HYMN OF MY HEART 12

Bar 12, Foolish.

“oke, kalian bisa istirahat dulu.”

Mendengar intruksi Omi, tim tenor pun segera berpencar untuk istirahat. Begitu juga Gigi, dia memilihi untuk duduk di kursi dekat jendela. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan layarnya. Tidak ada pesan. Gigi pun memasukkan kembali ponselnya sambil menghela napas dalam. Agak lama Gigi terdiam, seolah tidak terpengaruh akan bisingnya gurauan teman-teman di sekitarnya, hingga akhirnya dia berdiri dan berjalan menghampiri kak Omi yang sedang menenggak air minum.

“Kak, kak Nue mana sih? Kok dua hari ini dia ga ngelatih?” tanya Gigi setelah Omi menelan air minumnya.

Omi mengangkat pundaknya sambil meletakkan gelas plastik itu di dekat galon. “Tau tuh anak. Ga ada kabar.” Ujarnya dengan nada sedikit kesal.

Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Gigi dan mendekatkan wajahnya di telingan Gigi. “ciee… kenapa nih? Ditinggal kakak tersayang, jadi galau ye…?”

Gigi menoleh sambil mengerutkan alisnya, segera ia melepaskan diri dari tangan radit dan pergi dengan muka masam. “ck, apaan sih?!”

Sementara Gigi berjalan kembali ke tempat duduknya semula, radit masih tertawa jahil. Omi yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengatakan “kenapa sih?” berkali-kali dengan wajah bodoh. Gigi sudah sampai di kursinya tadi dan duduk dengan sedikit keras. Matanya memicing, melihat radit yang mengatakan sesuatu pada omi dengan volume pelan, lalu radit tertawa dan Omi memandang Gigi dengan alis mengangkat sebelah.

“ck..” decak Gigi. Lama-lama ia tidak suka dengan laki-laki ngondek bernama Radit itu.

Ternyata dia biang gosip yang menyebalkan. Akhir-akhir ini pun teman-teman PSM-nya mulai menertawakannya. Mereka mengira Gigi dan Nue menjalin hubungan terlarang!
Shit..! Gigi tahu itu mungkin hanya candaan, tapi lama-lama gurauan itu juga akan menjadi fakta jika diomongkan terus menerus. (ya Gigi meng-amini jika Nue dan dirinya nantinya bisa jadian, tapi juga bukan buat konsumsi publik kali!) Dan yang paling membuat Gigi gusar adalah, karena gosip inilah akhirnya Nue mulai menjaga jarak dengannya.

Nue yang biasanya menginap di kos-kosan Gigi, mengajak Gigi makan bareng, mengantar Gigi ke kampus, mendengarkan musik bareng…..sekarang tidak lagi.

Hari ini-pun Nue tidak datang di latihan rutin, ini sudah yang kedua kali. Lebih lagi, sms Gigi padanya juga jarang sekali ia balas. Gigi pun hanya bisa menghela napas dalam. Padahal hubungannya dengan Nue sudah semakin dekat sebelumnya,

namun kini? Gigi seolah harus mengulang lagi rasa pahit di masa lampau. Tidak, bahkan dulu lebih baik daripada saat ini. Setidaknya dulu Nue tidak berusaha untuk menjauhinya.
Gigi memangku pipinya dengan telapak tangannya. Hatinya terasa kosong dan hampa ditengah keramaian ruang aula itu.

Padahal hanya 4 hari, tapi terasa 4 tahun bagi Gigi yang merindukan sosok Nue. Kebersamaan dan kedekatannya dengan Nue sebelumnya seperti candu dengan dosis yang makin tinggi, dan kini ia harus berpuasa, tidak bisa menikmati candu itu dengan tiba-tiba. Kini Gigi dilanda sakau yang hebat. Kalau bisa, Gigi ingin berteriak dan memanggil nama Nue, berharap Nue mendengarnya. Tapi ia tidak bisa, ia hanya bisa melakukan itu jauh di dalam hatinya. Bisakah Nue mendengarnya?

 

Di tempat lain, Nue memarkir sepedanya di sisi Jembatan
Semanggi. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju puncak bukit. Setibanya di puncak, ia duduk di salah satu dudukan dari batu atau semen atau apalah itu. Sejenak ia termenung melihat pemandangan di bawahnya. Lalu ia merogoh ponsel di sakunya dan melihat layarnya sejenak. Ia melihat terdapat 4 pesan dari Gigi. Ia buka pesan itu satu persatu.

‘pagi kak.. mau ngingetin aja, sempatkan sarapan dulu, terus obatnya jangan lupa diminum. Have a nice day.. ’

‘kak, sudah sarapan belum? Kok ga dibales smsku tadi? ’

‘ntar, kakak latihan nggak?’

‘kak..?’

Mata Nue bergerak-gerak melihat keempat pesan itu. Ibu jarinya bergetar di atas layar sentuh ponselnya. Lalu setelah Nue menghela napas dalam-dalam, ia mengetikkan pesan balasan.

‘maaf gi, seharian aku ngerjakan tugas, jadi ga bisa bales sms-mu..’

Sejenak Nue merenung, lalu menghapus pesannya tadi. “ck,, keliatan bo’ongnya’ bisiknya.

Lalu ia mengetik pesan lain.

‘maaf gi, tadi hapeku rusak jadi harus nginep di..’

Belum sempat Nue menyelesaikan pesannya, ia buru-buru hapus pesan tadi. Masih dia rasa terlihat berbohong.

Akhirnya setelah cukup lama berpikir, akhirnya ia mengetikkan sebuah balasan yang ia rasa cukup masuk akal.

‘maaf gi, seharian ini hapeku mati ‘cause batere habis, charger hapeku dipinjem temen, n baru bisa nge-charge malam ini. Aku malam ini ga bisa latihan, ada tugas yang msti aku slesein. Maaf ya Gi.. ’

Nue pun mengirim pesan itu. Nue mengembalikan ponsel itu ke dalam sakunya dan menghembuskan napas dengan keras.

Beberapa hari ini Nue memang ‘sedikit’ membatasi kedekatannya dengan Gigi. Gosip yang beredar di telinga teman-temannya membuatnya enggan untuk terlalu dekat dengan Gigi. Meskipun ia tahu, Gigi tidak salah. Nue juga harus mengakui jika selama ini, beberapa kali Nue ingin menemui Gigi di kos-kosannya, atau mengiriminya pesan. Gigi memang teman ngobrol yang menyenangkan, itulah kenapa Nue suka berada di dekatnya. Tapi, Nue menahan keinginan itu. Ia memilih untuk menyibukkan diri di warnet atau dengan tugas kuliah, tapi tetap saja, dia merasa bosan dan kesepian. Terlebih lagi, saat ia melihat sms-sms Gigi. Ia jadi merasa menyesal telah menjauhinya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Buru-buru ia mengambil ponselnya dan menghidupkan layar ponselnya. Ternyata sms dari Gigi.

‘iya kak, gpp. Ngerjain tugas ya? semangat!! :D’

Nue terhenyak saat membaca sms dari Gigi. Jarinya berhenti di layar ponselnya seolah tidak tahu harus apa. Akhirnya ia putuskan untuk mematikan layar ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam saku celananya.

Gosip itu benar-benar menggelapkan hati Nue. Bagaimana bisa Nue termakan oleh gosip murahan seperti itu. Gigi itu adiknya. Dia tidak perlu menjauhi dia hanya karena kata-kata murahan orang lain. Di lain sisi, Nue juga –entah kenapa- merasa kangen dengannya. Sebelumnya berulang kali Nue harus mengurungkan niatnya saat ingin mengunjungi kos-kosan Gigi.

‘Ya,, Gigi itu cuma aku anggep adik aja. Aku rasa wajar-wajar aja. Kasian dia udah aku cuekin, mending aku jemput dia habis latihan dan minta maaf.’ Gumam Nue.

Iapun berdiri dari dudukan batu tempat ia duduk tadi. Saat kakinya melangkah untuk kedua kali, kakinya berhenti bergerak. Seorang gadis tampak menaiki tangga dan akhirnya kini berdiri di depan Nue.

Nue seolah tak mampu bergerak dan pupilnya menyempit saat berkas sinar lampu menyorot wajah gadis itu.
wajah gadis itu tampak sendu menatap wajah Nue yang memucat.

“Nu..” panggilnya lirih kepada Nue.

Sementara itu, Nue beralih memicingkan alisnya hingga tampak sorot matanya yang dingin, seolah menghujamkan puluhan anak panah dari es kearah gadis itu.

“Grace..”
***

“ternyata kamu di sini Nu…” ujarnya sambil tersenyum lirih.

Nue masih membalas senyum itu dengan tatapan dingin, lalu ia palingkan wajahnya dan bergerak menghindari grace namun dengan cepat grace menghadang Nue dan kedua tangannya memegang bahu Nue.

“jangan pergi Nu.. please… aku mau ngomong sama kamu…” mohon grace, air matanya mulai merembes jatuh.

“ngomong apa lagi? Aku ga punya waktu.” Ujar Nue ringan sambil melepas tangan grace dari badannya dan berjalan melewati grace.

Lagi-lagi grace bersikeras. Dia menangkap tangan Nue dan menahannya erat-erat. “please Nu… dengerin aku.. sebentar aja..”

Nue akhirnya memalingkan wajahnya menghadap grace. Dilihatnya mimik wajah grace yang benar-benar menyedihkan. Dengan sebuah hembusan napas dalam ia akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke dudukan batu tadi.

“tiga menit.” Katanya singkat sambil duduk.

Grace pun menyeka air matanya dan berdiri di samping Nue. Tangannya gemetar.

“nu.. aku mau minta maaf nu..” katanya dengan suara serak. “aku ga bermaksud selingkuh Nu.. aku cuma…”

“Cuma apa Grace?”

Grace terhentak ketika Nue tiba-tiba memotong kata-katanya dengan nada tegas. Nue juga mendongakkan wajahnya ke arah grace dengan sorot mata yang menakutkan. Grace sama sekali tidak menyangka Nue bisa seperti itu karena selama ini Nue tidak pernah marah apalagi membentak orang lain.

“nu..” decit grace.

“Cuma apa grace? Aku sudah lama bersabar. Sudah 2 tahun.. dua tahun kamu asik bermanja-manjaan dengan Aldo. Selama ini aku bersabar dan maksa diriku sendiri untuk percaya sama kata-katamu, yang katanya kalian Cuma temen aja. Tapi selama itu juga aku harus memendam sakit grace..! aku sudah kamu bikin seperti mainan!”

Grace hanya menunduk sambil bercucuran air mata mendengar bentakan Nue. Nue sendiri tampaknya melepaskan semua emosi yang selama ini ia pendam. Matanya melebar, urat lehernya menonjol dan sesekali ia memukul dadanya untuk menggambarkan betapa sakit hatinya. Sungguh, Nue tampak bukan Nue malam ini.

“cowok mana yang ga jengkel, ngliat ceweknya jalan sama cowok lain? selama ini aku coba bersabar karena aku yang terlalu sayang sama kamu, dan juga respect-ku sama mas Aldo. Tapi, apa kamu ga bisa lihat? Apa kamu ga bisa merasa? Kalo aku selalu sakit hati kalo ngeliat kalian jalan berdua? Apa kamu ga punya hati grace?? “ tiba-tiba Nue menghentikan kata-katanya. Matanya menerawang seperti baru menyadari sesuatu. Lalu ia tersenyum getir seraya memalingkan wajahnya dari grace. “……oh ya, hati kamu,kan memang buat mas Aldo, mana mungkin kamu bisa ngerasain apa yang aku rasain?”

Tidak tahan dengan tekanan yang Nue berikan, grace bergerak ke arah fokus mata Nue. “kamu kok gitu sih Nu..? aku sama sekali ga ada rasa sama mas Aldo..!”

“itu grace..!” lagi-lagi Nue meotong kata-kata grace. “itu, kata-kata yang selama ini kamu ucapin kan? Aku sudah bosen dengan kata itu.”

“karena ini bener Nu.. aku bener-bener ga ada hubungan special dengan mas Aldo.. asal kamu tahu Nu..” suara grace yang sebelumnya meninggi kini mulai menyusut menjadi sebuah isakan.

“ semester ini, namaku sudah dihapus, dari daftar penerima beasiswa Nu..”

Mata Nue terbelalak. Dia terhenyak dengan kata-kata grace tadi.

“..IPK ku jatuh Nu.. aku langsung ga mendapat uang beasiswa semester ini, padahal aku harus membayar spp, belum lagi kebutuhan kuliah dan hidupku. Aku ga tahu harus cari uang dimana. Sampai akhirnya mas aldo datang dan meminjami aku uang..”

Mendengar penjelasan grace, Nue justru tersenyum sinis. “jadi kamu lebih suka cerita sama orang lain daripada sama pacarmu sendiri..”

“aku ga mau ngerepotin kamu nu.. Jumlah uangnya besar..”

“Tapi aku pacar kamu!” potong Nue kasar.

Grace tak berkutik lagi, dia hanya menangis. Hingga akhirnya ia bersimpuh di depan Nue dan menggenggam tangan Nue erat-erat. “maafin aku nu… please maafin aku.. aku akui selama ini aku bingung nu.. di satu sisi aku cinta ma kamu.. tapi disisi lain.. aku mengagumi sosok mas aldo..”

‘deg’ jantung Nue terasa perih, seperti akan berhenti berdetak.

“tapi ternyata aku salah Nu.. kamu bener Nu.. selama ini aku ga punya mata, ga punya otak, ga punya hati! Karena aku ga bisa ngeliat betapa sayangnya kamu ke aku.. aku sudah terbujuk rayuan dan iming-iming uang mas aldo.. sekarang aku nyesel nu.. setelah aku tahu kamu sudah berkorban banyak buat aku.. aku bahkan ga tahu kalau kamu rela bekerja di warnet Cuma buat beliin aku blackberry.. aku malah meminta pada mas aldo..”

Pupil Nue menyempit mendengar kata-kata grace barusan.

“apa? Darimana.. darimana kamu tahu kalau..”

“aku tahu semuanya dari anggian Nu.. dia ceritakan semuanya ke aku. aku malu.. aku malu, sebagai pacar, aku ga tahu apa-apa tentang kamu.. dan aku nyesel karena ga tahu kalau kamu sakit.. dan penyakitmu sampai kambuh karena aku. please maafin aku nu.. aku janji aku akan bayar kesalahanku ke kamu..”

Nue membisu. Ternyata grace sudah tahu semuanya, bahkan tentang penyakitnya. Gigi sudah ingkar janji.

“sudahlah, aku juga ga mau dikasihani orang lain.” seru Nue sambil melepaskan genggaman tangan grace. Lalu dia beranjak dari tempat itu. Dia sudah merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya justru makin memperjelas ketidaksetiaan grace padanya, dan itu membuat dada Nue terasa ngilu.

Tubuh Nue tiba-tiba tertahan, ketika grace memeluknya dari belakang, membiarkan air matanya merembes di punggung Nue. “aku mohon Nu.. jangan pergi.. setidaknya jangan pergi sebelum kamu maafin aku.. aku mau bayar kesalahanku ke kamu Nu.. aku janji ga akan nemuin mas Aldo lagi, aku janji aku akan temenin kamu kemanapun kamu mau, aku janji akan selalu di dekat kamu dan ngerawat kamu kalau kamu sakit… aku janji..”

Nue hanya membisu. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Ia hanya bisa menghembuskan napas dalam dan menoleh ke arah grace yang menyembunyikan wajahnya di punggung Nue. Dan Nue bisa merasakan hangatnya air mata grace yang meresap melalui pakaiannya dan merembes di kulitnya.

Keduanya pun bertahan pada kebisuannya. Membiarkan suara deru kendaraan bermotor menjadi kata-kata mereka dan bintang-bintanng, pepohonan, rumput, dan batu menjadi saksi.
***

Gigi melangkah dengan gontai menyusuri jalan trotoar yang gelap. Sesekali ia mengusap-usapkan tangannya dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya. Udara malam itu dingin sekali. Latihan malam itu terasa hambar. Mungkin benar, kalau kak Omy lucu dan teman-temannya suka dengan cara melatihnya yang menyenangkan, tapi bagi Gigi, itu tidak ada apa-apanya. Gigi merindukan Nue. Ia rindu suara Nue, saat Nue menerangkan, saat Nue menyanyi bar demi bar, bahkan saat Nue tertawa. Ia rindu candaan garing Nue. Ia juga rindu saat-saat mereka makan berdua. Ia rindu saat mereka duduk berdua dan mendengarkan musik bersama. Gigi bahkan merindukan earphone dan sepeda motor Nue. Ah.. jika Gigi harus menuliskan daftar kerinduannya pda Nue, satu buku Boss juga tidak akan cukup. Gigi merindukan semua hal tentang Nue. Come on… ini baru 4 hari! Tapi tetap saja… itu terasa lama dan berat bagi Gigi. Candu itu sudah menguasai tubuh dan pikirannya.

‘hmm.. andai saja kakak ada disini..’

Baru saja Gigi memnggumam dalam hati, sebuah sepeda motor berhenti di samping Gigi. Suara decit rem yang keras seketika mengingatkan Gigi pada suara yang familiar. Langsung saja ia menoleh ke arah sepeda motor itu. Mata Gigi membulat ketika melihat sosok orang yang mengendarai sepeda motor itu.

“kak Nue.. “ sapanya dengan suara lemah. Jantung berloncatan kesana kemari, menghabiskan seluruh energi yang ia punya, bahkan untuk bicara.

Nue tersenyum tipis padanya. Ia mengerlingkan matanya ke arah jok di belakangnya. “naik Gi..” pintanya.

Gigi membalas senyuman Nue, lalu dengan sedikit malu-malu ia menaiki sepeda motor Nue. “kok lama ga nongol..” tanyanya begitu tubuhnya sudah mendarat di sepeda motor Nue.

Nue hanya menjawab dengan senyuman lalu melajukan sepeda motornya.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari keduanya selama perjalanan menuju kos-kosan Gigi, bahkan saat mereka sudah sampai di kamar Gigi.

 

Nue dan Gigi kini duduk di bingkai jendela favorit mereka. Tetap diam tanpa suara. Sesekali Gigi melirik ke arah wajah Nue. Wajah Nue tampak murung, tidak seperti saat mereka akrab beberapa hari yang lalu. Gigi kembali mengalihkan pandangannya, menundukkan kepalanya, menunggu Nue berbicara. Ia tahu, suasanan hati Nue sedang tidak baik. Akan lebih baik jika Gigi diam dan siap mendengarkan keluh kesah Nue.

Tidak lama kemudian, suara Nue membuyarkan renungan Gigi.

“akhir-akhir ini… kamu ngerasa aku cuekin nggak?”

Mata Gigi bergerak-gerak mendengar pertanyaan Nue. Dia benar-benar bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan yang baginya lebih sulit daripada soal matematika. Hingga akhirnya, setelah melalui proses pertimbangan yang rumit, akhirnya Gigi tersenyum polos dan berkata,”ehmm? Nggak kok.. emang kenapa?”

Nue terhenyak untuk sesaat lalu mengangguk-anggukan kepalanya. “hmm.. gitu ya. nggak ada sih.. oh nggak. Aku mau minta maaf gi, aku akhir-akhir ini jauhin kamu. Yah.. ini semua karena si radit. Gosip hubungan diantara kita jadi nyebar sekarang.. karena itu..”

“iya kak, aku paham… aku juga kena gosip itu, jadi aku ngerti posisi kakak dan sikap yang kakak ambil juga ga salah..” potong Gigi sambil nyengir. nyengir yang dipaksa.

Nue tersenyum tipis mendengar kata-kata Gigi. Dia terdiam sesaat lalu melanjutkan kata-katanya. “kamu, udah aku anggap kayak adikku sendiri Gi..”

Dalam bayangan poninya, mata Gigi membulat mendengar kata-kata Nue barusan. Nue tidak menangkap pemandangan itu dan terus melanjutkan kata-katanya.

“Aku anak tunggal. Aku ga tahu gimana rasanya punya adik. Tapi semua mulai berubah, ketika aku kenal dan dekat sama kamu. Entah kenapa aku ngerasa sudah punya adik. Itulah kenapa aku suka main sama kamu, manjain kamu kayak adikku sendiri..”

Gigi hanya tersenyum getir, meskipun sebenarnya dia menahan sedih karena asa yang selama ini ia gantung tinggi-tinggi akhirnya kini jatuh dan hancur berserakan. Nue ternyata hanya menganggapnya sebagai adik. Hanya adik! Gigi bukannya serakah atau tak tahu diri, tapi tetap saja Gigi tidak bisa naif, kalau dia menginginkan sesuatu lebih dari sekedar hubungan kakak adik. Dia ingin cinta, cinta sebagai sepasang kekasih dari Nue yang selama ini ia kagumi.

“kamu ga keberatan kan, kalo aku anggep adikku sendiri?”

Lagi-lagi Nue menanyakan hal sulit. Gigi mencoba menghapus kesedihannya dan beralih memasang senyum lebar di bibirnya.

“nggak.. nggak keberatan sama sekali. Tapi kakak harus nanggung konsekuensinya kalo ngangkat aku jadi adek. Yaitu mesti traktir aku makan. Hehe.. kan kewajiban seorang kakak..”

Gigi sedikit tertegun saat melihat wajah Nue yang memandangnya tanpa ekspresi. “lo, kakak kenapa? o.. masalah traktir itu Cuma bercanda kok.. ga usa diambil hati..” kilah Gigi.

Nue segera tersadar akan raut wajahnya yang datar dan memolesnya dengan senyuman. “ah nggak kok,, kalo traktir kamu sih kecil.. ntar aku beliin nasi jinggo (nasi bungkus yang harganya cuma Rp 3000,00. Nasinya dikit banget, kalo diitung, mungkin bisa habis dalam 10 suapan.) satu tiap malem.”

“yah.. mana kenyang..?? uda lah, mending aku beli sendiri juga..”

Melihat wajah Gigi yang cemberut membuat Nue terkekeh. Dia arahkan tangannya ke kepala Gigi lalu mengacak pelan rambutnya. Lalu ekspresinya kembali sendu.
Gigi menangkap ekspresi itu saat berusaha melepaskan tangan Nue dari rambutnya. “kakak.. kakak kenapa sih? Kok daritadi mukanya murung terus?”

Nue tidak langsung menjawab pertanyaan Gigi. Kini berbalik Gigi yang menanyakan hal sulit padanya. Dia memalingkan wajahnya ke arah bukit di kejauhan, tempat ia bertemu dengan grace.

“tadi, aku ketemu sama Grace..”

‘deg’ jantung Gigi tersengat. Ternyata karena Grace lagi. Akhirnya apa yang selama ini Gigi takutkan mulai terjadi. Tapi apakah mungkin…..?

“dia minta maaf ke aku, sambil nangis dan memohon-mohon. Dia ingin kita balikan, tapi…” Nue menundukkan wajahnya sejenak lalu beberapa saat kemudia mendongakkan kembali wajahnya sambil menghembuskan napas dalam.

“kamu bilang ya, kalau aku kerja dan mengidap penyakit?”

Mata Gigi membulat, tangannya mencengkram celananya dengan gemetar.

“I..iya..” jawab Gigi dengan suara bergetar. Ia takut Nue akan marah. “maaf kak, aku udah nglanggar janjiku ke kakak, tapi… “
“nggak apa apa.. semua sudah terjadi.” Potong Nue dengan senyum melengkung tipis di bibirnya. Setelah itu keduanya kembali diam. suasana saat itu benar-benar kaku dan canggung. Sungguh kontras jika dibandingkan dengan beberapa hari yang lalu.

“menurutmu.. aku harus gimana?”

Gigi mengerutkan alis sambil menoleh ke arah Nue yang tiba-tiba membuyarkan kesenyapan diantara mereka itu.

“maksud kakak?”

“aku harus gimana? Apakah aku harus kembali lagi dengan grace, atau ninggalin dia..?”

Gigi seolah tidak bisa bernapas. Pertanyaan demi pertanyaan yang meluncur dari bibir Nue malam itu, seolah menguji Gigi. Gigi benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya yang paling dalam, dia ingin bilang ‘jangan kak.. jangan kembali..’ tapi dia tidak tahu harus menjawab apa lagi jika Nue tanya ‘kenapa’. di sisi lain, dia juga sangat berat untuk mengatakan ‘ya, kembalilah pada grace, kak..’. hatinya pasti akan sakit jika mengatakan itu. Seolah separuh hatinya dicabut dari tubuhnya. Hanya tersisa satu jawaban yang tersisa yang bisa Gigi katakan, tapi tetap saja, jawaban itu menyisakan sakit di hati Gigi.

“ya.. itu semua tergantung kakak… aku ga berhak mutusin hal itu..” jawab Gigi lirih sambil melirik ke arah fokus lain. menyembunyikan kegetirannya.

Nue terdiam mendengar jawaban Gigi. Tidak ada kata ‘ooh..’ keluar dari bibirnya, atau sekedar untuk menganggukkan kepala. Dia hanya diam dan termenung. Lalu setelah membisu untuk beberapa saat, seolah tidak kenal ampun, dia mengajukan pertanyaan lagi kepada Gigi.

“kamu sendiri, apa sih alasanmu ngasi tahu grace tentang penyakitku dan bagaimana aku kerja keras buat dia?”

“itu….. itu karena aku ingin kak Grace tahu, betapa sayangnya kak Nue ke dia.. “ jawab Gigi.

Nue menoleh ke arah Gigi setelah mendengar jawab itu. Segera Gigi menundukkan wajah dan melirik fokus lain. sementara itu Nue agak lama memandangnya. Entah apa yang ia pikirkan. Lalu Nue kembali memalingkan wajahnya, sama-sama menundukkan wajahnya.

“itu artinya.. kamu ingin aku dan grace balikan..”

Tangan Gigi gemetar. Hatinya sudah berteriak sambil meloncat-loncat untuk menyuruhnya mengatakan ‘tidak’. Ya, Gigi sangat ingin utnuk bilang tidak. Dia sangat ingin untuk bilang jika dia tidak mau melihat Nue dan grace kembali berpacaran. Dia sangat ingin bilang jika ia ingin menggantikan posisi grace di hati Nue, tapi… itu semua hanya bisa tertahan di tenggorokan Gigi.

Gosip yang beredar di kampus, pernyataan Nue yang menganggap Gigi hanya sebagai adik, dan juga perasaan Nue sendiri kepada grace… semua hal itu seolah mencekik leher Gigi untuk mengungkapkan perasaannya.

