berdiri dengan kedua tangan mengepal di atas meja. sosok Ully dan Adrian seolah langsung menciut. Dengan senyum takut-takut keduanya bergeser menjauh. Ully kembali di kursinya sambil belagak sibuk dengan ponselnya. Sementara Adrian belagak melihat-lihat ke atas pohon sambil bersiul kecil. Nyari sarang burung kali.

Gigi melirik ke dua makhluk menyebalkan itu bergantian. Dengan satu hembusan napas dalam, ia kembali duduk di kursinya. Melihat itu, Adrian kembali mendekat.

“GI..”

“Apaa..!!”

Adrian tampak terkejut ketika suaranya yang pelan itu disambut dengan sebuah auman.

“hehe.. jangan lupa, jam 3. Aku pergi dulu ya, see ya..!”

Adrian langsung ngacir ke arah parkiran. Sementara Gigi melihat Adrian dengan tatapan protes. Ia akui, ia menyetujui ajakan Adrian untuk bergabung dalam bandnya, tapi tidak ia kira akan secepat ini waktu baginya untuk latihan.

Gigi pun memilih untuk mengabaikan hal itu untuk sementara. Saat emosinya mulai mereda, rasa kantuk yang pekat kembali membebani matanya. Ia pun kembali menurunkan kepalanya di atas meja dengan berpangkukan kedua lengannya yang disilangkan. Sekilas ia melirik ke arah Ully. Ully yang sempat meliriknya, buru-buru mengalihkan pandangannya dan kembali pada ponselnya. Ia tahu betul arti lirikan Gigi. Artinya, “Awas…”

setelah semua hama dijinakkan, akhirnya Gigi bisa memejamkan matanya. Entah kenapa sejak Adrian datang, semilir angin yang berhenbus dan kicauan burung yang tadi menghipnotisnya kini kabur entah kemana.

Setelah berjuang menenggelamkan dirinya dalam alam bawah sadarnya, akhirnya Gigi mulai bisa merasakan ketenangan dan mulai terlelap.

‘Akhirnyaa…’ batinnya.

“kriiiinggggg…!!!” tanda bel masuk kuliah berbunyi.

(—- _______ —-)”

“Gi… “ panggil Ully takut-takut.

“Ya. Aku denger kok…” jawab Gigi di balik dekapan lengannya.

Sedangkan dalam hati, Gigi serasa ingin menangis dan menjerit.

‘Oh God, Why…………….????????????’

(TToTT)

***

“Ini saya beri resepnya, terpaksa ini dosis obatnya saya naikkan lagi.”

Seorang dokter paruh baya tengah menulis di secarik kertas. Sementara itu di depannya, seorang ibu-ibu menoleh ke arah Nue. Tampak gurat-gurat kecemasan di kelopak matanya yang membuat Nue tidak kuasa melihatnya. Nue hanya menunduk sambil menunggu sang dokter selesai menulis resep obat untuknya.

Ibu itu pun kembali memalingkan pandangannya ke arah dokter, dan dengan sedikit ragu ia bertanya,”Kira-kira kenapa ya dok? Padahal dia rajin minum obat kok..”

Sang dokter itu baru saja menorehkan tanda titik di resep itu lalu menyodorkannya pada ibu itu. “Minum obat bukan jaminan lo Bu.. Kondisi anak ibu juga menentukan, baik fisik maupun psikis..” terang dokter itu. lalu ia melirik Nue. “Jangan terlalu sering stress ya, mas..”

Nue tertegun mendengar kata-kata dokter itu. ibunya tampak memijat pundaknya dan dia hanya menundukkan wajahnya.

Selama perjalanan pulang, ibu Nue tampak terus menasihati Nue. Dia sama sekali tidak menyangka penyakit Nue bisa kambuh lagi bahkan dengan jumlah yang cukup intens dalam beberapa bulan terakhir.

“kamu jangan terlalu mikir berat Nu.. kalau ada masalah, kamu tinggal bilang ke Ibu, atau sama temen kamu.. jangan dipendam sendiri..” ujar ibu Nue.

Semenntara itu, Nue hanya memandang keluar jendela taksi yang mereka tumpangi. “aku ga ada masalah Bu..”