‘ciee… kenapa nih? Ditinggal kakak tersayang, jadi galau ye…?’

‘kamu, udah aku anggap kayak adikku sendiri Gi..’

Gigi memejamkan matanya rapat-rapat dan mengepalkan tangannya.

“sebenarnya, kakak masih cinta nggak sih sama kak grace?” tanyanya. Dia kuatkan dirinya untuk mengeluarkan suaranya. Bagaimanapun dia harus memastikan hal itu dulu sebelum dia menjawab pertanyaan Nue tadi. Ia sudah tidak tahan dibuat bingung dengan perasaannya maupun dengan sikap Nue.

Nue terdiam sesaat, seolah menimbang-nimbang jawabannya. Diamnya Nue menciptakan suasana yang hening nan gelap, seakan memenjarakan Gigi dalam ruang penghakiman. Dan sebentar lagi, sang hakim akan mengucapkan putusannya dan mengetuk palu.

“… ya.”

Hembus angin menggoyangkan dedaunan menciptakan suara gesekan yang lirih. Suara klakson kendaraan bermotor terdengar samar-samar. Suara derik serangga terdengar bersahut-sahutan dan riuh. Kesemua suara itu seolah berpadu menjadi satu, menjadi sebuah orkhestra yang mengiringi dinginnya malam itu. Dinginnya malam yang seolah merasuk dan membekukan hati Gigi saat ini.

Jawaban Nue tadi sudah memperjelas semuanya. Seolah membangunkan Gigi dari tidur lelap yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi indah. Dan saat terbangun, Gigi sudah terbaring di sebuah ruang kosong dan gelap. Tanpa suara, tanpa angin, tanpa cahaya.. kini Gigi seolah tidak punya apa-apa untuk dipertahankan lagi, selain membiarkan dan melepaskannya pergi.

“ya udah…” ujar Gigi. Dengan senyum paling manis, ia menoleh ke arah Nue dan menepuk bahunya dengan mantap. Seketika Nue menoleh dan tertegun dengan kata-kata Gigi selanjutnya.

“kalau memang kakak masih cinta dengan grace, ya kembalilah kak.. Jangan bohongi diri kakak sendiri yang nantinya akan menjebak kakak dalam penyesalan. Sebagai adik, aku dukung setiap keputusanmu kak..”

Mata Nue melebar mendengar semua kata-kata dan wajah polos cowok itu. Seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Akhirnya setelah beberapa detik, Nue tersenyum.

“hmm.. gitu ya.. ” Nue terdiam sesaat, lalu menundukkan wajahnya. “ya, kamu bener Gi..”

Meski Gigi bertahan pada senyum di bibirnya, namun samar terlihat senyum itu memudar, dan kian memudar ketika Nue berdiri dari bingkai jendela tempat mereka berdua duduk.

“terimakasih ya Gi, atas support yang kamu kasih.. makasih juga karena kamu dah jadi adik yang baik..”ujarnya sambil mengacak-acak rambut Gigi.
“kakak pulang dulu ya, udah malem.. dah..” sambungnya kemudian.

Sedangkan Gigi yang hanya diam tidak melawan ketika rambutnya diacak-acak oleh Nue hanya bertahan dengan sedikit senyumnya yang tersisa dan ia paksakan.

“iya..” jawabnya singkat dan lirih.

Mau bilang apalagi? Gigi sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berpikir akan bicara apa lagi, terlebih lagi untuk bicara. Semua kekuatan yang ia punya sudah ia pakai seluruhnya untuk menahan isak di tenggorokan dan air mata yang mengganjal kelopak matanya.

Akhirnya Nue melepaskan tangannya dari rambut Gigi dan tanpa kata-kata ia meninggalkan Gigi di kamar kosnya. Begitu saja? Ya, begitu saja.

Terdengar suara daun pintu yang menutup, dan beberapa detik kemudian dua-tiga tetes air menetes di punggung tangan Gigi yang mengepal di pahanya.

“Gi.. kamu bego Gi.. bego banget..” isaknya. Dengan gemetar ia mengusap air mata dengan punggung tangannya, namun air mata itu toh masih deras bercucuran juga, begitu juga tubuh gigi yang menggigil karena isakan tangis.

“kenapa sih.. aku ga bisa jujur.. kenapa kamu bisa begitu bodoh Gi..??!!!”

Gigi-pun membenamkan wajahnya dalam kedua tangan yang ia kalungkan di lututnya. Membiarkan semua kesedihannya tumpah dalam gelap.

Di tempat lain, di pintu gerbang kos-kosan Gigi, Nue menuntun sepeda motornya keluar gerbang. Matanya tampak kosong, dan sejenak ia palingkan wajahnya ke arah kamar Gigi di latai dua. Darisana jendela besar Gigi tidak terlihat, karena jedela itu berada di sisi samping baguna kos, sehingga Nue tidak tahu kondidi Gigi sekarang.

Cukup lama Nue termenung memandang kamar Gigi, hingga akhirnya ia palingkan lagi wajahnya dan menaiki sepeda motornya. Nue memejamkan matanya rapat-rapat dan giginya bergemertak. Lalu ia hidupkan sepeda motornya dan dengan keras ia tarik pedal gasnya dan bayangan Nue pun melaju cepat di tengah gelapnya malam, dan gelapnya hati Nue sendiri.
***

HYMN OF MY HEART 11

Image

Bar 11, Bofriend, Brother, or…?

Gigi membuka pelan matanya. cahaya matahari pagi membuatnya silau. ia pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu menengok ke samping kirinya. tidak ada siapa-siapa di sana. lalu ia berbalik menengok ke arah kanan, di jendela besar. disana juga tidak ada siapa-siapa. kini Gigi melihat ke arah langit-langit, mengingat-ingat apa yang ia alami semalam. saat itu, ia mendengarkan beberapa lagu bersama Nue, dan dengan tanpa bebannya ia menyandarkan kepalanya di pundak Nue.

saat Gigi mengingat momen itu, seketika wajahnya memerah. ia sama sekali tidak tahu, kekuatan apa yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. itu terjadi begitu saja! Perasaan Gigi sudah tidak bisa dibendung lagi, dan begitu kepala Gigi menyentuh pundak Nue, sangat susah untuk lepas. seperti besi dan magnet.

Anehnya Nue juga tidak keberatan apalagi berusaha menyingkirkan kepala Gigi dari pundaknya. Gigi memang tidak bisa melihat ekspresi wajah Nue. Ia terlalu malu untuk menatap wajahnya, tapi dari sikap Nue yang tenang itu sudah cukup bagi Gigi untuk merasa kalau Nue tidak keberatan.

cukup lama Gigi bersandar di pundaknya, hingga akhirnya ia tidak bisa mengingat apa-apa lagi setelah lagu ke empat. ia pasti tertidur di pundak Nue.

kini Gigi sudah berada di kasur. pasti Nue yang membawanya kesana. tak terasa, bibir Gigi melengkung tipis saat membayangkan tubuhnya yang sudah terlelap digendong oleh tangan Nue. itu pasti romantis banget -_-.

“Hoaaaahh…. What a beautiful night…” ujar Gigi setengah menguap dan merentangkan tanganya lebar-lebar.

‘aku harap itu semua bukan mimpi belaka..’ batinnya.

Dengan semangat ia meloncat dari ranjangnya dan hendak ke luar kamar, tapi baru saja ia melangkah, kakinya terantuk oleh sesuatu yang kokoh tapi juga tidak keras.

“Hoaaahhh…!!!”

‘gubrakk..!!’ Gigi jatuh terjerembab di lantai berkarpet dan kepalanya terbentur cukup keras.

“Awww… Apaan sih Gi…”

Nue tampak terduduk di lantai sambil memegangi bahunya. sementara itu, Gigi masih tengkurap di lantai. dengan cepat ia berbalik menatap wajah Nue yang tampak polos tanpa dosa.

“Waa..!!! Kenapa kakak masih ada disini? Kenapa kakak tidur disitu!! Ga ada tempat yang laen apa??” bentak Gigi sambil sesekali memegangi dahinya yang tadi sempat terbentur, beruntung saja tidak sampai berdarah.

Tampaknya nyawa Nue masih belum kembali sepenuhnya. sambil menggaruk-garuk kepalanya dan sebelah mata terpejam ia melihat Gigi. “Hmm? ya semalem kan udah terlalu larut gi.. Kosanku juga pasti dah dikunci, jadi aku tidur disini.”

“Ta..Tapi, kok tidur di bawah? Aku sampek kesandung kan jadinya? Untung ga parah, kalo aku amnesia gimana??”

Nue terkekeh pelan lalu ia menurunkan tangan yang ia gunakan untuk menggaruk kepalanya tadi. “Tidur dimana? Kasurmu itu sempit, masa’ dibuat tidur berdua? So sweet badai, kan?”

Gigi sedikit tersentak dan wajahnya memerah. ia segera mencari fokus pandangan lain dan memanyunkan bibirnya.
tiba-tiba ada sesuatu seperti benang-benang yang menyentuh dahi Gigi. saat Gigi menengok, tampak wajah Nue sudah kurang dari 1 inchi dari wajahnya. Dengan polosnya Nue mengusap-usapkan rambut poninya di dahi Gigi yang agak benjol itu.

“Ka.. Kakak apa-apaan sih!!” protes Gigi yang gelagapan. ia menggeliat menjauh dari Nue tapi tangan Nue menahannya hingga tubuhnya tak berkutik dan didekatkan pada tubuh Nue.

“Diem.. Biar ga makin parah benjolnya, diusap-usap pake rambut..” ujar Nue pelan.

Dengan lembut ia mengusap rambutnya yang cukup panjang itu di dahi Gigi.
wajah Gigi seakan mau meledak sekarang. ia hanya melirikkan matanya menjauh dari wajah Nue yang seperti akan menciumnya. ia membisu dan merasakan sensasi nyeri di dahinya saat bergesekan dengan rambut Nue.

“Kolot banget sih..” bisik Gigi.

“Cerewet” balas Nue.

Setelah agak lama barulah wajah Nue manjauh dari wajah Gigi. Gigi seakan baru saja lepas dari belitan ular. ia pun kembali menolehkan wajahnya ke arah Nue.

“Sudah terasa baikan, kan?” tanyanya.

“Hmm.. lumayan sih.” jawab Gigi dengan nada kurang ikhlas.

Gigi memang pintar berakting, padahal dia merasa akan mati nyengir saat Nue melakukan hal itu. hooo…. bahagianya….!!
Nue hanya tersenyum kecut, lalu ia berdiri dan menjatuhkan tubuhnya di kasur Gigi.

“Loh, kak.. Kok tidur lagi?” Tanya Gigi yang langsung berdiri di samping kasurnya.

Nue menggeliat sambil merentangkan tangannya lalu memeluk guling dengan santainya. “Uhhmm…. Aku masi belum puas tidur, apalagi tadi tidurnya di lantai. Kamu mau kuliah kan? Mandi ama siap-siap aja dulu, ntar kalo udah siap, bangunin aku.” ujarnya dengan mata terpejam.

Gigi mengerutkan alisnya dan mulutnya mengaga heran.
“Issh… Kakak males baget jadi orang. Ntar aku ganti bajunya gimana?”

“Hmm…? Aku ga liat kok.. Aku tidur..” Nada suara Nue makin tenggelam sekarang.

Akhirnya Gigi hanya bisa mendengus dan pergi meninggalkan Nue yang sudah terlelap di kasurnya itu. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan berpikir sejenak.

‘Hmm.. Apa aku ganti bajunya di kamar mandi aja sekalian?’

Setelah menimbang-nimbang, Gigi pun berbalik dan berjalan menuju lemarai pakaiannya. ia memilih untuk berganti baju di kamar mandi. ia terlalu malu untuk melepas pakaian di depan Nue, bahkan meski mata Nue tertutup. Terlalu beresiko..!

Setelah ia menyampirkan pakaian ganti di pundaknya, untuk sesaat ia melihat Nue. Tampaknya Nue sudah benar-benar terlelap. Gigi bisa mendengar hembusan napas Nue di balik guling yang menutupi mulutnya itu. Perlahan Gigi mendekati kasur. ia lambai-lambaikan tangannya di depan mata Nue, memastikan Nue benar-benar sudah tertidur. Setelah itu, ia menurunkan tangannya. Gigi bersimpuh di samping kasur dan melipat tangannya di pinggir kasur sambil menatap wajah Nue.

Wajah Nue tampak begitu manis saat tidur. Tak terasa bibir Gigi tersenyum lagi. Perlahan, dengan begitu hati-hati tapi pasti, Gigi mencondongkan tubuhnya ke arah Nue, hingga wajahnya begitu dekat dengan wajah Nue. Ia pejamkan matanya dan dengan penuh perasaan, Gigi mengecup lembut dahi Nue. sebuah ciuman yang tipis dan basah mendarat di dahi Nue.

Jarum jam dinding berdetak untuk ketiga kali sejak bibir Gigi mengecup tipis dahi Nue, dan perlahan Gigi melepaskan kecupannya. Dengan lembut ia usap bekas kecupannya yang agak basah itu sambil tersenyum. Akhirnya ia menarik tangannya lalu ia berdiri dengan cepat dan bergegas meninggalkan tempat itu.

‘Woaaa… Apa yang sudah aku lakukan..!!??’ Teriaknya dalam hati sambil melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar mandi.

Sementara itu, ketika daun pintu kamar Gigi bergerak menutup dengan pelan, tampak wajah Nue yang terlelap. dan ketika tepi daun pintu itu menyentuh ambang pintu, mata Nue perlahan terbuka. Mata itu tampak diam tak bergerak, dan tangannya perlahan menyentuh dahinya, tepat di titik Gigi menciumnya.
***

5 hari kemudian.

“Huwaaahhh…!! Pelan dikit dong kak..!!” Teriak Gigi sambil berpegangan pada jaket Nue.

“Iya… Udah pelan ini..!” Ujar Nue tak kalah lantang.

“Hah?? Pelan apanya?” Gigi menengok dari balik bahu Nue. dilihatnya speedometer yang menunjukkan angka 70 Km/jam.

“Itu 70 kak..! PElanin dikit dong..”

“Ga bisa Gi, kalo telat, kita bisa didenda! SEkarang kita berurusan dengan mbak Nurul, telat sedetik juga bakal kena denda lima ribu!”

“Ya ampun kak…. Mending aku bayar deh, daripada ntar aku mati muda! Aku belum kawin kak..!”

“kawin mulu pikiranmu Gi.. tenang, aku profesional kok! pegangan yang kencang!”

Nue meningkatkan lagi laju sepeda motornya dan meliuk-liuk melewati kendaraan yang berlalu lalang dengan padatnya.
Gigi pun mencengkran erat jaket Nue dan menundukkan wajahnya di punggung Nue.
“Huwaaaa….!!!”

Sepeda motor Nue berdecit nyaring saat berhenti di tempat parkir kampus. dengan tergesa keduanya berjalan menuju ruang aula. disana, Gigi melihat yang lain sudah hadir.

“Eh, kalian dah dateng?” Sapa Nurul. ditengoknya jam tangannya dan tersenyum penuh arti pada Nue da Gigi. “kalian datang pas jam setengah 7. hebat ya…”

Nue terkekeh bangga sedangkan Gigi hanya memanyunkan bibirnya. “Membahayakan hidup orang lain cuma biar ga didenda?? menyebalkan.” bisik Gigi.

“Sst..” desis Nue yang mendengar gumaman Gigi.

“Oke, Anggian.. Kamu sudah siap kan?” tanya nurul pada Gigi.

Gigi mengangguk sambil tersenyum ramah.

“Maaf sebelumnya ya Gi, kita ga bermaksud mengucilkan kamu dalam tim, tapi memang ini satu-satunya jalan buat membuktikan kalau kamu memang pantas di mata senior yang lain.” ujar Nurul dengan senyum setengah menyesal.

“Iya nggak apa-apa kak.. Aku ngerti kok. Aku juga sudah siap sekarang.” Ucap Gigi lantang.

Mendengar itu, Nue tersenyum.

“Oke, ayo deh kita mulai.” Ujar nurul. Ia mengisyaratkan pada Lala, sang pianis, untuk memberikan nada dasar.
Nue menepuk pundak Gigi yang langsung menoleh padanya.
“Semangat, kamu pasti bisa Gi..” Bisiknya, sambil mengepalkan tinjunya.

Gigi tersenyum dan mengangguk dengan mantap.
Setelah suara piano mulai berdenting, Gigi pun menghela napas sejenak dan bibirnya pun mulai bergerak.
***

“Hahaha.. sip! Aku udah bilang kan? Kamu pasti bisa.. Sekarang kamu dah bener-bener pantes jadi tim LPSAF. Selamat ya..!”

Nue mengacak-acak rambut Gigi sambil berjalan menuju tempat parkir. Gigi hanya diam dan tersenyum malu. Wajahnya menunduk dan memasrahkan rambutnya diacak-acak oleh Nue. Yup, Gigi tadi memang berhasil membawakan lagu Hymne UJ dengan baik. Ga sampai sempurna sih, tapi sudah cukup baik. Dengan begitu Gigi sudah layak menjadi anggota tim LPSAF dan bisa menjalani latihan biasa bersama teman-temannya yang lain.

“Oke, malam ini kita rayain dengan makan-makan yuk!” ajak Nue.

“Oke deh.. “ jawab Gigi. Kini mereka berdua sudah tiba di tempat sepeda motor Nue parkir.

“Tapi kamu yang bayar yah..” ujar Nue yang mencolokkan kunci kontaknya.

Mata Gigi spontan melebar. “Loh, kok aku yang bayar?”

Dengan enteng Nue tersenyum dan menaiki motornya. “Ya kan, kamu yang punya hari special, jadi kamu yang wajib bayar, hehe..”

“heh..??”

Gigipun dengan wajah kecut naik di boncengan Nue, dan motor itupun melaju meninggalkan kampus.

 

Sudah 5 hari sejak Nue dan Grace berpisah. selama 5 hari itu, Gigi dan Nue lebih banyak menghabiskan banyak waktu bersama. Hubungan mereka juga semakin dekat. Sekilas, mereka tampak seperti saudara kandung, tapi wajahnya memang ga mirip sih..

Tapi di lain sisi, Grace, seperti dugaan Gigi, tidak pernah lagi muncul di hadapan Gigi ataupun Nue. Jika bertemu pun, dia seolah malu dan menundukkan wajahnya lalu bergegas meninggalkan mereka. Beberapa kali, Gigi masih menangkap ekspresi sendu Nue saat bertemu dengan Grace, atau saat sedang melamun. Apakah Nue masih mencintai Grace? Kalau ia masih mencintainya, kenapa dia harus memutuskannya? Jika mengingat itu, dada Gigi terasa sesak.

Seringkali Gigi mencoba menanyakan hubungan Nue dan Grace, tapi seringkali pula Nue hanya menjawab dengan senyuman atau jawaban singkat yang justru bikin tambah penasaran.

G: ‘Kak, gimana keadaan Kak Grace sekarang?’
N:‘Hmm? Ga tau, aku ga pernah buka fb buat liat statusnya sih.. hehe.. :p
G: ??? -_-

G: kak, apa kak Grace sudah ketemu sama kakak n minta maaf gitu?
N: 🙂
G: kok senyum sih???
N: 🙂
G:???

G: kak, kakak masih suka kan, sama kak Grace?
N: hooaaam…. aku laper, makan ayok.. (pergi)
G: loh kok ga dijawab? Kak..! tunggu..!

Hmm.. -_-“

Nue memang orang yang susah ditebak. Apapun yang ia lakukan selalu menimbulkan pertanyaan ‘kenapa’ di benak Gigi. Terutama pertanyaan ‘kenapa dia mutusin Grace’ dan sebuah pertanyaan lagi yang ga kalah bahayanya, ‘apakah Nue masih mencintai Grace?’

Dua pertanyaan itu membuat Gigi nyaris stress. Di satu sisi, dia senang karena Nue semakin dekat dengannya, di sisi yang lain, dia takut. Dia takut jika Nue hanya menjadikan Gigi sebagai pelarian saja. Pelarian seorang cowok?

Gigi masih belum tahu, apakah Nue seorang gay, bisex, atau justru straight. Yang jelas saat ini perhatian Nue padanya sudah lebih dari sekedar senior pada junior. Yang masih belum jelas adalah apakah perhatian itu seperti hubungan kakak beradik atau justru seperti orang yang sedang pendekatan? Gigi masih belum bisa mendefinisikannya.

“Woy.. Ngelamun mulu! Mie-nya ntar dingin lo..”

Suara Nue membuat Gigi tersentak dari lamunannya. Ia spontan menoleh ke arah Nue sekilas dan nyengir lalu menancapkan garpunya di semangkok mie ayam di depannya.

“Nglamunin apa sih?” Tanya Nue lagi sambil menyantap gulungan mie di garpunya.

“Nglamunin banyak hal.” Jawab Gigi singkat sambil menggulung mie pada garpunya.

Nue mengangkat alisnya dan tersenyum kocak. “Wuiss… Kata-katamu kayak orang penting banyak masalah aja.”

Gigi tersenyum kecut dan memasukkan mie ke dalam mulutnya.

Ya, Gigi memang punya masalah, yaitu tentang ketidakjelasan sikap Nue. Apakah dia masih cinta dengan Grace? Apakah dia menyukai Gigi? Atau hanya menjadikan Gigi sebagai pelarian saja? Yang jelas, Gigi sudah menunjukkan sinyal yang kuat, kalau dia memiliki rasa pada Nue, tapi anehnya Nue tidak pernah menangkap sinyal itu, atau mungkin ia mengabaikannya. Dan sampai saat ini Gigi masih menunggu kejelasan hubungan diantara mereka berdua.

‘kakak anggap aku sebagai adik, pacar, atau… bukan siapa-siapa?’

“hmm? Kenapa? kok liat aku kayak gitu?” Nue menatap Gigi dengan heran saat sadar jika Gigi memandanginya.

Gigi segera melepas pandangannya dan menggeleng kecil. “ah, nggak apa-apa kok..”

Nue mengangkat sebelah alisnya dan kembali menurunkan pandangannya pada mangkok mie ayam.

Saat itu Gigi kembali merenung dan menoleh ke arah Nue yang tengah menggulung mi pada garpunya.

“Kak.. “

“Hmm?”

“Setelah ini, aku masih boleh kan, latihan privat bareng kakak?”

Nue mendongakkan wajahnya ke arah Gigi dengan mata bulat. Mulutnya tampak penuh dan terlihat 2 utas mi yang menyembul di bibir merahnya. “Hmm?”

“Ehm.. ya aku pikir, aku lebih cepet nangkep kalo latian sendiri..” kilah Gigi sambil mencari fokus pandangan lain.

Nue pun segera menelan mi dalam mulutnya dan tersenyum. ia menggulung sisa mi di mangkoknya dengan garpu. “Oke dah.. Tapi kalo latian rutin kamu juga harus datang ya..”

Senyum Gigi melengkung cerah. “Iya dong.. Kakak jangan bosen ngajarin aku ya!”

Hhmm.. kalo bosen, gimana?” goda Nue.

Gigi tersenyum kecil dan mengambil segulung mi. “Tenang.. aku ga bosenin kok.”

Nue meletakkan garpu di mangkoknya yang sudah kosong sambil tersenyum jahil ke arah Gigi. “Masa?”

“Iya lah… kalo aku bosenin, gimana kakak bisa betah ngajarin aku selama dua minggu?”

“Hehe.. Itukan tuntutan tugas..”

“Hmm.. ngeles mulu.”

Dan Gigi pun melahap suapan mi terakhirnya.
***

Lima minggu sudah terlalui sejak pertemuan Gigi dan Nue. Banyak hal yang terjadi diantara keduanya, baik sedih maupun senang. Anggaplah semua hal yang berkaitan dengan Grace adalah bagian sedihnya, setidaknya itu yang Gigi pikir, dan selain itu, semuanya berjalan dengan happy.

Mulai dari berlatih bersama..

“Ayok, coba kamu sendiri nyanyikan bagian ini..” ujar Nue sambil menunjuk salah satu bar dalam partitur.

Gigi mengangguk dan menarik napas lalu..
“Dododo…solmisolfami….do..”

Nue melongo mendengar nada Gigi yang kacau, maklum itu lagu baru, mars UJ. “Kamu pake kunci apa sih Gi? Ga karu-karuan gitu nadanya!”

Gigi mendengus sambil meniup poninya. “Kunci inggris!!”

Pulang bareng…

“Dah naik belom gi?”
“Bentar ini naikin galon airnya dulu” jawab Gigi yang sedang membawa galon air untuk minum saat latihan rutin. Mereka memang ditugaskan Nurul untuk mengantarkan galon di rumah salah seorang pengurus perlengkapan.

‘blugg’ dengan susah payah akhirnya Gigi berhasil menumpangkan galon yang masih ¾ penuh itu di atas sepeda. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk duduk di atas sepeda.
Belum sempat Gigi mendaratkan tubuhnya di atas sepeda, tiba-tiba hidung Nue terasa gatal dan…

“Haaa…. Haaacchii..!!”

“Greeeng,…!!!”

“Haa? Huwaaaaahh..!!!”

Saat bersin, tanpa Nue sadar, tangannya mengegas sepedanya sehingga motornya melaju mendadak sebelum Gigi benar-benar duduk di atasnya. Tubuh Gigi spontan terjatuh di atas tanah, dan galon air pun jatuh, untung saja tutupnya tidak lepas.

“Yaahh..!!! Galonnya jadi jatoh kan??” ujar Nue yang segera menoleh ke arah belakang.

“Hah? Kok galon sih yang dikhawatirin? Aku dong, aku makhluk hidup tauk!”

Nue hanya nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya saat melihat Gigi terduduk di tanah dan marah-marah ga jelas.

 

Masak bareng..

“Ini apa airnya ga kebanyakan kak?” tanya Gigi sambil membuka tutup heater dan melihat permukaan airnya yang mendidih.

Nue yang semula mengutak atik gitarnya melirik sebentar kearah heater. “Nggak.. mi-nya kan banyak, jadi airnya banyak juga dong..” jawabnya santai.

Gigi mengangguk-angguk kecil lalu menutup lagi tutup heaternya. Baru beberapa detik Gigi menutup heater itu, tutup heater bergerak-gerak, dan tampak air berbuih merembes keluar dari bibir heater.

Mata Gigi spontan membulat dan panik.“Loh..Loh… yaahhh…! kan.. aku bilang juga apa… airnya kebanyakan!”

Nue melirik ke arah heater dan segera meletakkan gitarnya. “Aduh.. Ya buruan copot kabelnya…!”

“aisshh… akhirnya tumpeh-tumpeh kan..?” ujar Gigi sambil menarik kabel heater.

“hehe… iya iyaaa.. maap..”

 

Makan bareng…

Nue dan Gigi tampak sedang makan mi bareng dalam satu piring. Bukan karena ingin romantis, tapi memang karena piring Gigi cuma satu.

“Kak.. Kalo makan napas dong kak… Aku ga kebagian entar..” ujar Gigi yang daritadi memperhatikan Nue yang makan dengan lahap.

Nue melirik sesaat pada Gigi sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Makanya kamu makan yang cepet..”

Mendengar jawaban Nue, Gigi memanyunkan bibirnya. Ia layangkan pandangannya ke arah meja belajar di belakang Nue.

“Wah.. kak! Di meja ada tikus gede!!” teriak Gigi tiba-tiba.

Nue mengeryitkan alis sebentar lalu berdiri dan berbalik sambil melihat meja belajar Gigi.

“Mana? Ga ada apa-apa nih..”

Saat Nue berbalik, Gigi sudah duduk memunggungi Nue dengan piring mi di tangannya.

“Woi!! Tuyul.. Tau-tau diserobot aja mi-nya.. Bagi woi..!” kata Nue sambil berusaha meraih piring mi di tangan Gigi.

Sementara Gigi menghalau Nue dengan tangannya.

“humm… hhahak hayi han uyah maem wanyak… (kakak tadi kan udah maem banyak)” ujar Gigi dengan mulut penuh. Tampak untaian mi yang menggantung di bibirnya yang menahan senyum.

“Iya ntar aku bikinin lagii…” bujuk Nue dengan nada memelas.

Tangannya masih menggapai-gapai piring di tangan Gigi.
Dengan kukuh Gigi mempertahankan piringnya dan menelan mi di mulutnya. “Ini persediaan mi terakhir tauk…”

Dimanapun terlihat bareng.

“Woi..!”

Nue menoleh ketika seseorang yang ia kenal melambaikan tangan padanya. “Radit? Ngapain?” tanyanya saat Radit mendekat ke arahnya.

“Biasalah hunting.. Kamu sendiri ngapain Nu?” tanya balik Radit sambil melirik ke arah Gigi.

“Ini.. Nemenin Gigi nyari sepatu.” Jawab Nue sambil menoleh ke arah Gigi. Gigi tersenyum pada Radit.

Radit mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum meledek.“Wuih.. Beli sepatu aja mesti bareng?”

“Haha.. ya, adekku ini emang manja.. uugh..!” Nue merintih saat Gigi menyikut tulang iganya.

“Apaan? Aku cuma minta anterin doang kok, kan jauh!” Protesnya, lalu dengan nada tertahan ia berbisik pada Nue. “Dan jangan panggil aku adek-adekan segala!”

“Haha.. dasar kakak-adek autis.. udah ah, aku pergi dulu ya. hati-hati Nue, pegangi adeknya, ntar nyasar.” Kata Radit sambil berjalan meninggalkan mereka berdua.

“Wah,, Apaan sih kak Radit!”

Sementara Gigi mengomel, Nue terdiam. Dia memandangi Radit yang pergi menjauh dengan tatapan dingin.
***

Nue mengerem sepeda motornya dengan keras, seperti Nue yang biasanya. Saat ia berjalan meninggalkan tempat parkir, ia berpapasan dengan penjaga parkir.

“Ckck… pelan Nu.. “ ujarnya sambil menyeruput kopi hitamnya.

Nue tersenyum sambil terus berjalan. “Santai pak..”

Kemudian Nue berjalan menuju gazebo tempat teman-temannya duduk dan berkumpul.

“Woi..” sapa Nue sambil menepuk bahu salah seorang temannya.

“Woi, Nu.. Ngagetin aja.” Ujarnya sambil membenarkan posisi kacamatanya.

Nue nyengir tanpa dosa sambil duduk di satu kursi yang kosong.

“Eh, Nu.. Tugas dari Pak Derry dah selesai belum?” tanya salah seorang temen ceweknya.

Spontan alis Nue mengangkat. “Ha? Tugas apaan?”

“Bah, jangan belagak lupa Nu.. Tugas bikin review itu lo!” salah seorang temannya juga menyahut.

Seketika Nue menepuk dahinya dan memejamkan matanya rapat-rapat seperti menahan perih di dahinya.

“Aduh… Iya! I’m totally forgot..” Segera saja ia mengeluarkan buku dan peralatan tulisnya sementara ketiga temannya yang lain menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

“Makanya Nu, jangan pacaran mulu..”

Nue melirik ke arah temannya yang berkacamata.
“Kamu nyindir? dah tau aku dah putus juga.” Ujar Nue sambil mulai menulisi bukunya.

“Hmm.. iya sih.. sama yang cewek sih udah putus.. nah yang cowok?”

Kini jari Nue berhenti bergerak. Dengan tajam matanya menyorot ke arah tiga temannya yang tersenyum penuh arti.
“Maksud kalian apa?” tanyanya dengan nada dingin.

“Udah Nu.. Ga perlu ditutupi lagi.. Yang kayak gitu juga udah menjamur di sini. Kami juga masih anggap kami teman kok.. meskipun..”

Kali ini Nue meletakkan bolpoinnya dengan setengah membanting ke atas bukunya. seketika senyum ketiga temannya mulai lunntur.

“Kalian ini ngomong apa sih? Bicara yang jelas.” Kali ini Nue berbicara dengan intonasi yang tegas dan senyum yang dingin.
Ketiga teman Nue saling bertukar pandang dan akhirnya salah satu diantara mereka buka mulut.

“Kamu punya hubungan khusus dengan cowok Maba itu kan?”

Mata Nue melebar. Untuk sesaat ia tercengang hingga akhirnya ia tertawa kecil. “Hahah… ini pasti Radit yang nyebarin gosip ga jelas gini.. Ya nggak lah! Aku masih normal. Jangan percaya sama gosip murahan gitu.”

“Nah lo.. Tapi kenapa kamu tau-tau mutusin Grace? Kalian makin jarang keliatan berdua sejak Maba cowok itu masuk, kan? Apalagi sekarang kamu malah lebih sering sama cowok itu. Hayoo…” tukas si cewek dengan senyum menyebalkan.
\
Senyum Nue kembali luntur, tergantikan oleh raut wajah yang dingin. Ini semua sudah mulai terasa tidak lucu lagi.

“Ini ga ada hubungannya dengan Anggian. Grace yang menjauh dari aku! kalian ga tau apa-apa kan?”

Kini wajah ketiga teman Nue berubah kaples. Nue memang tampak menyeramkan jika sedang marah, bahkan meski dengan segurat senyum di bibirnya.

Nue memalingkan wajahnya dari ketiga temannya itu. Ia kembali pada tugas yang harus ia selesaikan. Dengan mata yang tertuju pada kertas, bibirnya bergerak mengeluarkan bunyi yang ia tujukan pada ketiga temannya sebagai penegasan akhir.

“Anggian itu, udah aku anggap adikku sendiri, karena dia anggota PSM juniorku. Hanya sampai disitu, ga lebih. Dan aku cowok normal. Aku ga akan suka sama cowok, ingat itu!”
***

HYMN OF MY HEART 10

 

Bar 10, Do I love You? Is it Just a Dream?

‘cklik..’

Terdengar bunyi gagang pintu yang di buka. Seberkas sinar menerangi kamar Gigi. Tampak bayangan Gigi yang sedang meraba-raba dimana sakelar. Begitu lampu menyala, barulah tampak wajah Gigi. Wajahnya yang tersenyum cerah.
Dengan ringan ia melempar sepatunya lalu ia mengganti pakaiannya dengan pakaian santai sambil terus bersenandung pelan.

“upss.. belum ngerjain tugas..” ucap Gigi pada dirinya sendiri.

Dengan santai ia membuka laptop dan menghidupkannya. Harusnya ia gelagapan sekarang, karena ia belum mengerjakan tugasnya sama sekali, tapi nyatanya dia tenang-tenang saja.

Ada apa dengan Gigi? Tumben sekali dia bisa bersikap seperti itu. Ingat gi, kurcaci tidak akan lagi membantu mengerjakan tugasmu saat kamu tidur!

Gigi masih bertahan dengan sikap tenangnya. Ia bahkan memangku dagunya dengan punggung tangan yang ia silangkan di atas laptopnya sambil tersenyum-senyum.
Begitu laptopnya sudah benar-benar siap, ia pun mulai membuka Ms. Word dan mengetik tugasnya. Beberapa kali ia berhenti mengetik dan melamun, lalu tersadar akan tugasnya, ia lalu mengetik lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya dia benar-benar menyerah. Ia tarik jari-jemarinya dari keyboard dan ia sandarkan punggungnya di sandaran kursi. Senyum di bibirnya masih belum luntur juga.

Dia tersenyum sambil memandang langit-langit kamarnya yang tampak seperti proyektor yang menampilkan momen yang ia alami tadi. Bahkan Gigi masih bisa mendengar alunan musik hymne yang ia dengarkan tadi. Dan ia masih bisa merasakan lembutnya belaian angin yang menerpa wajahnya saat Nue memboncengnya pulang ke Kos.

Gigi mengerjapkan matanya lalu ia menoleh ke arah jendela favoritnya. Ia beranjak dari kursi serta tugasnya, dan membuka lebar-lebar jendela tempat ia biasa nongkrong. Di sana ia duduk dengan wajah menengadah ke langit.

Malam itu bukan bulan purnama. Wajah bulan hanya tampak seperti senyum yang melengkung manis, seolah merefleksi senyum Gigi malam itu. Setelah beberapa lama ia menikmati anggunnya bulan dan merasakan hembusan angin malam yang menerpa wajahnya, ia merogoh saku celananya. Ia mengambil ponselnya dan menatap layar ponselnya yang bercahaya temaram.

‘kira-kira dia ngapain ya? sudah tidur kah? Apa dia sudah meminum obatnya..??’ batin Gigi sedikit gelisah.

Jarinyapun segera bergerak dengan lincah mengetikkan huruf-huruf dalam text box ponselnya. Setelah selesai ia kirim, ia kembali melayangkan pandangannya ke depan. Dari bulan, matanya turun ke Jembatan Semanggi. Darisana ia bisa melihat kelip-kelip kendaraan yang berwarna kuning dan merah. Berseliweran seperti kunang-kunang.

‘Kak.. Setiap hari aku bertemu dengan kakak.. Entah kenapa aku makin rindu denganmu. Seperti candu. Kenapa harus kamu, Kak? Padahal aku tahu kamu punya kekasih.. tapi masih tetap saja aku belum bisa lepas dari kamu, kak.. entah sampai kapan aku bisa bertahan, tetap menjadi bayangan seperti ini. tapi kuharap, suatu saat nanti kakak bisa tahu, kalau aku…’

Tepat di titik mata Gigi memandang, seorang pemuda duduk sendiri di sebuah batu buatan diatas bukit. Jembatan semanggi memang melingkar mengitari sebuah bukit, dan bukit itu sengaja dirawat dan ditata sehingga bisa dijadikan tempat nongkrong.

Cowok itu duduk termenung, memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang di bawah bukit. Tidak ada seorangpun disana kecuali dirinya, namun samar-samar muncul bayangan-bayangan di sekitarnya. Bagaikan hantu bayangan-bayangan itu muncul begitu saja. Bayangan tentang masa lalu.cowok itu memandang lirih bayangan itu. Bayangan dua orang muda mudi yang duduk tepat di sebelahnya. Dua bayangan itu tampak asik bergurau dan bermanja-manjaan. Mereka berdua juga sedang memandangi kendaraan yang lalu lalang di Jembatan Semanggi itu. Suara tawa ringan mereka terdengar lirih, menggaung di benak cowok itu. Hingga akhirnya cowok itu hanya bisa memandang dengan iri ketika bayangan muda-mudi itu saling berbagi earphone, mendengarkan sebuah lagu yang ia rindukan. Dan ketika si cewek menyandarkan kepalanya di bahu si cowok, begitu juga si cowok yang menyandarkan kepalanya di kepala si cewek, membuat siluet mereka saling terhubung membentuk sebuah bayangan yang kian kabur dan akhirnya menghilang.

Getar ponsel di saku celananya membuat cowok itu tersadar dari lamunannya. Segera saja ia mengambil ponsel dan membukanya. Tampak sebuah pesan singkat di sana.

‘Kak? Sudah tidur blm? Cuma mau ngingetin, apa udah minum obat? Jangan lupa diminum ya.. Malem..’

Mata cowok itu bergerak-gerak membaca pesan itu. Ia matikan ponselnya dan ia genggam erat ponsel itu. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil bergumam pelan. Pelan sekali hingga terdengar seperti isakan.

“Kenapa harus kamu? Saat pacarku sendiri tidak pernah menanyakan tentang aku, justru kamu yang selalu menanyakan kabarku.. Saat pacarku sendiri jarang punya waktu untukku, justru kamu yang selalu hadir disampingku.. Saat pacarku sendiri membuatku luka, jutrsu kamu yang mengobati luka itu..”

Cowok itupun mengerjapkan matanya lalu mendongakkan wajahnya. Ia berbalik membelakangi jalan raya dan menatap jauh ke belakang bukit. Menuju sebuah bangunan dengan beberapa lampu yang berkedip temaram.

“kenapa harus kamu, Gigi.. kenapa selalu kamu? Apa mungkin aku bisa..”

Seolah mata mereka saling bertemu dan malam menjadi ruang hitam yang menciut hingga mendekatkan wajah keduanya hingga beberapa inci. Kedua saling menatap dalam-dalam, mencoba menembus dalamnya mata orang di hadapannya. Seraya bibir mereka bergerak bersamaan.
“mencintaimu..?”
***

Mentari fajar sudah tersembul meski dengan malu-malu. Berkas sinarnya yang hangat menerpa lembut wajah Gigi yang terlelap. Bahkan cahaya keemasan yang sedikit menyilaukan itu masih belum bisa membangunkan Gigi. Tampaknya Gigi masih terlalu asik dengan mimpinya, hingga sebuah suara nyaring membuyarkan mimpinya, seperti cermin yang pecah menjadi keping-keping kecil.

Tangannya segera meraba-raba ponselnya dan di dekatkan ke telinganya.

“halo…” ujarnya dengan suara serak.

“woi,, Gi.. bangun..!!” ujar seseorang di seberang ponsel Gigi.

Masih dengan mata setengah terpejam, bibirnya tersenyum tipis. “kak Nue..” ujarnya pelan.

“hah? Siapa? Aku Uly..!! bangun..! dah jam berapa nih?”

Seketika mata Gigi terbuka. “hah? Uly? Aduh.. sory-sory-sory…” ujar Gigi sedikit gelagapan sambil bangkit dari tidurnya.

“ckck.. mimpi apa aja sih? Udah ya, aku dah melakukan tugasku, sekarang aku tutup yah?! Jangan tidur lagi! Ingat Bu Katrin hari ini yang ngajar!” setelah itu terdengar suara ‘bib’ pelan dan suara Uly tidak terdengar lagi.

Gigi mengucek-ngucek matanya sambil meletakkan lagi ponselnya. Ia memang menyuruh Uly untuk membangunkannya setiap ada kuliah pagi, karena kebiasaan Gigi yang suka molor dan memiliki kemampuan untuk mematikan alarm tanpa sadar. Gigi menoleh ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul 5.40. Gigi mendengus pelan. Inilah sebabnya dia membenci jam dinding. Selalu saja menunjukkan kejutan yang menyebalkan. Gigi juga teringat akan tugasnya. ah, Gigi sudah pasrah akan tugasnya. ia juga tidak mungkin menyelesaikan tugas itu sekarang.

Gigi pun turun dari ranjangnya lalu membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara dan cahaya pagi menerpa tubuhnya. Dengan lebar ia merentangkan tangannya dan meregangkan tubuhnya sambil menguap.

“Wooaaa….. Selamat pagi dunia..”

Setelah itu ia menurunkan lagi tangannya. Ia lalu menyandarkan bahunya di bingkai jendela sambil tersenyum cerah.

“selamat pagi kak Nue…”
***

Wajah Gigi yang tampak begitu cerah tadi, kini berbalik menjadi muram dan kusut. Dia memangku pipi kanannya dengan punggung tangan. Dengan bosan ia melihat bibir dosennya yang berkomat-kamit tidak jelas.

Diam-diam ia mengambil ponsel di saku celananya dan melihat jam. Ia menghela napas sejenak lalu mengembalikan lagi ponselnya ke dalam saku.

Agak lama setelah itu, Gigi menarik lagi ponselnya dan melihat jam, lalu memasukkannya lagi. Begitu seterusnya, hingga akhirnya dia melihat jam di ponselnya untukyang kesekian kali.

‘hmm.. 2 menit lagi…’ gumam Gigi pelan sambil menghela napas.

Tak lama kemudian, bel berdering (Kayak sekolahan ya?) dan Gigi menegakkan lagi posisi tubuhnya.

Bu Dosen bernama Bu Katrin itu pun menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas.

“oke, see you next week..” ujarnya singkat sambil meninggalkan kelas.

“hherrg… i wish i can say good bye to you..” gumam Gigi pelan sambil menenteng tasnya.

“haha.. bisa aja kamu Gi.. Eh habis ini mau kemana Gi? Makan yuk..” ajak Uly.

“oke dah..” ujar Gigi. Semangatnya mulai tumbuh lagi setelah melewati masa perkuliahan yang sangat membosankan buatnya (mahasiswa abal-abal -_-“).

Saat Gigi tengah asik bercanda dengan Uly sabil berjalan menuju kantin, tiba-tiba ia melihat Grace. Grace menghampirinya dengan langkah cepat dan dengan wajah yang sembab.
Gigi dan Uly pun menghentikan langkahnya saat Grace sampai dan berhenti tepat di depan mereka. Grace memandang wajah Gigi lekat-lekat. Wajahnya tampak tanpa ekspresi, tapi masih ada bekas-bekas kesedihan di kelopak matanya.

“Pasti kamu kan?” ujar Grace tiba-tiba. Nada suaranya terdengar begitu berat.

Gigi hanya melongo, sesekali ia menoleh ke arah Uly yang juga bingung dengan apa yang terjadi. “Ma.. Maksud kakak apa?” tanya Gigi dengan senyum tipis.

Bukannya menjawab, Grace justru meraih tangan Gigi dan menariknya. Mau tak mau tubuh Gigi tertarik mengikuti arah langkah kaki Grace yang cepat.

Gigi benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Ia hanya mengikuti langkah kaki Grace dengan kewalahan.

“kak.. mau kemana sih? Ada apa?” tanya Gigi sedikit panik.

Namun Grace hanya diam dan terus menarik tubuh Gigi. Akhirnya Grace membawa Gigi di panggung terbuka yang terletak di sudut belakang Fakultas Sastra. Disana ia melempar tangan Gigi dan menoleh tajam ke arah Gigi.

Gigi sedikit terkejut, ketika Grace menoleh ke arahnya, tampak mata Grace memerah dan setitik bulir air menggantung di ujung matanya.

“A.. Ada apa sebenernya kak?” tanya Gigi hati-hati.

“Jangan berlagak bego kamu!” bentak Grace.

Gigi terdiam.

“kamu kan? Kamu pasti yang ngadu ke Nue..!”

Alis Gigi seketika mengeryit “Ngadu apa sih kak? Aku sama sekali ga ngerti..”

“sudah kubilang jangan berlagak bego! Kamu kira aku ga tau, kamu disana, kan? Saat aku di PH..!” nada suara Grace makin melengking.

Beruntung tempat itu sepi danjauh dari jangkauan keramaian. Sementara itu, Gigi sedikit terkejut, dia tidak tahu kalau Grace menyadari kehadirannya di PH. Tapi, apakah dia tidak melihat Nue juga?

“Sebenernya apa sih mau kamu? Kamu dendam karena dulu aku bentak, terus nguntit aku dan memfitnah aku di depan Nue?! Gitu?” wajah Grace makin memerah dan matanya sudah nyaris terpejam dan air mata mengalir deras dari celah sempit itu.

Tangan Gigi gemetar mendengar tuduhan Grace yang menyakitkan itu. “Tunggu dulu kak.. bukan seperti itu..”

Grace menggeleng-gelengkan kepala dan mengacungkan telunjuknya di wajah Gigi. “Jujur! Apa yang sudah kamu bilang ke Nue? Apa yang sudah kamu bilang ke Nue, sampai dia mutusin aku kayak gini? Bilang!!”

Pupil Gigi menyempit. Mulutnya sedikit menganga saat mendengar kata-kata Grace. “kak Nue.. mutusin.. kak Grace..?”

Tangis Grace makin keras, dengan putus asa dia mengguncang-guncang tubuh Gigi. Sementara Gigi hanya diam tanpa ekspresi. wajahnya bersinar dingin saat tubuhnya diguncang-guncang oleh Grace yang terus berteriak di wajahnya.

“bilang..! jahat kamu anggian, bisa-bisanya kamu merusak hubungan orang..! kalau kamu marah sama aku, bilang aja! Ga usah kayak gini..! sekarang gimana? Kamu sudah puas, bikin aku sakit seperti ini..”

Belum sempat Grace melanjutkan kata-katanya, Gigi dengan tegas melempar tangan Grace dari tubuhnya hingga tubuh Grace sedikit terhuyung ke belakang. “Kamu bilang aku merusak hubungan kalian?? Kamu bilang kamu sakit?? Kamu ga sadar? Kamu sendiri yang merusak hubungan kalian! Kamu sendiri juga yang selama ini bikin kak Nue sakit!”

Grace terdiam, bibirnya terbuka dan bergetar lirih. Sementara Gigi menyibak kasar poninya hingga tampak matanya yang menyala penuh emosi. Dia bahkan tidak segan lagi memanggil Grace dengan sebutan ‘kamu’. Di dekatinya Grace perlahan.

“Asal kamu tahu, aku sudah lama tahu hubungan gelapmu sama cowok itu. Tapi aku coba tutupi itu dari kak Nue. Itu aku lakuin untuk menjaga hubungan kalian berdua. Aku mencoba menjaga perasaan kak Nue yang aku hormati. Tapi apa? Kamu sendiri yang membongkar semuanya di mata kak Nue. Kamu pikir, aku aja yang ada di PH saat itu? Nggak! Aku bersama kak Nue, dan dia sendiri ngeliat bagaimana kelakuan kakak dengan cowok itu!”

Mata Grace melebar dan dia menutupi mulutnya sambil menggeleng pelan. “Nggak.. Itu salah..”ujarnya lirih.

“Apa yang salah?!” sahut Gigi. “Semua sudah jelas.. Kamu gak perlu nutupin itu lagi. Kak Nue sudah capek dengan sifatmu yang selalu bikin dia kecewa. “

“Nggak.. Kamu salah.. Kamu nggak tahu apa-apa..” jawab Grace lagi dengan nafas tersengal-sengal.

“Kamu yang ga tau apa-apa!” suara Gigi makin meninggi.

Tidak ia sadari bulir-bulir air juga menggantung di kelopak matanya. “Kakak ga tau kan, setiap malam kak Nue melamunkan kamu yang nggak pernah ada buatnya? Kamu ga tau kan, kalau dia nyempat-nyempatin kerja demi beliin kamu BB..? dan kamu tahu? karena pekerjaannya itu bikin kesehatannya memburuk sampai penyakitnya kambuh lagi?!”

Grace yang semula hanya menunduk mendengarkan kesalah-kesalahannya perlahan mendongkakkan wajahnya dengan wajah pucat. “Penyakit..? Pe.. Penyakit apa? Nu.. Nue ga pernah…”

Gigi menundukkan wajahnya. Ia sedikit menyesal telah kelewat batas. Seharusnya ia tidak menceritakan hal itu, tapi sudah terlanjur. Dan Gigi rasa, sudah saatnya Grace tahu tentang penyakit Nue.

“Kak Nue.. Mengidap penyakit Epilepsi.. “

Seketika lutut Grace melemas dan menundukkan wajahnya. Matanya tampak menerawang kosong dengan air mata terus mengucur membasahi lapangan panggung.

“Penyakitnya bisa kambuh setiap saat kalau dia ga rutin minum obat dan stres. Dia nyuruh aku untuk merahasiakan ini dari kakak..” emosi Gigi mulai mereda, membuatnya merasa untuk memanggil Grace dengan sebutan kakak lagi. “Dia nggak pingin kakak tahu tentang penyakitnya.”

“tapi kenapa? kenapa dia ga mau bilang?” ujar Grace lirih.

“karena dia takut.. dia takut kehilangan kak Grace. Ia sudah ragu sejak awal kalau kak Grace tidak lagi mencintainya, itulah kenapa dia memilih menyembunyikan ini dari kakak.”

Mendengar itu, Grace tidak mampu lagi untuk berkata-kata. ia menutupi wajahnya dan tubuhnya menggigil dengan hebatnya. Air mata merembes dari balik ruas-ruas jarinya dan jatuh bebas di panggung.

Melihat itu, Gigi menghembuskan napas dalam lalu berbalik. Perlahan ia meninggalkan tempat itu. “Lebih baik kakak berhenti menangis. Apa yang kakak tangisi? Tidak ada cinta yang patut kakak tangisi. Lebih baik kakak urus hubungan kakak dengan cowok bernama aldo itu dan biarkan kak Nue hidup.” Ujarnya pelan sambil terus melangkah menjauhi Grace.

Meninggalkan dia sendiri di panggung terbuka, layaknya putri yang bersimpuh dan terluka.
***

Malam harinya, Gigi duduk termenung di jendela favoritnya. Pikirannya melayang ke waktu saat ia membentak Grace. Sebenarnya ia merasa sedikit menyesal. Menyesal karena sudah lepas kendali dan terbawa emosi. Bagaimanapun Grace adalah seniornya dan dia adalah pacar Nue (mantan). Gigi benar-benar gelap mata tadi. Tuduhan Grace padanya berhasil membuat hatinya panas dan tangis Grace membuatnya muak. Dia menangis keras seolah dia adalah seorang korban, padahal dia adalah iblis yang sebenarnya. Dia yang menyakiti Nue dengan cinta dan pelukan kasih palsu.

Kedua, yang juga membuat hati Gigi tidak tenang, fia sudah melanggar janjinya pada Nue untuk tidak memberitahukan Grace tentang penyakitnya. Nue mungkin akan kecewa padanya, bahkan skenario terburuknya adalah Nue akan marah padanya. Gigi benar-benar tahu skenario terburuk itu akan terjadi, tetapi dia rasa hal itu sudah seharusnya terjadi. Grace perlu tahu keadaan Nue yang sebenarnya, sehingga dia bisa tahu betapa jahatnya dia yang membuat Nue kehilangan banyak untuknya.