“ah, bohong kamu. Kalau ga ada masalah, kenapa kejang kamu sering kambuh? Inget kata dokternya, kamu ga boleh stress. Liat itu muka sama badan kamu! Luka semua! Makanya rajin minum obat, jangan sampe lupa! Terus juga jangan banyak mikir berat-berat…..”

“Penyebabya kan bukan stress aja bu, ya kali aja emag waktunya makin parah nih penyakit.”Potong Nue yang makin gerah dengan ocehan ibunya.

“Hush! Kamu kok bilang gitu sih?! Udah, ibu ga suka.. “

Ibu Nue terus mengoceh di dalam taksi itu. Nue bisa melihat mata si supir melirik-lirik di kaca spion. Nue hanya menghembuskan napas dalam lalu kembali fokus pada pemandangan di luar jendela. Ia tahu jika tidak baik mengabaikan kata-kata orag tua, tapi kini mendengarkan ocehan ibunya justru akan membuatnya makin stress.

Saat matanya tengah melihat kendaraan yang berlalu lalang melewati taksi itu, tak sengaja ia menangkap sosok yang tak ia sangka. Wajahnya mirip sekali dengan orang yang merawatnya semalam, dan saat ini dia tengah dibonceng bersama seorang cowok dengan motor Byson.

‘rwenngg…!!’

Motor itu melintas ke arah yang berlawanan dengan taksi. Mata Nue tak bisa lagi menjangkau motor itu begitu juga sosok cowok yang menumpanginya.

Ibu Nue keheranan melihat tingkah aneh Nue, ia pun menepuk pundak Nue sambil celingukan melihat arah yang Nue lihat. “Nu.. kamu liatin apa sih?”

Nue tak bergeming. Matanya masih tertegun melihat motor yang bergerak mejauh dan menghilang di tikungan.

“Gigi..”

***

‘jreeeng….’

Suara distorsi terdengar melengkig dari gitar yang Adrian coba. Gigi duduk di tengah ruangan dengan gugup. Dilihatnya personil yang lain, semuanya tidak ada yang ia kenal. Ia hanya tahu namanya setelah Adrian memperkenalkan mereka satu persatu, tapi hubungan mereka masih belum dekat juga. Otomatis hal itu membuat Gigi benar-benar grogi. Belum lagi jika ia mengingat kualitas bernyanyinya. ‘Uaaaarrgh…. Harusnya aku nggak di siniii…!!’

“Gi. Dah siap?” tanya Adrian.

‘gleg..’ Gigi menelan ludah. Tampak yang lain juga memandangnya. Pikiran Gigi jadi blank seketika. Ini pengalaman pertamanya ngeband, jadi dia benar-benar merasa canggung. Padahal di ruangan kedap itu cuma ada 5 orang termasuk dirinya, tapi groginya sudah seperti itu. bagaimana nanti kalau sudah di panggung??

“Gi?” tanya Adrian lagi.

Kali ini Gigi menoleh ke arah Adrian dan nyengir kuda.

“Eh, ngapain cengar-cengir? Ayok, mulai latian..!”

“Hmm…. aku.. malu Dri..”

“ha? Ngapain malu? Jadi vokalis ga boleh malu!” tegas Adrian.

Gigi menggaruk-garuk kepalanya, “iya sih..”

“ya dah, ayok mulai..”

Gigi pun bangkit dari kursinya dan latian perdana Gigi-pun dimulai. Selama hampir satu jam berlatih, banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi. Baik oleh Gigi, maupun personil lain. awalnya saja sudah salah…….

#1

“I know you…”

“eh Gi, kecepetan…. nunggu pas aku mainin sampe sini nih..”  Adrian membunyikan bagian dimana Gigi harus mulai bernyanyi. Gigi tampak mengangguk-angguk kikuk.

“oke deh, hehe..sorry..”

#2

“I know…”

“aduh, beluum… tunggu aku mainin ini nih..”

#3 …

“be talks of the town….”Gigi terdiam dengan wajah bodoh.

“….?” Adrian masih memainkan musik sambil memandang Gigi dengan heran.

]“……… hehe.. stop, stop.. aku lupaa…!”

“… -_-“

#4…

“……”Gigi termenung menunggu Adrian yang asik berimprov dengan gitarnya di tengah lagu menuju reff terakhir.

1 menit… 2 menit… 3 menit…

“Eh! Aku kapan nyanyinya??!!”

#7

[color=blue]“.. sit by myself… eh, kok drumnya duluan sih?!”[/color]

[color=green]“adooh… Gustii.. konsen Gus, Konsenn…!” semprot Adrian pada drummer yang salah masuk.[/color]

#8

“cause.. every night i’m tal…. uhuukk..uhukk…”

“hiaah.. kamu ga apa-apa Gi??”

“minum dulu sana! Minum..”

Setelah satu jam dilalui dengan penuh kesalahan dan pengulangan, akhirnya Gigi duduk untuk beristirahat, begitu juga personil lain. Gigi terbatuk-batuk kecil lalu bergegas membuka botol minumnya.

“Gimana Gi?”

Adrian menepuk pundaknya dari belakang dan menggeser kursi di sebelah Gigi lalu mendudukinya.

Gigi melirik sesaat ke arah Adrian saat menenggak airnya. Setelah ia memuaskan dahaganya, ia mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. “huuft… not good, Dri..” keluhnya sambil menunduk memandangi botol minumannya.

“Yah.. kok nyerah gitu sih suaranya.. kan ini baru awal, nanti juga kamu terbiasa. Semangat..!” yakin Adrian sambil mengacungkan tinjunya.

Gigi tersenyum sesaat lalu kembali merenung. Ia diam-diam membenarkan kata-kata Adrian tadi. Ini baru pertama kali baginya. Ia hanya perlu waktu untuk terbiasa dan menguasai lagu beserta musiknya.

‘Yup, kamu mesti semangat Gi..! inget tujuan utama kamu ikut band ini! semangat..!!’

“Oke deh, ayok latian lagi!” ujar Gigi denga berapi-api.

Mata Gigi menatap heran pada personil lain yang memandangnya dengan melongo. Adrianpun tampak tersenyum.

“Eh, kenapa? kok malah diem si?” tanya Gigi heran.

Adrian terkekeh pelan dan meletakkan gitar yang tadi ia pakai di sisi ruangan lalu menepuk pundak Gigi.

“Waktunya dah habis Gi..” ujarnya sambil menunjuk papa notifikasi di atas pintu ruangan studio.

Mata Gigi membulat ketika mendengar kata Adrian itu. akhirnya ia tersenyum dengan raut wajah bodoh. “oo.. Ohh…”

***

Hari telah berganti malam. Gigi melangkah gontai menuju aula kampusnya. Padahal ia hanya berlatih nge-band selama satu jam, tapi ia tidak menyangka jika capeknya akan begitu terasa dan memberatkan tubuhnya untuk pergi latihan. Belum lagi suaranya yang juga hampir habis setelah di’kerja paksa’ saat di studio. Sekarang Gigi tengah megusap-usap teggorokannya sambil berharap pita suaranya masih punya tenaga untuk bekerja di latihan padus malam ini.

Sementara itu, Nue baru saja memarkir sepeda motornya di tempat parkir. Saat ia berjalan menuju aula, ia melihat Gigi yang tengah duduk di meja gazebo. Nue pun tergerak untuk menghampirinya. Namun, baru saja kaki kanannya melangkah dan tangannya terangkat, siap untuk menyapa Gigi, ternyata dari arah belakangnya, ada suara yang mendahuluinya.

“Gi..!”

Nue bisa merasakan hembusan angin yang dihasilkan cowok itu saat berlari melewati Nue dan menghampiri Gigi. Nue pun perlahan menurunkan tangannya. Dilihatnya cowok itu mengacak-acak rambut Gigi lalu duduk di sampingnya.

Untuk sejenak Nue hanya tertegun dengan mata getir. Hingga akhirnya ia pejamkan matanya lalu ia putuskan untuk berjalan menuju aula.

Sementara itu, Gigi tampak gusar sambil merapikan lagi tatanan rambutnya yang habis ‘diperkosa’ oleh Adrian. Sekilas ia menangkap sosok Nue yang berjalan menuju aula.

‘kak Nue.. ‘ panggilnya lirih dalam hati. (udah lirih, di dalam hati pula.-_-“)

“eh, Gi..! bengong aja!” Adrian menjentikkan jarinya di wajah Gigi. suaranya cukup keras hingga mengagetkan Gigi.