Namun selain rasa menyesal yang menderanya, ada sebuah tanda tanya besar berpendar di kepalanya.

‘Mengapa kak Nue memutuskan Grace?’

Kenyataan yang ia terima dari Grace itu memang sulit diterima oleh akal sehatnya. Ia tahu, kalau Nue sangat menyayangi Grace, tapi kenapa dia bisa dengan sederhananya mememutuskan dia? Apa artinya kesabaran Nue selama ini?

Saat Gigi sedang melamunkan wajah Nue, wajah Nue tampak kian nyata. Wajah itu tampak beberapa inci di depan hidung Gigi. wajah itu tersenyum padanya, dan Gigi pun membalas senyuman itu dengan lirih. Hingga akhirnya sebuah tepukan pelan di pundaknya membuat ia melompat kaget.

“Huwaaah…!!!” Jerit Gigi.

Nue tampak terkekeh di depannya sambil mengusap-usap hidungnya. Ditangan kirinya tampak sedang menenteng sebuah kotak karton.

“Kenapa sih gi? Reaksimu berlebihan”

Gigi masih mencoba mengatur napasnya dan kembali duduk di bingkai jendela. Dengan wajah sewot ia menatap wajah Nue. “Berlebihan gimana?? Kakak tuh yang ngagetin, tau-tau nongol aja!”

“Habisnya aku gedor pintunya ga dibuka-buka.. Untung aku tahu tempat tongkronganmu ini, hehe..” jawab Nue santai.

Mata bulat Gigi melebar seakan tak percaya, “Hah? Masa’ sih?? Masa’ aku ga denger?”

“Iya..! Keasikan ngelamun sih..”

Gigi menggaruk-garuk kepalanya setelah mendengar jawaban Nue. Ia tidak tahu jika ia melamun selarut itu sampai-sampai tidak mendengar Nue yang mengetuk pintu. Lalu ia teringat akan sesuatu dan mendongak lagi ke arah Nue.

“Oh ya, btw kakak ngapain malem-malem kesini?” tanya Gigi.

“Oh.. ga ada sih.. Cuma mau nganterin ini.”

Nue mengangkat kotak di tangannya. Kotak putih, besar tapi pipih. Seketika mata Gigi berbinar-binar.

“Itu…”

Nue tersenyum lalu duduk di samping Gigi. Dia membuka kotak itu di depan wajah Gigi. “Malem itu kan kita belum selesai makan pizzanya sampe habis, jadi tadi aku beliin lagi.”

Mata Gigi tidak bisa berbohong saat melihat isi kotak itu begitu tutupnya dibuka. Sebuah pizza yang masih hangat bagaikan memancarkan sinar-sinar keemasan dan berkelip-kelip. Baik mata, mulut dan perut Gigi seketika meronta-ronta melihat pemandangan lezat itu.

Namun, seperti ditampar, Gigi segera sadar dan melepaskan pandangan nafsunya pada pizaa itu. “Lo..Loh kak.. Ngapain beli lagi? Kan mahal..”

“Halah… Kebanyakan basa-basi kamu Gi.. Uang sisa buat beli BB waktu itu juga masih banyak. Ayok dah, hajar…!” ujar Nue yang mencomot salah satu potong pizza dan mengGigitnya.

Gigi terpaku menatap Nue yang mengGigit pizza dengan lezatnya. Keju mozarellanya yang terulur panjang membuat Gigi menelan ludah.
***

Bulan menggantung makin tinggi di langit yang gelap. Nue memandang jauh ke kerlip lampu kota Jember dari ambang jendela Gigi. Di sebelahnya, Gigi tengah menyantap potongan pizzanya yang ketiga (akhirnya ga tahan juga). Sadar hanya dia sendiri yang kini sibuk menelan pizza, Gigi menoleh ke arah Nue.

“Loh kak, ga makan lagi?” tanyanya dengan mulut penuh, membuat beberapa remah pizza di mulutnya meluncur keluar.
Nue menoleh ke arah Gigi.

“Nggak Gi, kenyang.. Kamu abisin aja.”

“Oh.. Beneran nih? Jangan nyesel ya kalo aku habisin..” ujar Gigi yang kembali mengarahkan pandangannya ke arah sisa pizza yang ada di dalam kotak kemudian mengGigit pizza di tangannya.

Nue tersenyum kecil dan mengeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Dasar rakus.. ntar bisa gemuk lo.”

“Nggak bakalan.. Metabolismeku kuat kok.” Jawab Gigi dengan yakin. Nue terkekeh mendengarnya.

Setelah itu, keduanya tidak banyak berbicara. Nue larut dalam pemandangan malam, sedangkan Gigi sibuk mengunyah pizzanya.

Ketika Gigi tengah mengunyah potongan pizza terakhirnya, sebuah benda lembut menyumbat lubang telinganya. Mata Gigi melebar dan dengan gugup ia menengokkan pandangannya ke arah kiri. Dia lihat Nue sedang menyematkan kepala earphone satunya di telinganya. Kini Gigi dan Nue terhubung lagi dalam satu earphone.

“Hymne lagi?” tanya Gigi.

“Nggak.. kali ini aku pingin kita dengerin lagu lain..” ujar Nue sambil tangannya mengusap-usap layar ponselnya.

Setelah itu, sebuah musik terdengar. Jantung Gigi berdegub cukup kencang, ketika mendengar lagu itu. Lagu yang Nue putar saat ini adalalh lagu kesukaannya. Lagu yang sering ia dengar saat ia sedang murung.

‘i know you somewhere out there.. somewhere far away..’

“aku suka lagu ini..” ujar Nue sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Gigi terdiam. Sudah kedua kalinya Nue berbagi earphone dengannya, dan kali ini ia memutar lagu yang cukup menyentuh baginya. Diam-diam timbul keberanian di hati Gigi. Keberanian yang timbul karena adanya harapan, bahwa Nue mungkin…

“kak.. “

“hmm..”

“boleh aku tanya sesuatu, tapi jawab jujur ya..”

“hmm.. oke.”

“kakak.. kenapa putus sama kak Grace?”

Pertanyaan Gigi itu tidak langsung dijawab oleh Nue. Ia tersenyum tipis sesaat lalu bibirnya bergerak. “aku juga ga tau Gi.. mungkin memang sudah begini seharusnya..”

Alis Gigi berkerut mendengar jawaban Nue yang justru menimbulkan pertanyaan lagi. “maksud kakak?”

Lagi-lagi Nue terdiam sebentar. Entah apa dia sedang memikirkan jawaban yang tepat, atau sedang mengumpulkan tenaga untuk mengungkapkannya.

Setelah agak lama, dia mendongakkan sedikit wajahnya hingga sejajar dengan horison malam. Bibirnya melengkung tipis seperti bulan saat ini.

“Aku ga tau Gi.. aku ga tau alasan kenapa aku begini. Mungkin bisa dibilang aku sudah terlanjur kecewa padanya. Aku sudah bosan dipermainkan seperti ini. Mungkin dengan putus denganku, dia bisa bebas jalan dengan cowok yang ia suka. Setidaknya dia bisa bahagia, aku juga sudah tenang.”

Setelah mendengarkan jawaban Nue, Gigi menundukkan sedikit wajahnya. Pizza yang tinggal sepotong tidak ia hiraukan lagi, membiarkannya tergolek sendiri dalam kotak di pangkuan Gigi.

Lagu Talking to the Moon lah yang mengisi kebisuan mereka setelah itu. Gigi tidak punya kekuatan dan ide lagi untuk memulai perbincangan lagi. Sebenarnya Gigi bingung, bagaiamana mengekpresikan perasaannya mendengar jawaban Nue. Haruskah dia senang, karena Nue sudah meninggalkan orang yang Gigi benci. Atau karena ada jalan kecil baginya untuk mengisi ruang hati Nue. Atau sebaliknya, apakah dia harus ikut sedih, melihat kesedihan Nue saat ini. Gigi tahu, hal ini pasti sangat berat bagi Nue. Oleh karena itu, Gigi memilih diam, daripada ia salah dalam mengeksprsikan perasaannya yang berada dalam chaos itu.

“Kamu tahu, kenapa aku kemarin dan malam ini berbagi earphone denganmu, Gi?”

Suara Nue tiba-tiba membuyarkan kebisuan Gigi. Gigi menoleh sesaat ke arah Nue yang tengah tersenyum menatap horison. Lalu dia mendongakkan wajahnya ke langit untuk memikirkan jawabannya.

Setelah beberapa lama, tiba-tiba Nue mengangkat tangannya sejajar dada. Jari telunjuknya mengarah pada bukit kecil di sekitar jembatan Semanggi. Gigi menatap dengan heran ke arah titik yang ditunjuk Nue itu.

“Jawabannya bukan di langit Gi.. tapi di bukit kecil itu.” Ujar Nue. Sementara melihat bukit yang ditunjuk Nue dengan bingung.

“Disana, aku pertama kali nge-date dengan Grace.”

Dada Gigi langsung terasa sesak. Bahkan disaat seperti ini Nue masih membicarakan Grace. Tapi Gigi mencoba menyembunyikan rasa kecewanya dengan bertahan pada kebisuannya.

“Di sana kami duduk di atas batu di bukit itu. Memandangi kilas lampu-lampu mobil dan motor di Jembatan Semanggi, sambil mendengarkan lagu dari earphone ini. Aku dan Grace dulu sering mendengarkan musik bersama. ‘Talking to the Moon’ adalah lagu favorit kami, jadi kami sering memutar lagu setiap kali mendengarkan musik bareng. Tapi.. suatu hari, di ulang tahunku, dia memberiku backphone itu. Dan sejak itu, kamu jarang mendengarkan musik bareng lagi. Backphone tidak bisa buat berbagi, ya kan?” ujar Nue. Tampak segurat senyum lirih di bibirnya.

Gigi hanya mengangguk pelan. Tidak bisa berkomentar apa-apa.

Nue menghela napas panjang dan tersenyum pada langit malam. Matanya bergerak-gerak seolah menghitung bintang di langit. “Aku rindu… Aku rindu saat-saat itu. Saat aku bisa duduk berdampingan dengan orang yang kusayang, berbagi earphone dan mendengarkan musik bersama, dan saat dia menyandarkan kepalanya di pundakku.. Aku rindu saat-saat itu.”

Nue menghentikan kata-katanya. Senyum di wajahnya perlahan meredup, saat sosok bulan mulai tertutup awan tipis. Dan perlahan bibirnya bersuara lagi, dengan nada yang berat.

“Tapi kini semuanya… Sudah menjadi mimpi belaka.”

Dan seketika mata Nue melebar. Jantungnya tersentak kuat, ketika Gigi menyandarkan kepalanya di pundak Nue. Dengan wajah tidak percaya, ia menengok Gigi. Ia bisa merasakan halus belaian rambut Gigi di wajahnya, dan harum rambutnya.

“Gigi..”

“Jangan komentar kak..” kata Gigi cepat.

Matanya tampak bergerak-gerak malu tertutup oleh poninya yang panjang. Jantungnya berdegup sangat kencang, memompa darah lebih cepat ke bagian wajahnya hingga membuatnya merona.

Bruno Mars sudah selesai melantunkan lagunya dengan apik. Nue memandang Gigi untuk sejenak. Dia tidak bisa berkata apa-apa, hingga akhirnya ia tersenyum tipis. Dia memutar lagi lagu itu, dan dia kembali menatap kelip-kelip lampu kota Jember di depannya. Perlahan, ia menyandarkan kepalanya pada kepala Gigi.

Awan tipis yang menutupi sosok bulan sabit di langit perlahan mulai tersibak, dan cahaya temaram bulan kembali menerawang sosok dua insan itu. Hingga akhirnya membentuk sebuah siluet. Siluet dari masa lalu yang Nue rindukan, dan siluet dari angan-angan yang Gigi pendam dalam-dalam.

‘Apakah ini mimpi?’
***

HYMN OF MY HEART 9

Bar 9, Listening Our Song.

“kukuruyukk.. kukkuruyukk..!!”

Suara ayam berkokok terdengar lantang dari speaker ponsel Gigi. Sudah cukup lama alarm itu menjerit-jerit seperti mau disembelih. Akhirnya Gigi mulai risih dengan suara yang menyebalkan itu. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba permukaan kasurnya untuk menggapai ponselnya.

“kuk..!”

Gigi akhirnya bisa membungkam kokok ayam itu. Dengan mata setengah terbuka, ia melihat jam yang tertera di ponselnya.

“jam 7.00.. uugh..” gerutu Gigi.

Sebenarnya dia masih belum puas dengan tidurnya, mengangat semalam dia tidur terlalu larut, bahkan ia sampai lupa sholat subuh. Namun seketika dia membelalakkan matanya dan bangkit dari tidurnya.

Dia baru sadar, kalau saat ini dia sudah berada di kasur, padahal ia masih ingat betul kalau semalam dia tertidur di kursi belajar. Lalu siapa yang membawanya ke kasur?
Dilihatnya sekeliling, juga lantai di sekitar kasurnya. Ia pun melompat dari kursinya. Ia menuju jendela besar yang sudah tertutup. Dibukanya jendela itu dan ia melompat ke luar. Namun yang ia cari tidak juga ia temukan.

“kak Nue mana??” gumamnya pelan.

Dia meniup poninya lalu berbalik dan kembali menuju kasurnya. Ia menjatuhkan pantatnya di kasur yang empuk itu sambil termenung.

‘Apa kak Nue yang bawa aku ke kasur?’ tanya Gigi pada pikirannya sendiri. Setelah itu, pikiran-pikiran Gigi mulai melayang ke mana-mana.

Apakah mungkin Nue menggendongnya? Bagaimana cara dia menggendong Gigi tanpa membuat Gigi terbangun? Apakah diboyong layaknya pengantin? Lalu, setelah ia merebahkan tubuh Gigi di kasur, apa yang Nue lakukan? Apakah memberinya kecupan? Di dahi? Di pipi? Atau di…. (Gigi nyengir) lalu apa dia juga ikut tidur di samping Gigi, lalu memeluknya seperti guling yang manis?

Seketika wajah Gigi memerah dan nyengir kuda. Dia menggaruk-garuk kepalanya seperti orang bodoh (yes, he is). Namun, senyum di wajah Gigi perlahan memudar ketika muncul dengan heroik frasa ‘NGGAK MUNGKIN’ dari dalam otaknya.

frasa ‘NGGAK MUNGKIN’ itu makin membesar dan bertambah jumlahnya dengan berbagai macam style word art, hingga akhirnya frasa yang sama itu menimpa kepala Gigi dan membuatnya menunduk.

“ya.. nggak mungkin juga’..” bisiknya.

Gigi termenung di sana, duduk di tepi kasurnya, dengan berkas-berkas sinar mentari pagi menyinari wajahnya yang sedih.

Suara ‘tik-tik-tik’ jam dinding tak henti-hentinya memukul pelan gendang telinga Gigi. Seolah tengah menasihatinya tentang waktu. Gigi pun menoleh ke arah meja belajarnya, tepatnya ke arah laptopnya yang masih terbuka dengan layar gelap.

“jeng,jeng,jeng,jeengg……”

Bagai diiringi sebuah orkestra Ludwig Van Beethoven yang menderu-deru bagai badai di samudra, mata Gigi terbelalak dan wajahnya berubah pucat seperti zombie.

“tugasku~…”decitnya.

Langsung saja ia melompat dari kasurnya dan menjatuhkan dirinya di kursi belajar.

“apeess..!! gimana bisa lupa??!! Oh iya, ini gara-gara ketiduran…” buru-buru ia menghidupkan laptopnya.

Ia menengok ke jam dinding, berharap waktu berjalan 1 jam lebih lambat. Akhirnya jam dinding mengejeknya dengan menunjukkan waktu 07.12, padahal jam kuliah Gigi hari ini dimulai pukul 8.40. Gigi masih belum mengerjakan tugasnya, mandi, berpakaian, bersepatu dan belum lagi berjalan kaki menuju kampus yang setidaknya butuh waktu 20-25 menit. Wooohhhhh…. Gigi seakan ingin histeris di kamar itu.

Laptop Gigi akhirnye selesai booting dan Gigi langsung membuka dokumennya. Jarinya terhenti.

“Sebentar.. Namanya apa? Kan belum aku simpen? Uurrgghhh…” gerutu Gigi.

Ia pun berharap pada auto recovery. Tidak tersimpapun bukan masalah sebenarnya, mengingat dia baru menulis identitas dan soal.

Saat Gigi mengarahkan kursornya di microsoft word, otomatis recent document muncul, dan di urutan paling atas list itu, mata Gigi menangkap nama file yang belum ia lihat sebelumnya.

Subjectnya ‘tukang molor’. Alis Gigi berkerut, sejak kapan ia membuat dokumen dengan nama sejelek itu? Ia pun membuka dokumen itu, dan seketika matanya berbinar.

Dokumen itu berisi tugas Gigi, dan semuanya sudah selesai dikerjakan dengan sempurna. Ia memandang takjub layar laptopnya.

“hoooooreee..!!!!! alhamdulillahh…!! ga perlu ngerjainn..!!”

teriak Gigi kegirangan sambil melompat dari kursinya dan mengangkat kedua tangannya. Sesekali ia menggoyangkan pinggulnya ala gangnam style dan mengelilingi kasurnya sambil berseru.“houuu… sexy oppaa…!”

(-_-)” <– ekspresi narator saat ini. Bisa-bisanya author bikin karakter kayak Gigi.

Setelah asik dengan kegirangannya, Gigi menoleh ke arah jam dinding lagi. Dengan wajah masam, jam dinding menunjukkan waktu 7.16. Gigi pun segera menghentikan selebrasinya dan buru-buru mencari flashdisk utuk menyimpan tugasnya. Gigi tidak memiliki printer, jadi harus diprint di percetakan.

“Aduh lupa.. dah jam 7 lewat. Flash disk? Mana flashdisk..?”
***

Gigi berjalan dengan terburu-buru menuju kelasnya, sesekali ia berlari kecil. Dilihatnya jam di ponselnya, sudah tidak banyak waktu yang tersisa untuk dapat datang di kelas sebelum dosen. Akhirnya ia bisa bernapas lega saat ia tiba di ambang pintu kelas, dosennya belum datang. Dosennya memang galak. Nggak, hampir semua dosen Gigi memang galak sih..

Uly yang semula sedang menulis sesuatu di kertas folio tampak terkejut saat Gigi duduk di sebelahnya.

“Woey..! tau-tau nongol aja kayak jin!” ujarnya sambil menepuk pundak Gigi.

“Hehe.. biarin, pastinya jadi jin ganteng,juga..” ujar Gigi nyengir.

“Hedehh.. males deh. Ga usa dibahas dah.. eh, tugasmu kelar belom? Tanya Uly yang kembali menulisi folionya.

“Udah donk..” ujar Gigi bangga.

Uly menoleh dengan alis berkerut. “Hemm… Masak? Coba liat?”

Gigi langsung saja menjauhkan bungkus plastik berisi tugas yang baru ia print itu dari tangan uly. “eiits.. jangan! Entar contoh-contohnya kamu contek lagi.”

Bibir Uly seketika manyun, “Eh.. Enak aja..! Baru ngerjain tugas sekali belagu kamu Gi..!”

Gigi hanya tertawa puas melihat Uly kesal, hingga akhirnya ia langsung menutup mulutnya ketika dosennya memasuki kelas. Uly yang juga melihat kedatangan dosenpun segera ngebut menyelesaikan tugasnya.

“Aku kumpulin duluan ya Ul..” goda Gigi.

Sudah lama dia ingin mengalahkan Uly dalam urusan mengumpulkan tugas.

Uly hanya menggeram seperti kucing lalu sibuk lagi menulisi folionya. Sementara Gigi dengan bangganya mengumpulkan tugas bersama teman-temannya yang lain.

Setelah ia kembali di tempat duduknya, ia mengambil ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan.
Ia tahu, orang yang mengerjakan tugas Gigi pastilah Nue, meskipun ia tidak tahu kenapa Nue pulang begitu saja tanpa pamit.

‘Kak, kakak yang ngerjain tugasku ya? Hehehe.. Thanks a lot ya kak..! Berkat kakak, aku ga jadi di makan dosen!’

Ia tersenyum sebentar saat membaca isi pesannya, lalu ia pun mengirim itu pada Nue.

Setelah agak lama ponsel Gigi bergetar. Setelah ia lihat, ia tersenyum. pesan balasan dari Nue.

‘Sorry baru bls, baru bgun tidr. Oke, don’t mention it.. Aku juga mau minta maaf semalem aku tahu-tahu pulg tanpa pamit. Oh iya aku lupa blg Gi, semalem aku iseng ganti namamu jadi ‘Tukang Molor’ n aku lupa balikin ke nama yang bener, hehe… edit dulu ya.. good luck!’

‘jeng-jeng-jeng-jengg…..’

Suara orkhestra itu terdengar lagi. Spontan saja wajah Gigi mendongak ke arah Pak Dosen yang tengah memeriksa tugas satu persatu, hingga ia sampai pada sebuah berkas, alisnya berkerut dan matanya memicing.

Wajah Gigi berubah putih seperti hantu. Ia sama sekali tidak memerhatikan identitas yang sebelumnya ia rasa sudah ditulis dengan benar, dan ia sama sekali tidak menyangka Nue bisa begitu iseng.

“Kak Nue… Tega..”

Sang Dosen mengacungkan berkas tugas itu sambil mengguncangnya dengan tatapan mata menyala.
“SIAPA INI YANG NAMANYA ‘TUKANG MOLOR’!!”
***

Malam harinya di kampus, tepatnya di gazebo, tampak Nue sedang duduk sendiri. Ia meletakkan ponselnya di atas meja gazebo. Cahaya dari LCD ponsel tampak berpendar temaram. Dengan cahaya yang temaram itu, tampak tulisan di sana.

‘honey.. mlem ini g usa jemput, aq sama temen ntar bljr klompok lagi. Baik2 ya honey.. mumumu… *kiss’

Mata Nue menatap kosong ponsel di depannya itu, hingga layar LCD-nya mati dan tulisan itu hilang dari pandangannya.
Untuk beberapa lama dia termenung. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Tangannya yang semula bergelantung malas kini mulai bergerak merogoh isi tas pinggangnya. Saat ia menarik tangannya, tampak sebuah wireless backphone berwara putih.

Dilihatnya dalam-dalam backphone itu, seolah tersimpan kenangan di dalamnya yang ingin ia lihat. Setelah itu ia pautkan backphone itu di telinganya dan mulai mengaktifkan bluetoothnya. Begitu backphone dan ponselnya terhubung, ia memilih lagu yang ia rindukan. Lagu yang sudah lama tidak ia dengarkan lagi.

Lagu itu mulai mengalun lirih. Lagu yang terdengar begitu dalam dan berat. Perlahan mata Nue terpejam. ia larut dalam emosi yang dibawa oleh lagu itu. Seakan ia mengalami apa yang terjadi dalam lagu itu. Perlahan pula, kepala Nue menunduk, dan ia membenamkan wajahnya, hingga..

“Aarrggh..!!!”

Nue spontan memegangi kepalanya yang saat ini tengah digerus dengan penuh emosi. backphone di telinganya sampai tergelincir lepas.

“Rasain,, ini akibatnya kalo suka ngisengin orang!” ujar Gigi gusar sambil menggerus kepala Nue dengan ujung siku jarinya seperti Misae yang sedang menghukum Shinchan.

Tampak Nue yang memejamkan matanya meringis kesakitan tapi sesekali juga tertawa. Ia raih tangan Gigi dan melepaskannya dari kepalanya.

“Haha.. kamu kenapa sih, GI? Dateng-dateng nganiaya orang?” tanya Nue dengan wajah tanpa dosa sambil memegangi bekas gerusan Gigi.

“Ya kakak tuh kebangetan! Kalo iseng kira-kira dong! Aku tadi di marahin Pak Robert sampe setengah jam cuma karena nama! Masa’ di sana namaku ‘Tukang Molor’??” protes Gigi sambil duduk di kursi depan Nue.

“Haha.. makanya dikoreksi dulu.. Tau-tau di print aja..” ujar Nue sambil meringis santai.

“Ya kan aku percaya sama kakak.. Eh taunya….. Kakak tau? Tadi aku sampek ditanyain Pak Robert macem-macem, yang tanya apa aku ngerjain sendiri lah.. Apa copas lah.. “

Gigi masih terus melanjutkan omelannya dengan menggebu-gebu. Sementara Nue hanya menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil tersenyum melihat sikap Gigi. Nue bahkan tidak mendengarkan omelan Gigi, entah kenapa ia hanya bisa menikmati bagaimana Gigi dengan menggebu-gebunya bercerita, sesekali ia juga terkekeh pelan saat Gigi menirukan cara bicara Pak Robert, dosen Sastra Inggris yang memang galak.

Sadar dia sedang diperhatikan oleh Nue, membuat Gigi beralih gugup. “Ke…kenapa? kok liatnya gitu?”

Nue nyengir kuda saat mendengar pertanyaan Gigi. Lalu ia menutup bibirnya, masih dengan senyum melengkung, ia menatap wajah Gigi. Spontan wajah Gigi memerah.

“ kamu lucu..”

Seketika pupil Gigi menyempit dan wajahnya makin memerah seperti tomat. Ia cepat-cepat palingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Nue. “Apaan? Emangnya aku dakochan?!” ujarnya sewot.

Nue terkekeh lalu ia berdiri dan mengacak-acak rambut Gigi dengan gemas. “Haha.. Oke dakochan, ayok latian!”

Gigi meronta saat tangan Nue mengacak-acak rambutnya, lalu ia pun bangkit dari kursinya. “Woahh!! Jangan diberantakin lah..!! Jangan panggil aku dakochan juga! Lagian aku lagi ga mood latian, aku mau pulang!”

Nue mengeryit heran lalu melepas tangannya dari kepala Gigi. “Loh, kok gitu? Terus ngapain kamu ke sini?”

“ya aku cuma mau bales kakak aja.. sekarang aku mau ngerjakan tugas yang lain, udah ya.. bye..”

Namun baru Gigi berjalan, tangan Nue sudah memegangi kepalanya lagi dan memutarnya ke belakang, tubuh Gigi pun otomatis berputar kembali ke arah Nue.

“Eits.. Enak aja.. Kita harus latihan malem ini. Minggu depan kamu sudah harus tampil di depan Mbak Nurul, biar kamu bisa tetep masuk dalam tim.”

Wajah Gigi tampak memelas. “Yah.. Aku kan sudah bisa kak..”

“Apanya?? Kamu masih harus banyak latian! Nadamu di ujung-ujung kalimat banyak yang false dan suaramu masi kasar. Ayo latian lagi!”

Kata-kata Nue langsung meluncur dan menusuk di dada Gigi. ‘Uugh.. Kakak jujur bener sih..’

Ia pun menurut, untuk sementara ia hanya bisa merelakan tugasnya untuk di nomor duakan.

“Ayok, pemanasan dulu..” perintah Nue. Ia sendiri duduk kembali di kursi gazebo sambil memakai lagi backphonenya.

“loh.. kok kakak duduk lagi?”

“iya lah, aku kan sudah pro.. udah kamu pemanasan sendiri..!” jawab Nue yang dengan santainya mengusap-usap layar ponselnya.

“lo… ga bisa gitu.. ma..masa’…” belum sempat Gigi menyelesaikan kata protesnya, Nue sudah memejamkan mata sambil menganggukanggukkan kepalanya seirama dengan ritme musik.

“ck.. seenaknya sendiri.. huf..!” ujar Gigi kesal sambil meniup
poninya.

Ia pun mulai melakukan pemanasan seorang diri, sementara Nue duduk dengan nyaman di kursinya, memperhatikan Gigi yang melakukan pemanasan dengan asal-asalan.

Nue memutar lagi lagu yang tadi ia dengar. Setelah beberapa lama, ia menghentikan lagu itu dan memilih memperhatikan Gigi. Entah kenapa dia sudah tidak lagi larut dalam lagu itu. Mungkin suasana hati Nue telah berubah. Ya.. entah kenapa suasana hati Nue cepat berubah, apa karena Gigi kah?

Nue tersenyum dalam diamnya. Sejenak dia juga heran, apakah Gigi memiliki semacam kekuatan untuk membuat orang disekitarnya merasa nyaman dan senang? Apakah orang lain juga merasakan yang Nue rasakan, atau hanya dia sendiri yang merasakannya?

Nue pun melepaskan backphonenya dan ia letakkan di meja. “udah cukup Gi.. coba nyanyiin hymne deh..! awas kalo salah..”

Gigi-pun menghentikan ‘humming’nya dan menoleh ke arah Nue. “masih belum panas nih..”

“o ya? mau aku bakar?” canda Nue.

Gigi memicingkan matanya sambil meniup poninya dengan kesal.“yah.. ya nggak segitunya kali kak..”

“Ting..” tanpa merespon protes Gigi, Nue sudah membunyikan nada dasar dengan aplikasi piano di ponselnya.

“Doo… nah segitu ya, nada dasarnya. ‘sol’nya raba sendiri..”

Alis Gigi mengeryit sedikit lalu tersenyum tengil. “Raba? Ah, nggak mau ah kalo ngeraba sendiri.. maunya dirabain..” ujarnya sambil menjulurkan lidah mungilnya.

Wajah Nue seketika berubah kecut, “Apaan sih kamu gi? Wah error nih otakmu..!”

Gigi hanya meng-hehehe saat melihat reaksi Nue. “Hehe.. muka kakak merah tuh!”

Nue sedikit terkejut, dengan gugup ia palingkan wajahnya. “Sapa bilang! Mukaku emang gini kalo hawanya dingin.”

Tawa Gigi makin menjadi dan sesekali ia mencari wajah Nue yang melihat fokus lain. “Ha? Mana ada kayak gitu.. Ayo lah, liat sini.. Kok malu si? Hehe..”

Nue jadi makin kesal melihat Gigi yang tidak berhenti nyengir-nyengir ngejek itu. Ia pun berdiri dari kursinya dan menghampiri Gigi dengan wajah mengancam. “Berhenti nggak? Ayo latian!”

Melihat wajah sangar Nue, Gigipun menghentikan tawa kecilnya dan menyisakan sedikit senyum di bibirnya“ Iya.. Sabar!”
***

Sudah sejam lebih mereka berlatih, itupun lebih dari separo waktunya habis untuk bercanda. Keduanya pun menjatuhkan tubuh mereka di kursi gazebo.

“Kak.. Bawa minum nggak? Minta dikit gih..” pinta Gigi sambil mengipasi wajahnya dengan kertas partitur.

Nue pun merogoh isi tas pinggangnya dan mengeluarkan sebotol air. “Modal dikit dong.. “

Gigi meraih botol minuman dari tangan Nue dengan merengut. “Ya aku tadi kan awalnya ga niat latian. Mau ijin bikin tugas doang..”

Nue tersenyum kecil. Saat Gigi menenggak air dalam botol itu, matanya melirik ke arah backphone yang tergeletak di meja gazebo.

“Hmm.. Ini pake bluetooth ya?”tanya Gigi sambil menutup
botol.

“Yup.”jawab Nue singkat dengan pandangan fokus ke layar ponselnya.

“Wuih.. Asik.. Aku pinjem ya.”

Nue hanya melirik Gigi yang mengambil backphone itu. Untuk beberapa saat ia merenung sambil menatap layar ponselnya. Tampak track list disana, dan Nue menggeser layarnya ke bawah hingga dia menemukan sebuah lagu.

Ia meletakkan ponselnya di meja dan ia merogoh lagi isi tasnya. Cukup lama tangannya mencari-cari sesuatu di dalam tas itu. Akhirnya jari Nue menyentuh benda yang ia cari. Dengan perlahan ia mengulur keluar sebuah kabel. Ternyata itu sebuah earphone berwarna putih, sama seperti wireless backphonenya.

Nue menoleh ke arah Gigi yang daritadi masih sibuk mencari cara mengaktifkan backphone itu. Tampak wajahnya yang bigung memutar-mutar backphone Nue yang memang asing buatnya. Akhirnya Nue menarik backphone itu dari tangan Gigi.

“loh?” ucap Gigi heran.

“bilang aja kalo ga bisa make’nya..” ucap Nue. Ia lalu meletakkan wireless backphone itu dan mengulurkan salah satu kepala earphone pada Gigi. “nih, pake ini aja.”

Mata Gigi melebar heran melihat Nue.” Eh?”

“Ayo.. Tempo lagu hymne-mu masih ga karu-karuan. Makanya ayo dengerin lagunya bareng-bareng” ujar Nue lagi sambil mendekatkan kepala earphone itu pada Gigi.

Akhirnya Gigipun meraih salah satu earphone itu dan menyematkannya di telinganya. Nue pun menyematkan kepala earphone yang satunya di telinganya lalu mulai memutar lagu hymne yang tadi ia pilih.

Gigi sedikit menundukkan wajahnya. Ia diam sekali. Jantungnya berdegap cukup kencang saat dia dan Nue saling berbagi earphone dan mendengarkan lagu yang sama. Perlahan, musik lagu sudah terdengar dan Gigi mengenal betul lagu itu. Lagu yang sebenarnya tidak ia suka (pake banget).

“Perhatiin tempo ama dinamikanya, Gi..” ujar Nue sambil menyandarkan kepalanya di sandaran kursi.

Sementara Gigi tersenyum tipis, ia pangkukan dagunya di punggung tangannya yang menyilang di atas meja. “Ya.. I’m tryin” gumamnya pelan.

Keduanya pun terdiam, membiarkan lagu itu membawa mereka ke dalam dunia pikirannya masing-masing. Sekilas Gigi melirik kearah Nue yang saat ini memejamkan matanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, mengikuti irama lagu yang mengalun khidmat. Gigi pun tersenyum dan memejamkan matanya.

Ingatan tentang tugas yang daritadi membebaninya sedikit demi sedikit ia singkirkan. Saat ini dia hanya ingin mengisi penuh seisi benaknya dengan memori momen itu. Bagaimana bahagia dan nyamannya ia saat duduk berdua dan saling berbagi earphone dengan orang yang ia suka, diirigi dengan lagu yang akhirnya terdengar begitu indah meskipun awalnya Gigi tidak suka dengan lagu hymne itu. Juga saat jantungnya tak kunjung memperlambat laju degupnya yang memburu. Semua itu, ingin Gigi simpan baik-baik dalam benaknya. Sehingga mugkin suatu saat Gigi bisa memimpikan momen itu ketika ia tertidur, dan menjadi mimpi terindah yang pernah ia mimpikan.
***

 

HYMN OF MY HEART 8B

Bar 8b.

Angin malam menerpa wajah da tubuh Gigi cukup keras, karena Nue melajukan motornya dengan kencang. Melihat sikap Nue seperti itu, Gigi mendengus pelan. Malam ini dia sangat kecewa sebenarnya. Ada dua hal yang paling membuatnya kecewa. Pertama, sudah barang tentu karena dia tidak bisa menikmati pizzanya sampai puas. Yang kedua, dia heran, kenapa Nue tidak melabrak Grace saja sekalian? Kenapa dia hanya diam dan justru meninggalkan tempat itu?

Gigi sama sekali tidak bisa memahami perasaan Nue. Seperti biasa, Nue memang orangyang sulit ia tebak.

Gigi menghela napas berat untuk kesekian kali. Hal itu terus ia lakukan untuk mendinginkan hatinya yang panas. Jujur saja, kalau bukan karena ada Nue, Gigi sudah pasti akan melabrak Grace tadi.

“greeenggg..!!”

Lagi-lagi Nue manambah kecepatannya, hingga membuat tubuh Gigi terhuyung ke belakang, langsung saja tangannya refleks berpegangan pada pinggang Nue.

“jangan keras-keras kak.. aku bisa jatuh ntar..!”

Mendengar keluhan Gigi itu, Nue pun mulai menenangkan lagi pikirannya dan memperlambat laju motornya. Masih tidak berkata apa-apa.

Ini pertama kalinya Gigi berpegangan pada pinggang Nue saat di bonceng. Dari dulu Gigi ingin sekali mengalungkan tangannya pada tubuh Nue dan berbagi kehangatan dengannya. Kini tangan Gigi sudah menggenggam erat jaket Nue pada bagian pinggangnya, tapi Gigi masih belum bisa untuk memperluas jangkauan pegangannya menjadi sebuah pelukan. Tidak, ia tidak bisa, mengingat suasana hati Nue saat ini, Gigi masih belum berani melakukannya. Bagaimana kalau Nue marah dan menurunkannya di jalan? Wah bisa mampus si Gigi jalan kaki ke kos-kosan yang masih jauh!

Beberapa menit berlalu tanpa kata-kata dan gurauan. Seolah keceriaan mereka saat di PH hanya mimpi belaka. Motor Nue kini sudah berhenti di depan gerbang kos-kosan Gigi.

“makasih ya kak..” ujar Gigi yang mengusahakan senyum termanisnya.

Nue tersenyum tipis. Anehnya dia masih diam di sana sampai Gigi membuka gerbang kos-kosannya.

“Gi..”

Mendengar namanya dipanggil, Gigi pun menoleh ke arah Nue.

“ada apa,kak?”

Nue tidak langsung menjawab, lalu dengan ragu ia mengutarakan maksudnya. “malam ini, aku bisa nginep di kosmu nggak?”

‘ha??’

Gigi melongo memandangi Nue untuk beberapa saat.

“hmm.. ya kalo ga, ya gapapa..” ujar Nue lagi,kali ini dia mulai men-starter motornya.

Gigi pun buru-buru memegang lengan Nue,”o.. boleh kak..!”
***

‘cklik’

Daun pintu kamar Gigi terbuka. Cahaya dari luar langsung menyinari ruang kamar Gigi yang gelap. Gigi melepas sepatunya dan menyalakan lampu, sehingga jelaslah seisi kamar Gigi.

“masuk kak..” ujar Gigi yang kini membereskan beberapa buku dan laptop di atas meja belajarnya. “hehe.. maaf berantakan.” Sambungnya.

Nue melepas sepatunya dan masuk ke dalam kamar Gigi. Sesekali ia melayangkan pandangannya ke sekeliling kamar Gigi. Mata Nue terhenti pada jendela yang saat ini dibuka oleh Gigi. Berhubung kamar Gigi berada paling ujung, dia punya dua jendela, satu jendela yang kecil di dekat pintu, sedangkan satu lagi yang ukurannya lebih besar di sisi kanan kamarnya.

Ia mendekati jendela yang besar itu lalu duduk di bingkainya. Jendela kamar Gigi yang lebih besar memang unik. Dapat dibuka dengan menggeser daun jendelanya ke kanan, sehingga orang bisa duduk di bingkainya dan melihat pemandangan kota Jember. Gigi sengaja memilih kamar di lantai dua yang memang saat ini kosong (hanya ada Gigi di lantai dua) supaya bisa terhindar dari kebisingan anak-anak kos lain. Dari sana dia juga bisa melihat kelap-kelip lampu kendaraan yang merayap di Jembatan Semanggi. Gigi sering duduk di sana untuk menikmati suasana malam yang nyaman saat ia sedang suntuk. Di samping kamar Gigi terdapat lahan lapang yang biasanya dipakai untuk menjemur pakaian, jadi jangan bayangkan Gigi duduk di bingkai jendela dengan kaki melambai-lambai di udara tanpa pijakan, bahaya tuh..

Yap, kembali ke Nue dan Gigi lagi. Gigi menggeser kursi dan duduk secara terbalik. Sandaran kursi yang harusnya untuk menopang punggung, kini ia peluk dan ia pangkukan dagunya di atas sandaran kursi. Matanya tertuju dengan sendu pada Nue yang duduk di bingkai jendela favoritnya sambil memandang jauh. Aneh kalau mengingat Nue melakukan hal yang sama seperti yang Gigi lakukan saat sedang suntuk. Sepertinya tempat itu memang pas untuk orang yang sedang galau.

Gigi sengaja tidak berbicara apapun. Selain karena dia tidak tahu apa yang harus ia bincangkan, juga karena dia mempertimbangkan suasana hati Nue yang mungkin sedang tidak ingin diganggu.

Setelah agak lama, akhirnya Nue bergeming. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Sepertinya dia menghubungi sebuah nomor. Untuk beberapa lama ia mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Lalu ia matikan dan ia hubungi lagi sampai 3 kali, dan akhirnya ia terhubung pada nomor yang ia tuju.

“halo.. honey?” gumamnya pelan.

Gigi memiringkan kepalanya ke arah Nue untuk dapat mendengar sedikit perbincangan mereka. Dari kata ‘honey’ sudah jelas kalau yang Nue telfon adalah Grace.

‘Apa sih honey..? Aku lagi latihan, ini!’ ujar suara dari speaker Nue. Dari nadanya terdengar dia sedikit kesal dan suara itu adalah milik seseorang yang Gigi kenal. Ya, Grace.

Nue sedikit terpukul dengan nada suara Grace yang sedikit melengking. Ia mencoba untuk menahan kegetirannya dan berbicara selembut biasanya.

“Maaf honey.. Aku ga tau kalau kamu ada latihan. Bukannya tadi siang sudah latihan?”

‘ya.. ya itu kan buat penutupan LPSAF.. ini sekarang latihan buat wisuda. eh, udah ya Nu.. aku harus latihan lagi. Bye, muaah..!’

Belum sempat Nue membalas, baru saja ia membuka bibirnya, sambungan sudah terputus. Hanya bunyi bip-bip-bip yang bisa ia dengar sekarang.

Ia pun memandang ponselnya sejenak lalu memasukkannya lagi ke dalam saku celana. Setelah itu ia kembali melamun.

Dengan kecewa, Gigi memangku lagi dagunya di sandaran kursi. Tadi ia sama sekali tidak bisa menangkap pembicaraan mereka. Tapi ia melihat kondisi Nue makin menyedihkan. Nue kini menyandarkan kepalanya pada bingkai jendela, seolah tidak punya tenaga lagi. Tidak tahan melihat kondisi Nue, Gigi pun mendekati Nue dan duduk di sampingnya.

“kak.. kakak kenapa sih?”

Nue melirik sekilas wajah Gigi, namun ia hanya diam dan melayangkan lagi pandangannya ke depan.

Gigi mendengus kesal ketika Nue mengacuhkannya. “kak.. susah tuh jangan dipendam sendiri.. mending kakak cerita. Yah.. mungkin aku bukan Mario Teguh yang bisa ngasi kakak solusi yang terbaik, tapi seenggaknya aku pendengar yang baik kok. Yah.. itung-itung bisa ngurangi beban kakak kan, kalo kakak cerita..”

Nue masih tidak bergeming. Beberapa menit berlalu dan dia masih tidak mau bicara apa-apa.

‘fuu..’ Gigi meniup poninya dengan sedikit kesal.

‘terus ngapain nginep di sini kalo ga mau ngomong apa-apa?’ gerutu Gigi dalam hati.

Karena tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan, Gigipun hanya bisa mengayun-ayunkan kakinya. Hingga iseng-iseng ia melantunkan sebuah lagu yang sebenarnya tidak ia suka.

‘semooga berserii.. almamater tercinta..’

Mata Nue sedikit bergerak ke arah Gigi, namun ia masih diam pada posisinya. Sedangkan Gigi masih meneruskan lagu yang sebenarnya adalah hymne universitas.

“mewangi sluruh nusantara..”

“nusantara-nya false.”

Gigi seketika menghentikan lidahnya untuk bernyanyi dan ia menoleh ke arah Nue. Nue masih menatap horison malam, tapi tadi jelas dia merespon nyanyian Gigi. Gigi tahu, Nue tidak akan tinggal diam jika mendengar nada false.

“hehe.. akhirnya ngomong juga..” celetuk Gigi dengan wajah tengil mencolek sedikit lengan Nue.

Nue hanya tersenyum tipis, tapi masih tidak mengubah fokus pandangnya. Gigi-pun menyanyikan hymne itu dari awal.

“semooga.. berseri.. kakak Nue tercinta..hehe..”

Sontak Nue melirik Gigi dengan alis berkerut. “gila kamu, Gi..”

Gigi menanggapi respon Nue dengan senyum nyengir. Dengan cuek ia melanjutkan lagi nyanyiannya dengan suara lebih lantang. “mewangi sluruh nusantara.. baktikan tugas..”

Suara Gigi terhenti. Seakan ada kerikil yang membuatnya tersedak.

‘tugas??’

“Haa..!! Tugas! Aku belum bikin tugas!” Gigi histeris sambil melompat dari jendela.

Nue menoleh ke arahnya dengan heran. Gigi duduk dengan keras di kursi dan membuka laptopnya dengan tergesa. Ia baru saja ingat kalau ada tugas yang harus ia selesaikan, dan tugas itu harus dikumpulkan besok. Pantas saja Gigi begitu histeris.

Melihat Gigi yang dengan tergopoh-gopoh mengetik di atas keyboard laptopnya, Nue berbalik lagi ke fokusnya semula dengan senyum melengkung.

Perlahan, hatinya yang semula bercampur aduk, antara marah, kecewa dan sedih, kini mulai terdinginkan. Yup, tingkah kekanak-kanakan Gigi memang selalu berhasil membuatnya tersenyum. entah kenapa ia sedikit menyesal telah mendiamkan Gigi, lebih parah lagi memaksanya pulang sebelum ia puas menghabiskan pizzanya.

“maaf Gi..”

Jari Gigi yang semula bergerak lincah, mendadak berhenti. Di layangkannya padangan matanya pada Nue. “maaf buat apa?”

“buat pizzanya..” ucap Nue pelan.

“yah.. buat apa pizza diminta maafin??” jawab Gigi setengah tertawa.

“maksudnya, maaf dah maksa kamu pulang, padahal pizzanya masih banyak ya?”

Gigi menunduk sambil tersenyum tipis, prihatin dengan sisa pizzanya. “hmm.. lumayan sih.. tapi ga papa kok!” ujarnya yang langsung memasang ceria.

“maaf ya gi.. aku janji kapan-kapan aku belikan lagi.”

“hyaa.. ga perlu kak! Beneran ga usah.. “ ujar Gigi.

Dengan panik ia melambai-lambaikan kedua tangannya di depan dadanya , ia sungkan dengan Nue. Bagaimanapun harga pizza bukan harga yang murah bagi mahasiswa yang hidup nge-kos.

Nue tidak menjawab dan kembali diam. Gigi menurunkan lagi kedua tangannya. Kesenyapan kembali berkuasa di kamar itu selama beberapa menit, hingga akhirnya Gigi tidak bisa menahan geli di dadanya.

“kak.. ada apa sebenarnya kak? Tadi itu kak Grace kan?”

Akhirnya Gigi menanyakannya. Pertanyaan itu terus menggelitiki dada Gigi dari tadi. Kini ia sudah merasa sedikit lega karena sudah melepaskan pertanyaan itu. Kini yang ada adalah jantung Gigi yang berdebar menunggu apa jawaban Nue.

Nue cukup lama diam hingga akhirnya bibirnya bergerak juga.
“iya gi.. tadi itu Grace.” Jawabnya pelan.

Gigi memiringkan tubuhnya menghadap Nue. Ia memangku dagunya pada sandaran kursi lagi. Matanya menatap Nue penuh antusias, meski Nue tidak membalas tatapannya kecuali masih termenung menatap pemandangan malam di depannya.

“cowok yang bersamanya adalah Aldo. Dia seniorku, 2 tahun diatasku, PSM juga. Sudah lama dia dekat dengan Grace, bahkan setelah aku pacaran dengan Grace, tapi.. dia, Grace, justru lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Meskipun mereka bilang cuma sebagai teman, tapi tetap saja…” Nue menghentikan kata-katanya dan membuang muka.

“setelah ia pergi, aku pikir aku bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Grace. Berlatih bersama.. menyanyi bersama.. makan malam bersama.. semula hubungan kami makin dekat, tapi lama-lama aku merasa dia mulai menjauh lagi dariku.” Nue mengepalkan tangannya dan sesekali memukul pahanya sendiri karena emosinya.

“aku sudah lama bersabar.. aku mencoba untuk percaya bahwa hubungan mereka cuma teman biasa. Tapi, kenapa? kenapa ada saja yang mengganggu pikiranku saat mereka bersama. Kamu tahu? Bahkan tadi siang aku bertemu dengan mereka di CR..!”

Gigi termenung di sandaran kursinya. Matanya berkedip-kedip pelan karena menahan kantuk, tapi ia coba untuk tetap sadar dan mendengarkan curahan hati Nue. Jujur, Ia agak terkejut melihat Nue mau mengungkapkan semua isi hatinya. Ia juga kini tahu apa yang selama ini Nue pendam. Perasaan cemburunya pada Aldo ternyata sudah tumbuh sejak dulu, dan kini mulai bermekaran lagi. Tapi masih ada yang mengganjal di hatinya. Kenapa Nue diam saja? Gigi memandangi Nue yang masih menggerutu dan sesekali memukul bingkai jendela.

“…dan, tadi.. kamu liat sendiri kan? Dia bersama Aldo lagi! Ckk.. “ kini Nue membuang mukanya dengan raut emosi.

Gigi pun mulai menanyakan hal mengganjal di hatinya. “lalu, kenapa kakak diem aja? Kenapa kakak nggak ngelabrak dia?”

Mata Nue melebar. Lalu ia menunduk, seolah ada beban berat menimpa kepalanya.

“aku.. aku takut, Gi..” ujarnya lirih.

Mata Gigi yang semula meredup kini memicing dan alis berkerut. “takut? Takut kenapa?”

Nue tidak langsung menjawab pertanyaan Gigi. Ia menarik napas pelan lalu menghembuskannya keras-keras, seolah membuang semua penat dan emosinya.

“aku takut kehilangan Grace, Gi..”

‘deg..’

Kata-kata Nue seperti belati es yang menusuk jantung Gigi. Perlahan alis mata Gigi menurun dan matanya yang redup bersinar getir.

“aku takut menerima kenyataan kalau dia…” Nue tidak melanjutkan kata-katanya, mungkin enggan.

Mengungkapkannya seperti mencabut duri yang tertancap sangat dalam di jantungnya.

Akhirnya Nue memilih diam, sedangkan Gigi makin tenggelam di sandaran kursinya. Tanpa Nue sadari, mata Gigi meleleh tanpa suara. Membasahi sandaran kursi yang memangku wajahnya. Nue masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan pemandangan malam di depannya.

Suara detak jam mengisi keheningan di antara keduanya. Sudah cukup lama Nue termenung, hingga akhirnya ia mendongakkan wajahnya.

“gi.. menurutmu.. apakah Grace mencintaiku?” tanyanya dengan nada berat.

Cukup lama Nue menunggu jawaban Gigi, namun tidak ada suara. Nue pun menoleh ke arah Gigi.

“Gi?” panggilnya.

Tampak wajah Gigi terbenam dalam pelukan tangannya yang menyilang di sandaran kursi. Nue pun beranjak dari tempat bertenggernya. Dengan hati-hati ia menyibak poni Gigi dan melihat mata Gigi sudah terpejam.

Nue pun menoleh ke arah jam dinding, sudah pukul 23.45.
Bagi Nue, itu mungkin ‘masih’ pukul setengah dua belas, namun tampaknya itu sudah terlalu larut untuk Gigi yang tidak terbiasa begadang. Nue pun mengalihkan pandangannya ke arah laptop yang sudah gelap layarnya. Nue mengelus touchpadnya dan seketika layar laptop menyala lagi, ternyata hanya berada dalam sleep mode. Nue melihat hasil pekerjaan Gigi yang masih berisi tulisan identitas dan perintah tugas saja. Kemudian ia melihat Gigi lagi yang tertidur pulas, bahkan dalam posisi seperti itu.

Nue pun berinisiatif menepuk pelan pipi Gigi untuk membangunkannya, tapi tampaknya kantuk Gigi sudah terlalu kuat merekatkan kelopak matanya.

“Gi.. bangun Gi.. pindah di kasur sana..” ujar Nue di dekat wajah Gigi. Sesekali ia menepuk pipi Gigi dan menggoyang-goyangkan bahunya.

Beberapa kali mencoba, Gigi hanya mendongakkan wajahnya sebentar dengan mata masih terpejam, lalu ia kembali merebahkan wajahnya.

Melihat Gigi yang sama sekali sulit dibangunkan, Nue pun menghela napas dalam dan tersenyum tipis. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Gigi dan membisikkan sesuatu di telinganya.

“Dasar tukang molor..”

HYMN OF MY HEART 8A

separo dulu guys.

Bar 8a. Again.

Nue melajukan motornya dengan kencang di tengah derasnya hujan. Dengan keras ia mengerem motornya begitu tiba di kos-kosan.