“issh..! emang napa? toh ga ada dampaknya juga buat kamu!” ujar Gigi sambil menyilangkan lengannya di atas meja.

“hehe.. ada dampaknya lah! Kalo kamu ngelamunin aku kan harus bayar pajak!”

Gigi memandang adrian dengan tampang eneg.”ishh.. ngapain juga ngelamunin kamu? Yang ada juga bikin aku eneg!”

Adrian hanya cengengesan mendengar gerutuan Gigi itu, meskipun sebenarnya, senyum itu tampak memudar dan bercampur dengan kegetiran.

Belum lama keduanya ramai berdebat, terdengar suara melengking dari arah pintu aula.

“Oooi…!!! LATIAAAAANNN…!!”

“wih.. udah dipanggil sama mbak supersoprano tuh, ayo buruan kesana!” ajak Adrian sambil bangkit dari kursinya.

Gigi yang belum selesai mengagumi suara cetar Nurul, akhirnya segera mengambil tasnya dan bergegas menuju aula.

Setelah pemanasan, seperti biasa, peserta dibagi untuk latihan persuara. Nue pun membimbing anak tenornya menuju tempat yang biasa mereka pakai untuk berlatih. Setelah itu, seperti biasa juga, peserta membuat formasi setengah lingakaran dan Nue berdiri di depan ‘cekungan’ lingkaran itu. saat Nue memeriksa apakah anak tenornya sudah lengkap, mata Nue terhenti pada sosok cowok yang berdiri tanpa dosa di samping Gigi.

“kamu ngapain disini?” tanya Nue pada cowok itu.

Cowok yang semula menunduk itu seketika mendongakkan wajah dan memandang Nue. “hehe.. pengen dapet suasana baru mas..” ujarnya sambil cengengesan.

Teman-teman yang lain tampak menahan senyum, sedangkan Gigi hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“udah, kamu balik ke barisan bass aja!” perintah Nue.

Namun, seperti yang Gigi duga, Adrian tetap tak bergeming. Ia tetap pada posisinya dan tersenyum nakal.

“sekali-sekali lah mas.. aku dah bisa bagian bass kok.. aku pengen tahu bagian tenor sekarang.”

Sebelah alis Nue mengangkat ketika mendengar jawaban Adrian itu. ‘anak ini..’

“udah kak.. biarin aja, paling juga ntar kehabisan napas dia disini..”

Mata Nue kini berpaling pada Gigi. ia setengah tidak percaya jika Gigi akan mengatakan hal itu. Dia membiarkan Adrian mendekatinya?

“Tap..” saat Nue ingin menolak, suara anggota tenor yang lain segera saja menyekat tenggorokannya.

“iya dah mas.. kasih aja..” ujar Budi.

Anggota yang lain, Kaka juga mengiyakan usul itu. “iya mas, biar rame sekalian!”

“uughh.. terimakasih teman-teman.. dukungan kalian ini membuatku terharu..”ujar Adrian yang belagak menangis.

“aaghhh… kebanyakan bacot kamu!” ujar budi sambil menjitak kepalanya.

Suasanapun menjadi riuh. Di tengah keramaian karena Adrian itu, diam-diam Nue melihat sikap Gigi. Gigi hanya diam, tapi segurat senyum itu terpampang jelas di wajahnya. Dan senyum itu tidak berakhir disitu saja.

“Ayo, kita coba ya.. 1.. 2.. 3.. “

“sol sol dooo..hukk….”

Gelak tawa terdengar lagi ketika mendengar suara tercekik Adrian. Nue hanya menghela napas dalam. Dan saat matanya melihat wajah Gigi, lagi-lagi ia melihat senyum di wajahnya. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya.

Nue tidak tahu, apa yang terjadi diantara Gigi dan Adrian. Sebelumnya Gigi sudah pernah bercerita bahwa Adrian memang suka mendekatinya. Meskipun Gigi menampik ketika ia ditanya apakah dia juga punya perasaan dengan Adrian, tapi dari kenyataan yang Nue lihat ini… saat di jalan raya tadi.. saat di meja gazebo.. saat latihan ini.. bahkan saat istirahat dan Nue hanya bisa melihat dengan iri ketika Gigi asik berlatih gitar pada Adrian. Dilihatnya wajah Gigi yang begitu cerah dan sesekali tertawa atau malah gusar dan menjitak kepala Adrian. Pemandangan itu, benar-benar terasa begitu ‘nostalgic’ di mata Nue. Sayangnya posisinya sudah berganti dengan orang lain. Nue seakan sudah makin jauh dengan adiknya itu.