Begitu ia masuk ke dalam kamar, ia lepas bajunya yang sama sekali basah oleh air hujan. Ia lempar baju itu begitu saja di lantai, sementara ia menjatuhkan dirinya dengan lesu di lantai dekat jendela.

Gemuruh jatuhnya air hujan terdengar begitu khidmatnya. Dari cahaya temaram yang menerawang dari tirai jendela, tampak siluet tubuh Nue yang menggigil. Tangannya mendekap lututnya dan ia benamkan sedikit wajahnya di antara lututnya. Tetes air jatuh dari ujung rambutnya yang hitam kelam. Matanya yang dalam menerawang kosong dan dipenuhi dengan bayangan Grace dan Aldo.

Entah kenapa hatinya terasa begitu sesak saat Grace bersama dengan Aldo. Kenapa harus dia? Kenapa Grace tidak bilang padanya jika ada acara reuni bersama Aldo? Kenapa ia harus duduk di boncengan Aldo, bukan teman yang lain? Dan yang terakhir, darimana ia mendapatkan BB itu? Nue tahu betul kebiasaan Grace. Grace bukan orang yang tahan menyimpan uang. Minggu lalu saja Nue menemaninya saat membeli sebuah tas bermerek, dan harganya sagat tidak memungkinkan bagi Grace untuk memiliki cukup uang untuk membeli BB saat ini. Apakah mungkin Aldo yang memberikan BB itu padanya?

Mata Nue terpejam sesaat. Begitu ia buka matanya, dengan tangan gemetar ia merogoh saku celananya yang basah. Dikeluarkannya ponselnya yang selamat dari kejamnya terjangan air hujan. Ditekannya beberapa nomor di keypadnya dan menempelkan ponsel itu di daun telinganya. Untuk beberapa saat Nue diam menunggu panggilannya terhubung, hingga akhirnya ia mendengar suara ‘halo’ dari seberang ponselnya.

“halo mas, maaf, aku ga jadi pesen BB-nya..”
***

Gigi menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dengan malas. Ia sudah beberapa menit menunggu Nue, dan Nue tidak datang-datang juga. Padahal ia sudah buru-buru datang karena takut membuat Nue menunggu. Ia sampai lupa membawa laptopnya, padahal ada tugas yang harus ia selesaikan malam ini. Gigi pun mendengus dan meniup poninya yang terangkat pelan.

Matanya melirik ke arah jalan sesaat ketika mendengar bunyi mesin sepeda motor yang familiar di telinganya. Benar saja, itu Nue. Tapi penampilan Nue saat ini tampak berbeda. Biasanya ia tidak pernah menggunakan helm saat mengendarai motor, tapi saat ini dia menggunakan helm berwarna putih, membuat Gigi sedikit pangling padanya.

“lama banget sih kak?” tanya Gigi dengan nada bosan.

Nue hanye tersenyum lalu menyodorkan helm lain ke arah Gigi.

“nih pake!”

Gigi mengeryit heran.

“udah.. kita ga usah latihan malem ini. Ayok ikut aku!” ujar Nue lagi.

“kemana?” tanya Gigi heran sambil berdiri dari kursi gazebo.

“katanya mau pizza.. nih pake helmnya! Di sana banyak polisi soalnya!” ujar Nue lagi sambil menggoncangkan pelan helm di tangannya supaya Gigi cepat-cepat meraihnya.

Wajah Gigi tampak makin bingung, tapi ia tetap mengambil helm itu dan duduk di boncengan Nue.

“aku tadi ga serius lo ngomongnya kak.. gapapa nih?” tanya Gigi ragu.

Nue hanya membalas pertanyaan Gigi itu dengan senyum kecil, lalu ia mengegas motornya.

PH tampak ramai, padahal malam itu bukan weekend. Nue dan Gigi duduk di sebuah meja ukuran kecil karena memang mereka cuma berdua. Berdua?? Yup, Gigi tengah dag-dig-dug saat ini, karena ini adalah pengalaman pertamanya makan berdua dengan Nue. Meskipun sebelumnya Gigi pernah berada dalam kondisi yang lebih ekstrem (tidur sekamar dengan Nue) tapi tetap saja, makan malam berdua dengan Nue memberikan kesan yang lebih bagi Gigi. Kesannya kan kayak lagi nge-date gitu.. hehe.

“kamu aja Gi yang pilih menunya..” tawar Nue sambil melihat-lihat buku menu bagian minuman.

Mata Gigi terbelalak dari balik buku menu. Matanya yang bulat tampak seperti dua matahari mungil yang terbit dari tepi atas buku. “loh, kok aku? yang punya duit kan situ?”

“tapi yang pengen kan kamu.. aku kan udah janji mau nraktir kamu, pacar kedua..” kata Nue santai masih dengan mata menelusuri menu minuman.

Sontak mata Gigi melotot. Langsung disembunyikannya wajahnya yang merona di balik buku menu. Ia pun menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada pengunjung lain yang mendengar kata-kata Nue tadi. Setelah itu barulah ia menyembulkan wajahnya dari balik buku.

“sekali lagi kakak bilang gitu, aku bogem beneran muka kakak!” bisiknya dengan nada emosi tertahan.

Sementara Nue tersenyum geli sambil mengusap-usap hidung mancungnya dengan punggung jari telunjuknya.

Gigi pun mendengus lalu kembali melihat isi buku menu. Matanya tampak bergerak ke kanan dan ke kiri menelusuri gambar yang menurutnya paling menggiurkan. Ia juga melihat menu-menu baru yang di sediakan PH.

Saat tengah berpikir, diam-diam mata Gigi mengintip Nue dari tepi atas buku menunya. Dilihatnya Nue yang tengah melihat-lihat isi buku menu. Meski daritadi Nue bertahan dengan senyum tipis di bibirnya, wajahnya jelas terlihat tidak begitu senang dan agak pucat. Dalam hati, Gigi mulai resah.

‘ada apa dengan kak Nue? Kok tahu-tahu ngajak aku ke PH? Padahal tadi dia bilang bakal ngajak aku kalau dia sudah dapet gaji kedua. Apa terjadi sesuatu diantara Kak Nue dengan Grace? Tapi dari raut wajah kak Nue, seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak sedih juga tidak terlalu senang. Dia bahkan tidak menceritakan lagi mengenai kejutannya pada Grace..’

“permisi.. apakah sudah menentukan pilihan?”

Lamunan Gigi langsung saja buyar berantakan. Ia pun menoleh ke arah waitress yang tersenyum padanya.

“oo.. iya.. ehm.. Chicarbonara aja deh, pinngirannya crown crust. terus minumnya..” Gigi menoleh ke arah Nue untuk menanyakan minuman yang ia pesan.

“chocolate milkshake aja.” Gumam Nue sambil menutup buku menunya.

“oke, sama chocolate milkshake-nya dua.” Ujar Gigi yang juga menutup buku menunya.

Setelah waitress pergi, Gigi dan Nue pun kembali dalam keheningan. Nue tampak sibuk dengan ponselnya, sedangkan Gigi hanya memangku pipinya sambil melamun menatap Nue.

“kak, ngapain sih? Serius amat?” tanya Gigi yang tidak tahan dikacangin.

Akhirnya mata Nue bisa lepas dari layar ponselnya dan memandang Gigi sambil nyengir.

“maen, angry bird, hehe..”

“hadeh..” dengus Gigi. “kiraian sibuk apa’an.. eh ternyata kakak nih tampangnya doang macho, maennya angry bird.”

“sialan kamu Gi.. ya gimana lagi, cuma ini game di hapeku. Ini aja Grace yang download-in.”

Tiba-tiba air muka Nue berubah saat menyebut nama Grace, Gigi menangkap perubahan itu dengan jelas, meskipun dengan cepat Nue menyembunyikan kegetiran itu dengan memainkan lagi ponsel androidnya.

“kak..” panggil Gigi.

“hmm?” jawab Nue seadanya dengan jemari dan matanya yang sibuk pada layar ponsel.

“gimana kabarnya ‘kejutan buat Kak Grace’?”

Jari Nue berhenti sejenak, Gigi melihat itu. Lalu seolah itu adalah pertanyaan biasa, ia kembali memainkan ponnselnya.

“dia sudah punya.” Jawab Nue singkat, terlihat juga segurat senyum tipis yang dipaksakan dari bibirnya.

Gigi sedikit terkejut mendengar jawaban Nue, “hah? Udah beli sendiri?”

Nue mengangguk. Gigi kembali terdiam. Kini dia paham kenapa tiba-tiba Nue mengajaknya kemari.

“terus kakak ga jadi beli BB dong?”

“nggak lah.. buat apa? Masih bagus juga android-ku..”jawab Nue bangga sambil mengangkat sedikit ponsel androidnya.

Gigi tersenyum kecil. Ternyata benar yang ia duga sebelumnya. Telah terjadi sesuatu di antara Nue dan Grace.

Tak terasa waktu berjalan, pesanan mereka sudah datang. Mata Gigi tampak berbinar saat melihat senampan pizza hangat tergolek di depannya.

Tanpa sungkan lagi, Gigi mencomot satu potong pizza itu, ‘’Aku makan ya kak..!” ujar Gigi yang tanpa menunggu jawaban Nue sudah menggigit ujung pizzanya. Sudah lama dia tidak makan pizza lagi setelah ia jadi mahasiswa dan hidup nge-kos.

Nue mengangguk sambil nyegir, ia pun memasukkan ponselnya dan mengambil bagiannya. “jangan lupa napas Gi, makannya..”

“Santai.. aku sih bernapas lewat kulit juga bisa.” Jawab Gigi dengan mulut setengah penuh.

Nue yang baru saja mengGigit pizzanya seketika tersenyum menahan geli. “haha.. emang dasarnya kamu kodok, GI..!”

Gigi diam dan tersenyum sambil mengunyah makanannya. Ia nikmati benar momen itu, saat bisa melihat Nue tertawa lepas. Meski masih tampak kesan wajahnya yang letih dan menyimpan getir.

“masih mending aku kodok.. timbang kakak tuh.. makan kayak ulet..!”

“ulet? Gatel dong?!”

“iya lah, haha..”

Keduanya pun tertawa dan terus mengejek satu sama lain. Berisiknya mereka membuat beberapa mata pengunjung mengarah pada mereka. Bahkan ada beberapa pengunjung di dekat meja mereka yang pindah ke meja lain. Wew.. parah.. tapi hebatnya, mereka berdua tidak peduli. Nue hanya ingin melepas kesedihannya dengan tertawa selepas-lepasnya, sedangkan Gigi ingin membuat Nue terus tersenyum dengan memeberikan gurauan-gurauan segar.

Kebisingan mereka terus berlanjut ketika pintu masuk dibuka dan dua orang muda-mudi masuk. Mata Nue tidak sengaja menangkap sosok dua orang yang baru datang itu. Dan perlahan, senyum Nue memudar.

Gigi masih terus cekikikan, sampai ia menyadari jika ia sendiri yang tertawa. ia pun tertegun saat melihat wajah Nue berubah muram. Mata Nue tampak memandang suatu fokus di belakang Gigi dengan getir. Senyum Gigi-pun berganti menjadi heran. Ia menoleh ke arah yang mata Nue tuju. Mata Gigi memicing-micing beberapa saat untuk mencari apa yang membuat Nue risau, dan akhirnya ia menemukannya.

Kemarahan yang sempat mereda kini mulai menjalar lagi di dada Gigi. Seperti api yang semula bersembunyi di balik abu, kini berkobar lagi saat tersentuh tetes minyak.

‘Grace..!’ gumam Gigi dalam hati dengan gigi bergemertak.\

Tampak di kejauhan, Grace dengan wajah cerah duduk di sebuah meja yang sangat jauh dari tempat Gigi dan Nue duduk saat ini. Namun masih tampak jelas ciri yang menonjol dari seorang Grace meski sosoknya terlihat begitu kecil dari tempat Gigi duduk. Dan Grace di sana tidak sendiri, melainkan bersama seorang cowok. Cowok yang Gigi yakini sebagai cowok yang dicium Grace saat itu.

Tampaknya Grace tidak menyadari kehadiran Gigi dan Nue di sana. Ia asyik bercengkrama dengan cowok itu sambil melihat-lihat isi buku menu. Gigi pun menoleh ke arah Nue. Nue masih memandangi Grace di kejauhan. Matanya tampak sendu sekali. Untuk sesaat hati Gigi sangat berdebar. Ia penasaran dengan apa yang akan Nue lakukan. Apakah Nue akan melabraknya? Atau..

Nue akhirnya membuang pandangannya ke arah lain. Diletakkannya dengan lemah potongan pizza di tangannya. Saat ini dia menoleh ke arah samping sedikit ke bawah, seolah ingin menghidari tatapan mata Gigi. Gigi hanya diam melihatnya. Ia tidak mau berkometar apa-apa selain menunggu reaksi Nue.

akhirnya Nue menarik napas dalam lalu dengan mengejutkan ia berdiri. “Gi, ayo kita pulang.” Ujarnya dengan nada datar.

Gigi spontan bingung dengan sikap Nue. “ha? Kok pulang.. te..terus pizzanya gimana dong? Masih banyak ini..” ucap Gigi setengah gelagapan. Dia juga sedikit tidak rela karena belum puas menghabiskan pizzanya.

Namun, Nue masih diam saja dan memalingkan wajahnya. Gigi pun menghela napas dan berdiri dari kursinya. “oke.. ayok pulang..”

Mendengar jawaban Gigi, Nue segera berjalan menuju kasir, sedangkan Gigi –dengan wajah sedikit kecewa- mengikuti Nue dari belakang.

“loh.. sudah selesai?” tanya waitress yang tadi mencatat pesanan mereka.

Nue hanya memasang wajah dingin dan mengeluarkan dompetnya di meja kasir. “berapa?”

Gigi hanya bisa menatap sendu sikap Nue itu. Dilihatnya juga wajah waitress yang berubah kecut ketika diacuhkan oleh Nue dan kini pergi untuk melayani pelanggan.

Begitu Nue menerima kembalian, langsung saja ia meninggalkan tempat itu, sementara Gigi dengan kewalahan mengikuti langkah kaki Nue yang panjang. Namun, saat Gigi baru saja di ambang pintu, Gigi berbalik sejenak. Ia melihat ke arah Grace yang masih tidak menyadari kehadiran mereka, sedang asiknya bergurau dengan cowok itu.

Tangan Gigi gemetar. Emosinya sudah hampir tidak tertahan lagi. “ga punya malu kamu Grace..” bisik Gigi.

“ngapain kamu Gi? Ayo pulang!” dari kejauhan Nue memanggil Gigi. Ternyata Nue sudah menghidupkan motornya. Gigi-pun segera berbalik dan berlari menuju motor Nue.

Saat Gigi berbalik, mata Grace tanpa sengaja terarah padanya. Alisnya mengerut sedikit.
“itu.. Anggian?”
***

HYMN OF MY HEART 7

***
Bar 7, Aldo.

Bunyi bel berdering lantang. Mata gigi yang sudah sayu melirik ke arah dosen yang segera menutup dan memasukkan laptopnya ke dalam tas.

“ok, sekian dulu kuliah kita pagi ini. See you next week.”

Para mahasiswa menjawab “see you”serentak sambil membereskan barang-barang bawaan mereka. Sementara gigi masih melamun di mejanya.

“hei, kuliah kelar woy.. bangun!” ujar seorang gadis berkerudung yang duduk di sebelah Gigi.

Gigi hanya meliriknya dengan malas lalu kembali melayangkan pandangannya ke jendela. Melihat sikap gigi yang tidak biasa, gadis itu mengeryitkan alis heran lalu melambai-lambaikan tangannya di depan mata Gigi.

“woi.. sadar..”

Akhirnya ia sukses juga mendapat perhatian Gigi. “apaan sih Ul?” tanya gigi kesal.

“habisnya ntar kalo ga digituin kamu bisa bengong sampe sore, lo!”

Gigi hanya mendengus kesal lalu memasukkan buku binder ke dalam tasnya. Ia akui hari ini tidak bisa fokus pada materi kuliah. Pikirannya cuma dipenuhi oleh perbuatan Grace yang tak henti-hentinya membuat Gigi panas. Mungkin rasa marahnya tidak akan terlampiaskan sebelum ia mengadukan hal itu pada Nue.

“oke lah, aku duluan ya gi..” ucap gadis itu, tapi tangan Gigi buru-buru menangkapnya.

“uly, bentar deh..” cegah Gigi.

Gadis bernama uly itu pun kembali duduk di samping Gigi.

“apa’an?”

“hmm.. aku tanya bentar boleh?” tanya gigi ragu-ragu.

“haaa.. kamu mau nembak aku? duh maaf gi.. tapi kamu bukan tipeku, jadi..”seru uly sambil menutupi mulutnya.

“hei koplak! Bukan!” ujar Gigi geregetan.

“ya terus apa’an? Capcus.. aku belum nyuci ini!”

“iya sebentar.. sabar donk..”

“oke oke.. ayo, mau tanya apa?”

“hmm.. gini Ul.. seandainya kamu naksir orang.. tapi orang tu suka ma orang lain. Anggap aja orang yang kamu suka itu X dan yang disukain X itu Y. Kamu akhirnya merelakan si X pacaran sama si Y. Nah suatu hari, kamu liat si Y itu ciuman sama orang lain, anggap aja Z. Nah, sebagai orang yang cinta mati sama X, apa yang kamu lakuin? Apa kamu mau ngaduin itu ke X?”

Mendengar kasus gigi, uly mendongakkan wajahnya sejenak untuk berpikir. sementara Gigi menanti dengan sabar. sebenarnya ia bingung, kenapa ia menanyakan hal itu pada Uly yang lebih suka bercanda daripada serius.

“hmm… ini aku jawab apa adanya ya, ga secara idealis ya.. kalo aku sih udah pasti laporin itu ke X.. sekarang siapa coba yang rela, kita dah ngikhlasin orang yang kita cinta, si X, untuk pacaran sama si Y, tapi si Y malah ciuman sama Z. Hati siapa juga yang ga marah?”

Gigi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia 100% setuju dengan pendapat uly itu, karena itu juga yang ia pikirkan.

“tapi..”

“eh? Tapi apa?”

“coba kita pikir-pikir lagi. Kita ngaduin itu sebenarnya buat apa? Buat kebaikan dia? Atau untuk kepentingan kita aja? Apa kita yakin hal itu baik untuk si X? Atau justru hal itu cuma kita jadikan alat untuk merebut si x? Coba kita pikir lagi, apa yang si X rasakan kalau tahu hal itu. Kalau si X bener-bener suka sama si Y, dia pasti akan sedih banget. Nah, kita suka liat si X sedih? Kalo kita memang cinta sama si X, harusnya kita juga sakit kalo liat dia sedih.”

‘jleb..’

Gigi termenung mendengar jawaban uly. Dia tidak meyangka kalau kata-kata uly ada benarnya juga.

‘benar juga.. bagaimana Kak Nue nanti kalau tahu keyataannya? ‘

“emang napa sih GI, kok tumben nanya-nanya begituan. Hayoo… lagi naksir ya..??” selidik Uly dengan tampang usil.

“ha? Ng.. nggak kok! Udah, udah, mending kamu pulang sana, nyuci baju!” Gigi pun menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir kucing.

“huuu… dah dibantu, ngusir-ngusir..!” ujar Uly sewot.

Gigi hanya nyengir sambil memijat-mijat lengan uly. “hehe.. iya thank you uly yang cantiiikkk…”

Uly hanya mendengus kecut. “hmm.. dasar..! ga usah pasang tampang play boy.. dah aku pulang dulu, bye..”

“hah? Tampang play boy? Maksudnya??” baru saja gigi akan menangkap uly, uly sudah kabur duluan, meniggalkan gigi sendiri di sana, duduk dengan kesal.

‘tampang play boy apaan? Wajah polos gini kok..’ puji gigi pada dirinya sediri.

“drrtt..drrt..drrrt…” Tiba-tiba ponsel gigi bergetar, tanda ada pesan masuk.

Gigi segera mengambil ponselnya yang bergetar, ternyata sms dari Nue.

‘Gi, aku dah kelar kuliah nih. Sekarang lagi di gazebo. Katanya mau ngomongin sesuatu?’

Gigi langsung memasukkan lagi ponselnya setelah ia membaca sms Nue. Pandangannya menatap kosong papan tulis yang masih berisi coretan-coretan dosen, tapi coretan itu seakan berubah menjadi bayangan uly dan kata-katanya.
Sejenak gigi berpikir, apakah tindakannya ini benar? Sebenarnya untuk kebaikan siapa? Untuk kebaikan Nue, atau untuk kebaikan Gigi sendiri?

Gigi pun berdiri dan meninggalkan ruang itu. Ia berharap dapat menemukan jawabannya seiring langkahnya yang menuju tempat Nue berada saat ini.

 

Nue sendiri tampak asik memandangi layar ponselnya ketika Gigi sudah sampai di sana. Wajah muram Gigi sudah menunjukkan kalau dia masih bisa menemukan jawaban atas kebingungannya.

‘beritahu apa nggak?’

Nue sedikit heran ketika melihat ekspresi muram Gigi. “kenapa gi? Kok mukamu burem gitu, kayak kertas karbon.” Tanya Nue setengah bercanda.

Gigi tidak meladeni gurauan Nue dan duduk di depannya. Sekilas, matanya melihat layar ponsel Nue.

“itu..” gumam Gigi dengan mata tertuju pada layar ponsel Nue.

Nue mengikuti arah pandangan Gigi lalu tersenyum.

“ooh.. ini? Hehe.. iya aku belum bilang ya? ini lo, gambar BB yang mau kukasih ke Grace. Aku baru bayaran nih Gi, jadi tinggal pesen aja.. hehe.. “

‘deg..’

Jantung gigi,lagi-lagi, terasa berat. Berat sekali. Dengan melihat wajah Nue yang ceria seperti itu, apa Gigi tega memberi tahu kecurangan Grace?

“tapi aku masih bingung nih, bagus yang ini apa yang ini ya? gimana menurutmu Gi” tanya Nue sambil menyodorkan ponselnya pada Gigi, matanya terus melihat poselnya, sehingga ia tidak melihat wajah Gigi yang benar-benar beku sekarang.

Agak lama Gigi diam, Nue pun menoleh ke arahnya dan barulah ia melihat ekspresi Gigi. “lo, gi.. kamu kenapa?”

Gigi menggerakkan matanya. Ia arahkan tepat pada bola mata Nue. Nue sebenarnya heran dengan sikap Gigi, tapi dia hanya diam. sampai akhirnya Gigi mengalihkan pandangannya ke arah ponsel Nue dan menunjuk dengan jarinya.

“yang ini aja kak.. yang ini sudah agak lama, desainnya juga kurang enak diliat. Mending yang ini aja.” Terang Gigi.

Nue masih menatap gigi dengan tatapan bingung. Sikap Gigi terlihat begitu aneh baginya. “Gi, kamu kenapa?”

“ha? Aku nggak apa-apa kok.” Ujar Gigi yang sekarang enggan menatap wajah Nue.

“Masa’ sih? Tadi kamu mau bilang sesuatu kan sama aku? bilang aja..”

Gigi menggeleng pelan sambil tersenyum. “nggak kok, bukan apa-apa sih sebenarnya.”

Wajah Nue tampak tidak puas dengan jawaban gigi. “hmm.. jangan-jangan..” ucap Nue sambil memicingkan matanya pada gigi.

Sementara Gigi menjadi risih karena dilihat seperti itu. “jangan-jangan apaan? Pasti aneh-aneh deh!”

Nue masih memicingka matanya sambil melengkungkan senyum misterius, dan dengan setengah berbisik ia berkata, “jangan-jangan kamu mau nembak aku ya?”

‘daasshh..!’

Gigi spontan menjitak kepala Nue cukup keras. Wajahnya merah padam.

“apaan coba?! Emang aku maho??!” ujar gigi kesal.

Sudah dua orang yang berkata seperti itu padanya hari ini. Tadi masih mending Uly, sohibnya sendiri, nah ini Nue..!! orang yang memang ia taksir. Otomatis kata-kata Nue itu begitu mengena di hatinya.

Selama Nue megusap-usap kepalanya yang terasa panas, Gigi mencoba untuk menormalkan kembali rona wajahnya.

“aww… sakit Gi..!” keluh Nue yang masih meringis kesakitan. Tampaknya jitakan gigi memang keras. “emang mau ngomong apa sih, bikin penasaran aja!”

Gigi terdiam dan menghembuskan nafas kesal. “sebenernya aku mau ngajakin ke PH..! tapi ga jadi dah..”

‘pintar kamu Gi..’ sindir gigi pada dirinya sendiri. Hanya alasan itu yang muncul di kepalanya. Setidaknya ia bisa menjawab rasa penasaran Nue.

“PH? Wah ayok! Kok ga jadi?” ujar Nue dengan semangat.

“soalnya… ya soalnya aku ga ada duit!” jawab gigi sebisanya.

Mata Nue kembali memicing. “kalo ga ada duit, kenapa ajak-ajak? “

‘aduh.. kak Nue tanya muluu… jawab gimana nih..?’ batin gigi.

Matanya bergerak-gerak bingung. Tapi tiba-tiba sebuah lampu 8 watt menyala di atas kepalanya.

“ehm.. ya maksudnya kakak yang bayarin. Ternyata kakak mau beli BB, ya udah deh,ga jadi. Sungkan jadinya mau minta traktir.”

Mendengar alasan gigi, Nue tertawa kecil. “jiah haha.. pantes perasaanku ga enak, ternyata mau dipalak! Haha…”

Gigi hanya tersenyum. ia tersenyum lega karena Nue mempercayai alasan yang ia buat. Meskipun sebenarnya hatinya masih gelisah.

“hehe.. tenang, ntar aku traktir dah, tapi tunggu gajian keduaku ya. Saat ini buat pacar pertama dulu. Kamu -pacar kedua- antre dulu.. hehe” Sambung Nue dengan wajah tengil.

“hah? Pacar kedua apaan??! Ogah! Najis!” Gigi segera menyembunyikan wajahnya yang memerah lagi, sementara Nue tertawa terpingkal-pingkal.

Yup, Nue berhasil membuat Gigi menjadi orang paling munafik hari ini. Membuat Gigi berbohong pada dirinya sendiri. Bagaimanapun Gigi sangat menyayangi Nue. Bahkan cukup menyenangkan bagi Gigi walau hanya menjadi pacar kedua…. meski itu cuma mimpi.

‘kriiiing,,,’

Bel berbunyi lagi dengan berisik. Gigipun bergegas berdiri dan membenarkan posisi tasnya. “kak, aku ada kuliah lagi nih. Udah ya..”