“kak..”

Suara Gigi memanggil Nue saat waktu latihan berakhir dan Nue  baru saja keluar dari ruang aula.

“ada apa Gi? Oh, pulang bareng ya?” tanya Nue sedikit bersemangat.

Wajah Gigi sedikit tertunduk sambil matanya bergerak celingukan. “ehmm… nggak kak.. aku pulang sama Adrian.”

Wajah Nue seketika berubah datar. Dilihatnya Adrian yang tengah menunggu di depan gerbang dan mengegas motornya. “ooh..” jawab Nue pelan.

“ehmm.. kak.” Panggil Gigi lagi.

“hmm..? ya, ada apa gi?”

“hm.. minggu depan, hari senin malam.. para maba kan mau ngadain Pensi..” kata-kata Gigi terhenti dan tampak bingung untuk melanjutkan kata-katanya.

“terus?” tanya Nue sedikit penasaran.

“ehm.. nanti kakak tonton ya..”

Nue terdiam sesaat mendengar permintaan Gigi itu. Gigi masih tampak tersenyum kecil dengan sedikit sentuhan warna malu di wajahnya.

Akhirnya Nue tersenyum tipis padanya sambil mengangguk. Ia sedikit tahu apa maksud Gigi tersebut. Gigi pasti ikut berpartisipasi dalam Pensi itu.

“ya.. nanti kakak pasti datang.” Jawabnya.

Wajah Gigi seketika bersinar cerah, bagai kunang-kunang yang berkelip cerah dalam gelapnya kampus.

“oke, terima kasih kak..!” ujarnya.

‘Diiinn…!’

Gigi menoleh ke arah suara klakson yang tak lain berasal dari byson Adrian.

“iish… bawel tu anak. Ya dah, aku pulang duluan ya kak.,. bye..!”

“Gi..!”

Langkah Gigi terhenti. Ia pun berbalik dan menatap wajah Nue dengan penasaran.

Nue tampak ragu-ragu akan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Tapi akhirnya, toh ia menjulurkan tangannya meski dengan ragu-ragu. Ia mengacak-acak pelan rambut Gigi sambil tersenyum lirih.

“makasih.. udah ngerawat aku malam itu..”

Kontan wajah Gigi bersemu merah. Begitu juga dikejauhan, pupil Adrian melebar melihat kejadian itu. tangannya bergetar hebat di stang bysonnya.

“I.. iya..” jawab Gigi pelan.

Nue pun melepaskan tangannya dari kepala Gigi dan membiarkan cowok mungil itu berjalan pelan meninggalkannya.

“see ya..” pamitnya pelan.

Nue tersenyum lirih dan menjawab salam adiknya itu. “see ya..”

Akhirnya Gigi sudah sampai di byson Adrian. Terdengar dari kejauhan bagaimana Gigi menggerutu karena tingkah laku Adrian.

“udah belom? Lama amat!” seru Adrian.

“iishh.. bentar napa? tau sendiri motormu tinggi banget!” balas Gigi.

Agak lama akhirnya Gigi berhasil menumpangi motor Adrian.

“udah? Peluk yang erat yaa…” goda Adrian.

“ish.. males!”semprot Gigi. ia memilih untuk berpegangan pada pegangan yang ada di ekor motor.

“oke.. aku ngebut ya..!”

Belum sempat Gigi merespon, Adrian sudah mengegas keras sepedanya.

“Eh, Gila!! Kalo aku jatoh gimana, bego??!!”

“haha.. kan aku dah ngingetin..!!”

Suara berisik kedua orang itu masih terdengar menggaung di jalanan gelap kampus. Di tengah suara yang bergerak sayup-sayup itu. Nue berdiri sendiri di tempat parkir kampus. Sebuah lampu di tempat parkir itu menyorot tubuhnya yang jangkung, membentuk sebuah bayangan bagai pangeran yang kesepian.

Matanya menerawang jauh pada kelip motor yang ditumpangi Gigi itu dengan getir, hingga akhirnya sosok cowok manis itu benar-benar hilang ditelan gelap dan jarak.

***