Nue yang baru saja berhenti tertawa menatap Gigi dengan heran, meski masih tersisi segurat senyum di bibirnya. “buru-buru amat Gi? Paling juga dosennya belum dateng. Udah duduk di sini aja dulu..”

Gigi meggeleng dan ia melambaikan tangannya pada Nue sambil berjalan meninggalkannya. “gak ah.. dosennya galak! See you kak..”

Tanpa perlu melihat respon Nue, Gigi segera berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat. Dari kejauhan ia bisa mendengar suara ‘see you’ dari Nue.

Saat Gigi sudah sampai di ambang pintu kelasnya, ia menoleh ke arah gazebo. Ia masih bisa melihat Nue dengan jelas darisana. Nue tampak berdiri dari kursi dan berjalan menuju tempat parkir sambil memutar-mutar kunci kontaknya. Ia mungkin akan memesan kejutan untuk Grace itu.

Gigi menggigit pelan bibir bawahnya. Jujur, saat ini hati Gigi benar-benar tidak rela. Entah ia harus menyesal atau justru lega karena tidak memberitahukan sikap Grace yang sebenarnya.

Sikap Grace memang membuat Gigi benar-benar kesal, tapi jika ia melihat ekspresi Nue, entah kenapa perasaan itu mereda. Ia merasa kasihan pada Nue, Ia sudah berbuat banyak untuk Grace, tapi Grace seakan tidak tahu berterima kasih. Gigi bahkan ragu apakah Grace masih punya hati! (sekarang malah perasaan marah itu kembali menyeruak)

“mas, nunggu siapa?”

‘deg..!’

Gigi refleks berbalik ke arah suara yang mengagetkannya itu. Ternyata itu dosennya!

“o..oo.. bukan siapa-siapa.. hehe..” jawab Gigi dengan nyengir kuda.

Melihat raut wajah dosennya yang makin tidak bersahabat, Gigi pun segera mencari tempat duduk.

“pagi-pagi dah disapa pak Gatot.” Celetuk Dody, teman Gigi yang kebetulan saat ini duduk di sebelahnya.

“diem! Aku ga mau disapa lagi gara-gara kita rame sendiri.” Ujar Gigi sedikit ketus, sementara Dody kembali pada posisi duduknya semula sambil tertawa kecil.

Kuliah pun dimulai. Gigi menghirup napas dalam dan memperhatikan Pak Gatot yang mulai berbicara. Jujur, saat ini Gigi tidak bisa mendengar kata-kata dosennya itu. Bukan karena Gigi tuli, tapi karena pikirannya kini masih terpaut pada Nue.

Gigi pun memejamkan matanya, mencoba untuk melepas sejenak bayangan Nue dan Grace dari pikirannya. Untuk saat ini Gigi ingin merelakan kecurangan Grace demi Nue. Ditambah lagi, Gigi masih belum punya bukti konkrit yang bisa menguatkan tuduhannya pada Grace. Gigi tidak ingin perasaan Nue hancur atau justru berpaling menjauhi gigi karena hal itu.

‘ya, untuk saat ini lebih baik aku diam dan aku saja yang sakit, tapi ingat Grace.. lebih baik kamu pintar-pintar menyembunyikan belangmu itu! Jangan sampai kak Nue bersedih karena tahu sifat aslimu itu.’
***

Sepeda motor Nue melaju dengan kecepatan sedang menembus padatnya jalan kota Jember. Perasaan Nue sangat baik hari ini. Ia sudah tidak sabar untuk memberikan kejutan untuk kekasihnya, Grace. Saat ini ia hanya perlu pergi ke ATM terdekat untuk mengirim uangnya.

Saat bibirnya sedang asik bersiul, untuk beberapa saat ia teringat pada gigi. Ekspresi dan sikap Gigi tadi cukup mengganggu pikirannya.

‘Gigi tadi kenapa ya? aneh banget. Sebenernya apa yang ingin ia omongkan ke aku?’

Nue tahu, kalau alasan Gigi tentang pizza itu hanya pengalihan belaka, tapi Nue masih penasaran untuk mengalihkan apa.

Bilik ATM sudah terlihat, Nue pun menghapus pikiran itu sejenak dan kembali pada kejutannya.

‘kapan-kapan aja kamu tanyain lagi. Sekarang ada gadis yang harus kamu bahagiakan Nu..’ batin Nue.

Nue pun menghetikan motornya di depan pintu mesin ATM. Kebetulan saat itu masih ada orang di dalamnya. Nue pun menunggu di depan pintu sambil iseng-iseng ia melayangkan pandangannya ke arah Campus Resto yang letaknya berada tak jauh dari bilik-bilik ATM.

Campus Resto tampak riuh. Wajar saja, karena memang tempat itu adalah tempat tongkrongan favorit remaja Jember. Tiba-tiba saja dari keramaian itu, ada sesuatu yang membuat mata Nue memicing.

Seorang gadis keluar dari pintu CR ditemani dengan seorang cowok di sampingnya.

‘i..itu.. Grace?’ batin Nue setengah tidak percaya.

Kakinya seolah terpaku dan dia tidak mampu bergerak selain berdiri mematung di sana sambil memandangi Grace yang kini duduk di boncengan motor cowok itu. Ternyata mata Grace juga menangkap wajah Nue, ia pun menepuk bahu cowok di depannya dan membisikkan sesuatu. Cowok itu menoleh lalu mengarahkan matanya pada Nue. Ia lalu membelokkan laju motor gedenya ke arah Nue.

“hai honey..” sapa Grace yang baru saja turun dari motor. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah apapun pada Nue.

Sementara Nue hanya tersenyum tipis, itu pun sudah ia paksakan sekuatnya. Ia menoleh ke arah cowok yang juga turun dari motornya dan melepas helm teropongnya. Itu wajah yang juga Nue kenal.

“hey.. Nu.. Nunu ngapain di sini?”tanya Grace lagi .

Nue kembali menatap Grace dan menjawab pertanyaannya dengan nada agak berat. “ini.. mau ngambil uang.”

Grace meng’ooh’ pelan dan saat ia membuka mulutnya untuk bertanya lagi, suara Nue menndahuluinya.

“kamu sendiri.. ngapain di sini?”

Mendengar pertanyaan Nue yang terkesan dingin, Grace tersenyum polos lalu menarik tangan cowok di belakangnya. Tangan Nue sedikit gemetar saat ia melihat Grace memegang tangan cowok itu. Sampai akhirnya Grace melepas tangan cowok itu dan berganti memegang kedua tangan Nue.

“ini lo honey.. Kak Aldo baru dateng dari Jakarta. Jadi ceritanya kita nih, sama anak-anak PSM Pusat juga, habis reuni sambil makan-makan gitu deh.. tadinya aku juga mau ngajak Nunu.. tapi aku inget kalo Nunu ada kuliah, jadi ya ga jadi deh… Nunu nggak papa kan?” tanya Grace dengan polosnya, tangannya menggenggam kedua tangan Nue.

Nue hanya mengangguk pelan. Cowok yang bernama Aldo pun mendekati Nue dan menepuk pundak Nue.

“hoi.. lama ga ketemu, gimana kabarmu Nu? Kamu kok tambah kurus sih?” tanyanya dengan suara yang hangat.

Nue paksakan lagi senyumnya pada Aldo. Bagaimanapun Aldo adalah seniornya. Dia dulu adalah mahasiswa Sastra juga, 2 tahun di atas Nue, dan dia juga anggota UKM PSM Sastra dan Pusat. Dia dulu juga yang menggembleng Nue selain Grace. Hubungan Aldo dengan anggota psm memang sangat dekat, salah satunya pada Grace. Nue memang sedikit tidak suka pada Aldo sejak lama karena kedekatannya dengan Grace. Ia pikir begitu ia lulus dan pergi ke Jakarta untuk bekerja, semuanya akan menjadi baik-baik saja, ternyata sekarang.. dia kembali, dan membonceng Grace di depan matanya.

“baik mas, mas sendiri gimana? Ada angin apa nih, balik ke Jember?” tanya Nue, masih dengan senyum yang dipaksa.

“baik. Ga ada angin apa-apa sih.. hahaha.. kebetulan aja lagi ga ada job di sana, berhubung aku juga kangen ma anak-anak PSM ya aku balik aja..” jawab Aldo yang dengan santainya mengacak-acak rambut Grace. Langsung saja pupil Nue menyempit melihat pemandangan itu.

“mas, dia sudah punya pacar lo.”

Wajah Aldo dan Grace segera berubah sedikit pucat saat mendengar kata-kata Nue. Wajah Nue memang tersenyum, tapi tekanan pada suaranya sangat jelas terasa. Aldo pun segera melepaskan tangannya dari kepala Grace dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

“uups.. yeah.. my bad.” Ujarnya pelan.

Grace menatap Nue dengan wajah canggung, ia pun menggoyang-goyangkan tangan Nue dan tersenyum manis pada Nue.
“ehm… kita mau latihan di pusat. Nunu ikut yuk..”

Nue terdiam. Dari wajahnya tampak dia sedang berpikir. Aldo pun ikut membujuknya.

“ikut aja Nu.. kita kan udah lama ga latian bareng.” Ajaknya.

Nue pun mengangkat wajahnya dan memandang kedua wajah di depannya bergantian. “aku ga ikut. aku anterin Grace aja..”

“loh, kenapa? ayo dong honey.. kamu kan udah lama ga latian di pusat..” tanya Grace setengah merengek.

Nue tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. “nggak honey.. aku ada kerjaan. Udah yuk, aku anter sekarang.. ayok mas.”

Ujarnya pada Grace, ia juga mengangguk pada Aldo.

Grace pun menurut dan mengikuti langkah Nue menuju motornya. “Nu.. katanya mau ambil uang?” tanya Grace yang tengah mengikuti langkah Nue.

“nanti aja..” jawab Nue singkat.

 

Di perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Dalam diam itu, Nue melirik Grace dari kaca spion. Dilihatnya Grace sedang asik memainkan ponselnya.

Tunggu.. mata Nue memicing saat melihat benda yang dipegang Grace saat ini. Benda itu tidak tampak seperti ponsel yang biasa Grace gunakan.

“honey.. sejak kapan kamu punya BB?”

Grace yang semula hanya mengarahkan pandangannya ke arah layar BB, seketika mendongak menatap belakang kepala Nue.

“oh.. ini.. aku habis gajian nih honey.. udah lama aku nabung buat beli ini..”jawab Grace agak lantang utuk melawan arus angin yang cukup kencang.

Nue hanya diam mendengar jawaban Grace. Dilihatnya lagi sosok Grace di spion. Perhatian Grace kini kembali pada layar BB-nya. Nue pun menghela napas dalam.

Beberapa menit kemudian, motor Nue sudah membawa mereka sampai di gedung S, tempat latihan PSM Pusat. Saat motor Nue berhenti dan Grace turun dari boncengannya, Aldo datang dari arah belakang dan masuk ke dalam tempat parkir. Aldo juga membunyikan klakson sesaat ketika berpapasan dengan Nue dan Grace.

Setelah Nue membalas membunyikan klakson sebagai tanda membalas sapaan, ia kembali menatap Grace.

“kamu beneran ga mau ikut?” tanya Grace. Matanya yang bulat hitam tampak memelas pada Nue.

Nue tersenyum sekilas lalu menghidupkan lagi motornya.

“nggak honey.. lain kali aja. Udah ya, kamu hati-hati di sana..”

Saat Nue hendak melajukan motornya, Grace menahan lengannya. Dan saat Nue menoleh, sebuah kecupan hangat mendarat di pipinya.

Beberapa detik kemudian Grace melepas kecupannya sambil tersenyum. lalu ia melambaikan tangan ke arah Nue dan setengah berlari meninggalkannya.

“hehe.. da-dah.. honey…”

Sementara sosok Grace makin jauh dan meghilang, Nue termenung dengan tatapan kosong. Ia buang pandangannya dan ia lajukan motornya kembali ke jalanan kota Jember yang ramai. Bersikap seolah tidak ada hal spesial yang terjadi, dan rintik hujan mulai berjatuhan dari langit yang mendung. Sekelabu rongga dada Nue saat ini.
***

HYMN OF MY HEART 6

 

Bar 6, the Fact is ‘F*ck’!

“ya udah kak, aku mau pulang dulu ya..” ujar Gigi yang kini sudah bangkit dari kursinya.

Nue yang baru menelan obatnya langsung mengeryit heran.

“lho, pulang? Udah malem ini. Ga nginep aja?

‘hah nginep? Bareng kak Nue? Dalam satu kamar??’ Gigi menjerit dalam hati meski ekspresinya hanya tersenyum canggung.

“ehmm.. nggak kak.. sungkan sama kakak dan pak kos. Lagian kosnya Gigi juga ga begitu jauh.” Tolak Gigi hati-hati. Ia sudah bisa membayangkan dirinya tidak bisa tidur jika berdua dengan Nue dalam kamar itu.

“oh.. oke kalau gitu aku antar ya.” Nue kini mengambil kunci motornya yang Gigi letakkan di meja.

Gigi segera saja menggelengkan kepala dan melambaikan tangannya, “nggak usah kak..! aku bisa jalan kok, kakak istirahat aja!”

Nue menoleh pada Gigi, melihat ekspresinya apakah ia yakin dengan yang ia katakan. “yakin, nih?”

Gigi mengangguk, ia lalu membuka pintu dan menatap keluar.

‘jedyarrr….’

Gigi melongo tak bergeming, sementara Nue yang di belakangnya hanya garuk-garuk kepala sambil tertawa.

“wahaha.. sudah digembok pagarnya.. sorry Gi, di sini ada jam malam, aku lupa bilang..”

Gigi masih termenung dan sebelah matanya bergerak-gerak.

‘apa-apaan nih??!! Sejak kapan tu gerbang digembok?’

“udah Gi, mending nginep aja.. besok subuh aja pulangnya.“ tawar Nue.

Gigi perlahan berbalik dan menatap Nue, Nue hanya mengangkat bahunya seakan berkata,’sorry, but there’s nothing i can do’

“beneran gapapa nih, kak?” tanya Gigi ragu.

Nue mengangguk, “iya gapapa.. besok aku bilang ke pak kos. Udah, santai aja..’

Dengan santainya Nue berkata seperti itu, sedangkan Gigi deg-degan tak karuan. Bagaimana Gigi tak grogi, saat ia melihat ranjangnya,tidak begitu besar, juga tidak terlalu kecil. Dengan kata lain, ranjang itu sangat pas untuk dua orang. Itu artinya, Gigi dan Nue…

“sreett…”

“eh?” wajah Gigi berubah menjadi pokerface saat Nue menggelar karpet ukuran sedang di samping ranjangnya. Ia juga mengambil salah satu bantal di ranjang dan meletakkannya di atas karpet itu.

“nah, kamu tidur di kasur aja.” Ujarnya sambil membersihkan karpetnya dengan penebah.

“lo..lho… kok gitu? Mending aku aja yang di bawah.. kakak di atas.. ee.. maksudku aku tidur di bawah sini terus kakak di atasnya.. lho? Duh.. “ Gigi mengacak-acak rambutnya. Gara-gara grogi, ia jadi tidak bisa mengerti apa yang akan ia ucapkan.

Nue tertawa kecil melihat tingkah Gigi itu. “haha… ngomong apa sih? Udah kamu di kasur aja, gapapa.. anggap aja kasur sendiri.” Ujarnya yang sudah merebahkan dirinya di karpet itu.

Gigi masih memasang wajah sungkannya, “hmm.. tapi..”

“zzz..” desis Nue. Gigi tahu Nue hanya pura-pura mengorok untuk mengakhiri perdebatan.

Gigi pun menghela napas panjang lalu meletakkan tasnya di atas meja. setelah itu ia merebahkan tubuhnya yang kecil itu di kasur Nue.

‘empuk..’ batin Gigi.

Beberapa menit berlalu. Gigi masih berkedip-kedip menatap langit-langit. Suasana di sana hening sekali. Cuma ada suara detak jam dinding dan serangga di luar.

Benar dugaan Gigi sebelumnya, ia tidak mungkin bisa tidur jika sekamar dengan Nue, memang tidak seranjang sih, tapi gregetnya masih ada.

Gigi menoleh ke arah jam dinding, sudah pukul 01.17. Gigi pun mengalihkan lagi pandangannya ke arah langit-langit.

‘kak Nue sudah tidur belum ya..?’

Penasaran, akhirnya perlahan ia berbalik dan mengintip Nue yang ada di samping bawah kasurnya. Tampak Nue sudah memejamkan matanya, lelap sekali. Gigi bisa memakluminya. Setelah mengalami kejang, badannya pasti kelelahan. Wajar jika ia tidur begitu lelap.

Gigi tersenyum saat melihat ekspresi Nue saat tidur. Bahkan ia terlihat sangat manis ketika tidur. Dan dia ternyata tidak mengorok, jadi terbukti dengkuran Nue yang tadi hanya gurauan saja. Kalau melihat Nue seperti ini, Gigi sama sekali tidak menyangka kalau dia penyandang penyakit epilepsi. Meskipun sebenarnya kenyataan itu sama sekali tidak meggoyahkan perasaan Gigi pada Nue. Bahkan etah kenapa Gigi justru merasa makin sayang padanya.

lama Gigi memandangi wajah Nue, hingga akhirnya ia melepas senyum di wajahnya. Dan dalam hati ia bergumam.

‘andai saja.. kakak ga punya pacar. Andai saja aku cewek.. pasti aku ga akan ragu buat nyatain perasaanku ke kakak. Tapi..” perlahan Gigi menutup matanya.

‘andai saja..’
***

“kriiiingg…!!”

Tangan Nue seperti ular yang buta segera meraba-raba ponselnya. Begitu dapat, langsung saja ia matikan alarm yang berisik itu. Dengan agak malas Nue bangun dan mengucek matanya. Matanya segera terbuka ketika menoleh ke arah samping, Gigi masih terlelap dengan wajah menghadap ke arahnya.

Nue terdiam beberapa lama dan memandang wajah Gigi. Wajahnya tampak begitu polos dan manis. Senyum tipis melengkung di bibir Nue. Perlahan tangannya bergerak mendekati wajah Gigi. Semakin dekat tangan itu ke pipi Gigi, hingga…

“gi, bangun..” ujar Nue sambil menepuk-nepuk pelan pipi Gigi.

Gigi pun membuka matanya yang rasanya masih rapat. dengan satu helaan nafas panjang ia bangun dan mencari ponselnya.

“ehm.. jam berapa ini kak?”

“jam 4.20, sekarang kamu sholat dulu sana. Aku mau ke pak kos, minta dibukakan pintu gerbangnya.” Nue berdiri dan menggulung lagi karpet yang tadi ia pakai.

Sementara Gigi mengangguk, masih dengan mata ¾ terpejam. Rasanya masih belum puas ia tidur, mengingat semalam ia tidak bisa tidur. Gigi pun memaksakan untuk bangun. Dengan langkah gontai ia menuju kran air yang terletak di persis di depan kamar Nue.

“syuurr… kricik kricik..syurrr…. “

‘brrr…dinginn..’ batin Gigi saat tangannya pertama kali tersentuh air.

Gigi sudah selesai wudlu, ia kembali ke kamar Nue dan memakai sarung yang Nue sudah sediakan, sementara Nue kini keluar untuk mengambil wudlu.

Lima menit kemudian Gigi sudah menyelesaikan sholatnya. Saat ia sedang merapikan sarung dan sajadah, dilihatnya Nue baru kembali.

“sebentar ya Gi, orangnya baru bangun tidur. Sebentar lagi dibuka kok gemboknya.” Terangnya.

“oh.. oke.” Jawab Gigi singkat.

Nue kini mengambil sarung dan memakainya, lalu tiba-tiba ia berbalik pada Gigi. “oh ya, jangan pulang dulu sebelum aku selesai sholat, oke??”

“iyaaa…”

Sepertinya Nue tidak perlu bilang begitu, karena kini Gigi justru berbaring lagi di kasur.

“woi keboo..! kok tidur lagi??” sentak Nue sambil menepuk kaki Gigi.

Gigi tidak menghiraukan dan membalikkan tubuhnya sambil memeluk guling. “ehmm… ngantuk nih, tidurku nanggung!”

Melihat tingkah Gigi itu, Nue hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum, lalu ia pun memulai sholatnya.

Beberapa lama kemudian, Gigi mengubah posisi tidurnya. Meski tidur yang kedua, tidurnya nyenyak sekali. Agak lama, akhirnya ia mulai terbangun, dan matanya langsung terbelalak ketika melihat pemandangan di depannya.

Tampak Nue yang masih bertelanjang dada sedang memakai celana panjangnya.

‘gleg’ Gigi menelan ludah.

Meskipun Nue menghadap arah yang berlawanan, tapi Gigi masih bisa melihat lekuk tubuh Nue, tidak begitu besar berotot tapi juga tidak terlalu kerempeng. Entah kenapa Gigi menyesal tidak terbangun dari awal, sehingga ia bisa melihat Nue yang belum memakai boxer, hehe… plak!! #kaplok.

Begitu Nue memakai kemejanya dan mulai berbalik, Gigi buru-buru menutup lagi matanya. Bertingkah seperti masih tidur.
Selama itu, Gigi tidak mendengar banyak suara lagi.

Dalam kegelapan itu, diam-diam Gigi penasaran dengan kondisi disekitarnya, terutama kondisi Nue saat ini.

‘kok sepi sih? Kak Nue lagi ngapain? Apa ganti baju lagi? Hehe..’

Karena semakin penasaran dan juga karena matanya sudah tidak bisa terpejam lagi, perlahan ia pun membuka matanya.

Lagi-lagi mata Gigi terbelalak, ketika di hadapannya Nue sedang memangku dagunya di tepi kasur, memandangi Gigi. Jarak hidungnya dengan hidung Gigi hanya terpaut beberapa inchi saja, otomatis wajah Gigi memerah.

Gigi langsung saja bangun dari bantalnya, “bwahhh..!! kak Nue ngapain?”

Nue terkekeh pelan, “hehe.. nunggu kamu bangun lah.. sudah jam berapa ini?”

“hah? Emang aku tidur berapa lama?” Gigi segera saja menengok jam dinding. “hah?? Jam setengah tujuh lebih! Kakak kok ga bangunin aku sih?”

“habisnya nyenyak banget, ga tega jadinya. He he he..” ujar Nue dengan nyengir kuda.

Gigi melongo sambil menggerak-gerakkan kelopak bawah mata kirinya, lalu dengan sebuah hentakan ia bangun dari kasur itu dan buru-buru keluar dari kamar Nue.

“lho, Gi.. mau kemana?” tanya Nue heran.

“mau ke Ancol! Ya pulang lah.. aku ada kuliah jam 7 ini..!” seru Gigi yang sedang memakai sandalnya. Karena terburu-buru jadi salah masuk terus kakinya.

“oh.. hehehe.. ya dah aku anterin, biar cepet.” Ujar Nue, ia langsung mengambil kunci motornya.

“eh? Gapapa nih?” tanya Gigi ragu, tapi juga pengen.

Nue berjalan melewatinya dan menghidupkan mesin motornya, memanaskannya. “iyalah gapapa.. kamu dah banyak bantu aku semalem juga..”

Gigi pun mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak mengharapkan balasan dari Nue untuk apa yang ia lakukan semalam. “ooh.. oke.”

Jadilah Gigi di bonceng Nue menuju kos-kosannya. Angin pagi yang dingin membuat mata Gigi kering. Di tengah hembusan angin yang mendera itu, lagi-lagi tangan Gigi gatal. Gatal untuk memeluk tubuh Nue. Tapi saat tangan Gigi sudah nyaris tidak terkontrol lagi, suara Nue memanggil namanya, membuat tangannya kembali diam.

“Gi..! katanya kamu orang Jember, kok ngekos?” tanyanya agak lantang.

“iya, rumahku jauh dari kampus.. ga ada kendaraan juga, ya udah ngekos aja, praktis.” Jawab Gigi.

Nue meng “ooh” singkat, lalu tidak ada lagi perbincangan diantara mereka hingga motor Nue berhenti di depan gerbang kos-kosan Gigi.

“oke, makasih kak..” ujar Gigi yang tengah menyentuh gagang gerbang.

“oke, sama-sama.” Nue sudah hendak mengegas motornya,tapi suara Gigi mencegahnya.

“kak..!” panggil Gigi, wajahnya tampak serius memandang Nue.

Nue megeryitkan alisnya melihat ekspresi Gigi. “hm? Ada apa?”

“ja.. jangan lupa minum obat..”

Nue termenung setelah Gigi mengatakan hal itu, setelah itu ia tersenyum dan mengegas motornya. “iya.. makasih “ ujarnya, lalu ia pun melajukan motornya.

Sementara Gigi masih berdiri di sana, memandang sosok Nue yang kian menjauh dan akhirnya menghilang.
***

“bruk bruk brukk..!!”

Deru langkah kaki Gigi yang menuruni tangga menggema di kos-kosannya. Tampak ia tergesa-gesa.

‘yah, apes..! udah jam tujuh lewat baru berangkat..!’ gerutu Gigi.

Tempat kos Gigi memang tidak begitu jauh dengan kampus, tapi juga butuh waktu cukup lama untuk bisa sampai ke kampus, apalagi hanya dengan berjalan kaki.

Akhirnya Gigi harus berjalan cepat dan melalui jalan-jalan tikus supaya bisa cepat sampai. Megingat wajah angker dosennya saja sudah membuatnya merasa berada di uji nyali.

Setelah terseok-seok melewati jalan sempit dan bersemak, akhirnya ia bisa sampai di jalan yang agak luas. Tinggal beberapa meter menuju jalan raya, dan beberapa ratus meter lagi menuju kampusnya. Hyuuh… -_-

Baru saja ia menyusuri jalan itu beberapa langkah, ia berhenti dan cepat-cepat ia bersembunyi di balik pohon di dekatnya. Sementara sebelah matanya mengintip dari balik batang pohon.

Beberapa meter di depannya tampak sepeda motor besar berhenti di depan sebuah rumah. Motor itu dikemudikan seorang cowok yang tidak begitu jelas terlihat wajahnya. Cowok itu membonceng seorang cewek yang familiar di mata Gigi.

‘Kak Grace?? Ngapain Kak Grace pagi-pagi… dibonceng sama cowok lain lagi??’

Cewek itu memang Grace, tidak salah lagi. Gigi terus mengawasinya dengan dada berdebar-debar.
Tampak Grace turun dari motor itu, lalu dengan mesranya ia mencium…

‘hah? Ciumm??’

Mata Gigi benar-benar terbelalak saat Grace dengan santainya mencium bibir cowok itu, di tempat umum!

Gigi buru-buru berbalik dan bersandar pada batang pohon. Pupilnya masih menyempit da dadanya berdebar-debar. Berdebar kencang karena terkejut, juga marah.

‘kak Grace?? Bisa-bisanya..’

Gigi pun berbalik dan mengintip lagi. Kini Grace tersenyum dan melambaikan tangannya pada cowok itu yang segera berlalu, lalu ia pun memasuki rumahyang tampaknya kos-kosannya.

Begitu Grace menghilang, Gigi berjalan mendekati kos-kosan itu. Matanya dengan tajam menatap kos-kosan itu, seolah yang ia pandangi saat ini adalah Grace. Dadanya sudah dipenuhi oleh api kemarahan yang siap meledak keluar.

‘kak Grace, bisa-bisanya kamu… Kamu ternyata sama sekali ga pantes buat kak Nue! Nggak, aku ga rela!’

Gigi pun meninggalkan tempat itu. Tekadnya sudah bulat. Dia tidak bisa membiarkan hal itu. Ia tidak rela melihat Nue yang begitu mencintai Grace, tapi nyatanya Grace bermain di belakangnya. Gigi sama sekali tidak ingin mengalah pada orang seperti itu. Tidak!
***

Gigi menjatuhkan tubuhnya dengan penuh kelegaan di kasurnya. Seharian ia kuliah di kampus. Jadwal kuliahnya memang marathon dari jam 7 pagi hingga menjelang maghrib.

Untuk sejenak ia menikmati relaksasi pada punggungnya sambil berkedip-kedip menatap langit. Pemandangan tadi pagi masih terpatri jelas di benaknya, seolah baru saja terjadi.

‘ Grace keterlaluan! Kak Nue harus tahu hal ini. Dia harus tahu kalau orang yang dia cintai itu sama sekali ga pantes buat dia!’

Dengan tekad yang mantap itu, dan dengan sebuah hembusan napas dalam ia bangkit lalu segera ke kamar mandi.

‘ya, aku harus cepet ngasi tahu kak Nue..’gumamnya dalam hati

Usai mandi dan sholat, ia pun segera berangkat menuju kos-kosan Nue. Letak kos-kosan Nue agak jauh, sehingga akan butuh waktu lama bagi Gigi untuk bisa sampai ke sana. Namun itu bukan masalah bagi Gigi yang sudah terlanjur terbakar emosi.

Gigi akhirnya sampai di depan gerbang kos-kosan Nue. Ia membungkuk berpangku pada lututnya sambil menghela nafas. Karena berjalan dengan tergesa dan emosi membuatnya cepat lelah. Setelah ia meghapus sedikit peluh di dahinya, ia pu melangkah masuk ke dalam kos-kosan itu.
Begitu sampai di depan kamar Nue, ia mengetuk pelan pintunya.\

“dok dok dok… assalamualaikum…”

Hening, tidak ada jawaban.

“dok dok dok… kak Nuee….”

Masih tidak terdengar jawaban.

Akhirnya Gigi pun mencoba mengitip di celah tirai yang sedikit terbuka. Kamarnya gelap.

‘apa kak Nue tidur?’ tanya Gigi dalam hati.

Ia pun menghela napas panjang sambil berbalik. Ia termenung sesaat. Ia tidak melihat sepeda motor Nue. Ya, dia baru sadar kalau sepeda motor dan sepatu Nue tidak ada!

Lutut Gigi serasa lemas. Jauh-jauh ia berjalan kaki untuk bisa sampai ke sini, dan ternyata orang yang ia cari tidak ada di sana.

‘kak Nue ke mana sih??’ bisik Gigi.

“cari siapa dek?”

Gigi menoleh pada suara yag megagetkannya itu, ternyata seorang cowok yang sedang memanaskan mesin motornya.

“emm.. cari kak Nue..”

Cowok itu mgeryitkan alisnya,”Nue? Wah, dia lagi keluar dek. Kerja katanya..”

‘kerja? Kemarin baru kambuh sekarang kerja lagi??’

“hmm.. ya udah deh. Makasih ya kak.” Ujar Gigi sambil melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

“oke..” jawab cowok itu singkat.

Sementara Gigi melangkah dengan kecewa.

‘padahal ini urgent, tapi kak Nue malah ga ada. Ya sudahlah.. besok. Besok harus..!’

Sementara itu, di tempat lain, Nue tengah sibuk dengan komputer di bilik operator. Matanya tampak serius memandangi layar komputer. Apa sih yang Nue lihat? Bokep kah? Hehe..

Pastinya bukan bokep. Saat ini dia sedang menuggu seseorang di Fb. Matanya berubah cerah ketika sebuah pesan chat mucul di fb-nya. Segera saja dia buka chat itu.

‘barangnya sudah ada nih. Fotonya ntar aku tag ke kamu.’

Nue pun menunggu sebentar hingga muncul sebuah notifikasi.

Begitu ia buka, ternyata benar, itu foto yang daritadi ia tunggu-tunggu.

Seketika senyum Nue mengembang. Ia pun membalas chat orang tadi. “sip.. besok deh aku transfer ya. kita deal, kan, harga segitu?”

Agak lama, barulah orang itu membalas chatnya. ‘yo’i. Santai mah, kalo sm aku.. btw buat siapa sih? Tumben kamu suka barang beginian.’

Nue tersenyum melihat kalimat itu, dengan lincah jarinya membalas pertanyaan itu. ‘ada sudah.. hehehe. Oke thx ya mas.’

‘oke’ balas orang itu tak lama kemudian.

Setelah itu Nue menyandarkan punggungnya di kursi operator yang empuk. Kepalanya ia sandarkan pada kedua tangannya yang menyilang, sementara wajahnya menerawang ke jendela. Tersenyum, membayangkan bagaimana ekspresi Grace saat ia menerima kejutannya itu.

Malam itu, Nue datang di warnet tempat ia bekerja sebenarnya bukan karena sift kerja, tapi karena ia menerima gaji pertamanya. Kebetulan omenk juga izin tidak kerja karena ada urusan (meskipun Nue ragu apa benar itu urusan yang mendesak.) akhirnya Nue pun menjaga warnet malam ini. Itu bukan masalah bagi Nue, toh dia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.

Setelah beberapa bulan bekerja, gaji yang ia kumpulkan ditambah dengan uang beasiswanya yang baru saja cair, sudah cukup untuk membeli apa yang Grace inginkan.

Nue sengaja memesan pada kenalannya di batam yang bekerja di bea cukai, supaya bisa mendapatkan barang dengan harga yang lebih miring. Hehe.. BM sih.. tapi setidaknya itu seri terbaru , dan setidaknya Grace tidak akan tahu. 😛

‘sabar ya Honey… sebentar lagi, akhirnya aku bisa bikin kamu senang.. ‘ bisiknya dalam hati. Membiarkan angannya membumbung tinggi. Seolah tidak pernah takut, untuk jatuh ke bawah, ke dalam sebuah kenyataan yang saat ini Gigi pendam.
***

HYMN OF MY HEART 5A

 

Bar 5a , Sick and Hurt.

Dalam sebuah warnet, seorang laki-laki keluar dari bilik nomor 19 lalu berjalan menuju operator.

“sudah mas, berapa?”tanya laki-laki itu sambil merogoh saku celananya. Pandangannya terarah pada dompetnya dan memilah-milah lembaran uang di dalamnya.

“hmm.. nomor 19 ya? 7.500 mas..” jawab operator.

Laki-laki itu pun menarik selembar uang sepuluh ribuan dan menyerahkannya pada operator. Matanya langsung terbelalak ketika melihat wajah operator itu.

“lo. Nue?” tanya laki-laki itu.

Operator itu langsung saja menoleh. Ya, ternyata dia nue.

“radit? Haha.. sory, aku ga liat wajahmu tadi..” ujar nue sambil menepuk lengan radit.

Masih ingat radit? Dia temen Nue dari PSM juga.

“iya, aku juga ga liat kamu tadi. Eh, kamu ngapain kerja disini?” tanya rendi yang kini meletakkan uangnya.

Nue menyambut uang itu dan mencari uang kembalian. “iya nih, lagi butuh tambahan aja..”

“tambahan? Emang uang ortu-mu ga cukup, Nu? Kamu juga kan dapet beasiswa? Masak ga cukup?”tanya radit bertubi-tubi. Orang satu itu emang suka sekali mengetahui urusan orang lain.

Nue terkekeh pelan sambil menghitung uang kembalian lalu menyerahkannya pda radit. “mau tau aja sih?! Niih, kembaliannya.. jangan lupa besok tugas Discourse dikumpulin.”

Dengan merengut karena tidak mendapatakan jawaban yang ia inginkan, radit mengambil uang kembalian itu. “yee.. ga dijawab. Discourse? Iya ini barusan juga aku browsing. Oke, duluan ya.. bye..!”

Radit pun menghilang di balik pintu warnet. “bye..” jawab nue pelan.

Pertanyaan radit tadi masih terngiang di kepalanya. Benar kata radit, nue sebenarnya juga berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ditambah lagi nue memperoleh dana beasiswa prestasi. Sebenarnya itu semua sudah cukup untuk sekedar memenuhi hidupnya di jember. Namun ada sesuatu yang tidak bisa ia penuhi hanya dengan mengandalkan uang dari orang tua dan beasiswa, yaitu Grace.

*flash back*

Di salah satu sudut sebuah caffe, tampak nue dan Grace saling bercengkrama sambil menikmati secangkir capuchino hangat. Tempat itu memang menjadi tempat favorit mereka, karena keduanya memang penggemar kopi terutama capuchino.

Percakapan hangat mereka terhenti saat tas Grace bergetar dan terdengar nada dering dari dalam tas itu. Grace pun merogoh isi tasnya untuk mengambil ponsel. Namun saat ia mengeluarkan ponselnya, tanpa senganaja ponsel itu terlepas dari genggaman tangannya sehingga ponsel itu melesat jatuh ke lantai.

“prakk..!”

Beberapa mata pengunjung yang lain mengarah pada Grace yang langsung memunguti bagian-bagian ponselnya yang terpisah, nue juga ikut membantunya. Nue pun merangkaikan lagi ponsel itu dan memeriksanya untuk memastikan tidak ada yang tergores dan yang pasti, apa ponsel itu masih bisa berfungsi.

Nue termenung saat melihat ponsel Grace yang sudah out of date itu. Keypadnya saja sudah tidak bisa dibaca lagi.

“nih honey.. masih berfungsi kok.. lain kali hati-hati dong honey..” ujar nue sambil menyerahkan ponsel itu pada Grace.

Grace menerimanya sambil terkekeh lalu mengutak-atik ponselnya. “iyaa… hehe.. tadi tangan Grace licin soalnya.”

Nue tersenyum mendengarnya, lalu ia mengambil cangkir capuchinonya dan menghirupnya.

“hmm… coba aja aku punya BB.. huumm… “ bisik Grace, namun nue masih bisa mendengarnya.

Nue pun meletakkan capuchinonya. “apa honey?”

Grace langsung menoleh pada nue, kaget dengan kata-kata yang telah ia ucapkan sendiri. “oh.. nggak kok honey.. hehe.. hmm.. capuchinonya enak, harus cepet diminum, ga enak kalo sudah dingin.”kilah Grace yang langsung menyeruput capuchinonya.

Sementara itu nue tersenyum tipis memandang Grace. Grace memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Untung saja dia cerdas, sehingga bisa mendapatkan beasiswa dan bekerja dengan memberikan les. Tapi tentu saja hal itu tidak akan mendukungnya untuk membeli ponsel baru, apalagi black berry.

Nue pun menghirup capuchinonya dan segera berpikir. Memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk Grace.
***

Jadilah saat ini nue bekerja di sebuah warnet. Bayarannya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menambal kekuarangan untuk biaya membeli black berry yang harganya masih 3jutaan itu.

Awalnya nue mengeluh juga, karena jadwal kuliahnya sendiri cukup padat, ditambah dengan jadwal latihan PSM, membuat nue harus merelakan 2 hari senggangnya, yaitu sabtu dan minggu untuk bekerja. Itupun minggu malamnya dia harus melatih Gigi secara privat. Namun nue berusaha untuk berpikir positif dan teringat pada Grace menjadi motivasi tersendiri baginya.

‘Mungkin ini butuh waktu lama, tapi kuharap kamu mau bersabar, honey..’ harap nue sambil tersenyum memandang foto profil Grace di facebook.

Foto profil itu memperlihatkan nue dan Grace yang berpose dengan mesranya. Disana nue tampak duduk dan di belakangnya Grace mengalungkan tangannya pada bahu nue sambil menjulurkan lidahnya, membuatnya tampak menggemaskan di mata nue.

Cukup lama nue tersenyum memandangi foto itu, hingga lambat laun senyum itu memudar. Di sentuhnya wajah Grace pada foto itu.

‘apakah.. kau masih mencintaiku, jika suatu hari kamu tahu.. kalau aku ‘sakit’? masihkah kau mencintaiku? ‘
***

HYMN OF MY HEART 4

 

Bar 4, Do=Mi

Jalanan kota Jember mulai lengang saat ini. Tenda-tenda warung yang semula padat menghiasi trotoar jalanan di sekitar kampus, satu per satu mulai menghilang. Gerobak-gerobak sudah di dorong pemiliknya kembali ke rumah. Kendaraan juga sudah mulai kian jarang. Di jalan yang lengang itu nue mengendarai motornya, sementara Grace dalam boncengannya. Tidak ada banyak kata yang terucap dari keduanya, kecuali nue yang diam dan fokus pada setirnya dan Grace yang menyandarkan pipinya di punggung nue dan melingkarkan pelukannya dengan manja.

“nu..” panggil Grace.

“ya?” jawab nue.

“kamu kok baik banget sama anak itu, nu?”

“anak itu? Maksudnya?”

“ya siapa lagi? Si Anggian itu.. kok kamu segitu getolnya belain dia.. kenapa sih?”

Mendengar pertanyaan Grace, nue terdiam sesaat lalu tertawa pelan. “haha.. aku juga ga tau tuh.. mungkin karena dia sama kayak aku..”

Grace melepaskan sandarannya dan memasang raut heran. “sama apanya, Nu?”

Nue tersenyum kecil, “ya sama.. dulu aku juga kayak dia. Kayak kamu ga inget aja, dulu kamu kan yang sering mukulin aku pake kertas partitur? Hehe..”

“hmm.. nggak juga sih.. kamu beda, honey.. kamu ga nangis waktu aku omelin..” ujar Grace yang menyandarkan lagi pipinya pada punggung nue.

Nue hanya menghembuskan nafas sekejap dan tersenyum. “temenin aku makan ya honey..” tawarnya.

“ehm.. maaf honey.. aku capek banget malem ini.. pengen cepet tidur..”jawab Grace sedikit merengek.

“oh.. oke..” kata nue yang tersenyum meski terdengar sedikit rasa getir dari suaranya.

Setelah itu tidak ada lagi perbincangan diantara keduanya. Membiarkan suara angin yang terbelah saat motor nue melaju menjadi musik serenade bagi keduanya.

Sementara itu, Gigi duduk di bingkai jendela kos-kosannya. Merenung dan menatap bulan yang bersinar anggun. Di tangannya, selembar kertas partitur lusuh melambai-melambai tersambut angin malam yang dingin. Sementara di tangan satunya, tergenggam ponsel yang menyala redup. Tampak message box yang kosong dan kursor berkedip-kedip, menunggu input dari pemiliknya. Namun Gigi masih terdiam. Wajahnya tampak seperti pualam yang dingin saat sinar malam berbulan yang putih kebiruan menerpa wajahnya. Perlahan ia angkat ponselnya, dan melihat kursor yang berkedip padanya. Jarinya sudah menyentuh keypad, mengetikkan nama ‘Kak Nue’ di kotak nomor tujuannya. Dan tangan Gigi berhenti lagi saat akan menulis pesannya. Cukup lama Gigi diam melihat layar ponselnya. Hingga akhirnya ia meminimize message boxnya dan meletakkan ponselnya ke lantai.

Wajahnya kembali menatap langit. Mencoba mencari alasan, mengapa ia tidak sanggup meski hanya mengirimkan ucapan ‘selamat tidur’ padanya. Pada akhirnya hanya sebuah jawaban pahit yang ia dapat.

#Talking to the Moon
By: Bruno Mars

I know you’re somewhere out there
Somewhere far away
I want you back
I want you back
My neighbors think
I’m crazy
But they don’t understand
You’re all I have
You’re all I have

At night when the stars
light up my room
I sit by myself

Talking to the Moon
Try to get to You
In hopes you’re on
the other side
Talking to me too
Or am I a fool
who sits alone
Talking to the moon

I’m feeling like I’m famous
The talk of the town
They say
I’ve gone mad
Yeah
I’ve gone mad
But they don’t know
what I know

Cause when the
sun goes down
someone’s talking back
Yeah
They’re talking back

At night when the stars
light up my room
I sit by myself
Talking to the Moon
Try to get to You
In hopes you’re on
the other side
Talking to me too
Or am I a fool
who sits alone
Talking to the moon

Ahh Ahh,
Ahh Ahh,

Do you ever hear me calling?
Cause every night
I’m talking to the moon
Still trying to get to you

In hopes you’re on
the other side
Talking to me too
Or am I a fool
who sits alone
Talking to the moon

I know you’re somewhere out there
Somewhere far away
***

“well.. sudah siap?” tanya nue.

Gigi mengangguk dan membuka partitur hymnenya. “siap..!”

“oke, kita mulai dari awal ya.. 1..2..3.. solfami..sol..sol..” pandu nue, yang diikuti oleh Gigi.

Malam ini adalah latihan eksklusif Gigi yang pertama. Dibilang eksklusif karena berlatih hanya berdua dengan nue dan di waktu yang terpisah dengan jadwal latihan rutin. Gigi sudah pernah mengalami latihan semacam ini begitu juga dengan semua sensasinya. Sensasi saat bernyanyi hanya berdua dengan nue, saat nue berjarak begitu dekat dengannya… ini sudah terjadi di pertemuan sebelumnya. Tapi Gigi masih belum bisa menghilangkan perasaan gugup saat berdua dengan nue. Bayangkan Gigi harus mengalami ini selama beberapa minggu ke depan..! @_@

“eit,, salah Gi.. sol sol do…” koreksi nue.

Gigi menghela nafas panjang. Sudah berkali-kali ia ‘jatuh’ di bagian yang sama. (aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi~… #nyanyi)

“ayok lagi, ikutin aku ya.. solfaremifasol..sol.. solsoldo…la..do..sol..”pandu Nue dengan sabar.

Gigi pun mencoba mengikuti suara nue, tapi tetap saja, ia salah pada bagian ‘do’ tingginya. Gigi pun berjongkok sambil mengacak-acak rambutnya.

‘kenapa aku ga bisa-bisa sih? Ini karena ada nue, apa akunya yang keterlaluan bego’nya??’ racau Gigi dalam hati.

Nue melihat rasa frustasi Gigi itu. Ia pun berjalan menuju tasnya yang ia letakkan di meja gazebo tak jauh dari sana. Di ambilnya sebotol air mineral dan ia lemparkan pada Gigi.

“nih, minum dulu.”ujarnya.

Tidak siap dilempari botol, Gigi pun dengan gelagapan menangkap botol itu. “eits,, pwuh.. bilang-bilang dulu lah kalo kalo mau lempar..! kena kepala lumayan nih..!”

“haha.. biar deh kena kepala, kali aja otakmu langsung nyambung, hehe..” gurau nue yang duduk di kursi gazebo.

Gigi menatap nue dengan tatapan protes sambil meminum airnya. Setelah puas menghilangkan dahaganya, ia pun menutup kembali botol itu dan melemparnya pada nue.

“mau di lempar botol kek, sepatu kek, sepeda kek, pembalut kek, aku juga ga bakalan bisa nyanyiin lagu hymne ini! Huuft… tau deh, kayaknya ada yang salah sama lagunya.”

Dengan sigap nue menangkap botol itu dan membuka tutupnya, “sabar… buat bisa nyanyi lagu hymne itu butuh waktu Gi.. lagunya emang agak sulit, tapi begitu kamu sudah matang notasinya, yakin deh, kamu ga bakal lupa sama lagu itu sampai kapanpun.” Terang nue yang kini menegak airnya. (sebentar, pembalut? #batin nue heran.)

Mendengar itu, Gigi memiringkan bibirnya lalu menepuk pelan partitur di tangannya. ‘lagu kayak gini, jangankan mateng, hapal aja susah!’ batin Gigi.

Nue terus melihat reaksi Gigi itu meski sedang minum. Setelah beberapa tegukan, ia menutup botol air minumnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas pinggangnya. “kamu nyerah, gi?” tanya nue tiba-tiba.

Gigi menoleh pada nue sesaat lalu kembali menatap partitur di tangannya sambil menghembuskan nafas dalam. “ya nggak nyerah sih.. Cuma pesimis aja, aku bakal bisa nyanyiin lagu ini..”

Nue terdiam dan mengangguk pelan. Ia tahu perasaan Gigi. mempelajari sebuah lagu memang tidak mudah. Ini bukan lagu yang bisa dinyanyikan hanya dengan mendengarkannya lewat headset dan menyanyikannya dengan beberapa improvisasi-improvisasi seperti penyanyi di televisi. Ini paduan suara. Semua lagu yang dinyanyikan harus sesuai dengan partitur yang ada. Lagu itu harus dibaca dan dihafal. Tidak seperti menyanyi biasa yang bisa berlatih hanya dengan mendengarkan lagunya dan menghafal liriknya, melakukan beberapa improvisasi saat lupa lirik atau notasinya, dalam paduan suara, setiap not harus dibunyikan dengan tepat dan dengan ketukan yang tepat pula. Salah sedikit saja, sudah merusak keindahan seluruh lagu itu. Itulah kenapa nue dengan cermat mendengarkan notasi Gigi dan tak segan untuk menghentikannya bila ia salah. Pasti itu juga yang membuat Gigi merasa frustasi. Nue tidak bisa membiarkan Gigi bertahan dengan perasaan seperti itu.

“Gi, kalau boleh tahu, apa sih alasanmu masuk PSM?”

Mata Gigi sedikit terbelalak saat mendapat pertanyaan seperti itu dari nue. Karena memang sejak awal motivasi Gigi untuk masuk UKM itu adalah karena Nue.

‘hah? Masak aku harus jawab “karena kamu”..? waaaahhh.. bisa kacau entar..! hmmm.. tenang Gi.. pake alasan klise aja dah..’

“ehmm… soalnya pingin cari pengalaman aja dalam bidang tarik suara..”

Yup, sebuah jawaban yang klise. Setidaknya Gigi tidak perlu mengutarakan isi hatinya.

Tidak ada perubahan ekspresi pada wajah nue, tanda bukan itu jawaban yang ia harapkan. “well.. yang lain?”

‘mampus.. harus jawab apa? Ga ada alasan yang lebih kuat apa ya?’ tanya Gigi pada dirinya sendiri, celakanya pikirannya tidak mampu menjawab pertanyaannya.

Melihat Gigi yang masih terdiam berpikir, nue melanjutkan pertanyaannya, seperti detektif yang kelaparan. “pastinya ada alasan lebih dari itu yang bikin kamu mau gabung ke PSM ini. Aku liat dari karakter kamu, kayaknya kamu bukan tipe orang yang suka dengan seni tarik suara.. aku harap aku salah sih.. tapi apa sih yang kamu inginkan dari PSM ini?”

Gigi terdiam beribu bahasa. Analisis nue tepat sekali. Ia bukan orang yang suka berkompromi dengan nada-nada, juga bukan orang yang telaten. Secara kasat mata, PSM sangat tidak sesuai untuk dirinya. Sungguh beruntung dia bisa lolos seleksi, meskipun akhirnya saat ini dia sukses membuktikan bahwa pilihannya masuk ke PSM adalah salah. Kini Gigi tidak punya waktu untuk menyesali keadaan. Nue disana sedang menunggu jawaban darinya.

“hmm.. yang pasti ada lah.. rahasia tapi.” Ujar Gigi final.

Nue mengeryitkan dahi sesaat pada Gigi. Gigi membalasnya dengan senyuman tanpa dosa. Melihat itu, nue hanya tersenyum kecut sambil mengusap hidungnya. Lalu ia pun memandang Gigi, Gigi langsung saja menghindari matanya, ia tidak sanggup melihat langsung mata orang yang ia taksir. Bisa mati salting dia..

“kamu masih inget saat kamu diuji pemilahan suara?”tanyanya.

Gigi mencoba mengingat-ingat kejadian itu, saat ia nyaris masuk suara bass karena tidak sanggup membunyikan nada ‘mi’ tinggi. “ehm.. ya.. kenapa?”

“saat itu, kamu nyaris gagal masuk tenor kan? Tapi pada akhirnya kamu bisa juga masuk tenor setelah mencoba berulang kali. Aku sendiri heran kenapa kamu getol banget buat nyoba, aku pikir kamu nggak akan sanggup. Tapi ternyata kamu bisa, menembak nada ‘mi’ tinggi itu.” Ujar nue.

Gigi hanya terkekeh saat mengingat kejadian itu.
Nue pun berdiri dan berjalan ke arah Gigi duduk.
Gigi sempat ‘dag dig dug’ ketika nue duduk tepat disampingnya.

“kamu tahu, nada ‘do’ tinggi dalam lagu hymne ini.. sebenarnya adalah nada ‘mi’ tinggi dalam kunci C, nada yang sama yang bisa kamu bunyikan saat itu.”

Mata Gigi sedikit terbelalak, dan dengan perlahan ia melihat partitur lagu hymne di tangannya. Di bagian kiri atas, terdapat tulisan do=E.

“tapi kak.. ini kan kunci E, ‘do’ tingginya tinggi banget, nggak kayak nada ‘mi” tinggi saat itu..”kilah Gigi.

Mendengar itu, nue tersenyum lalu memegang tangan Gigi. “ayok ikut aku..”

‘deg…’ mungkin tangan nue menggenggam lengan Gigi saat ini, tapi rasanya nue seperti menggenggam jantung Gigi erat-erat hingga rasanya akan meledak. Ini pertama kalinya nue menggenggam lengannya.

“ke.. kemana kak?”tanya Gigi sedikit tergopoh-gopoh saat nue menariknya ke suatu tempat.

“Ke aula..” jawab nue singkat.

“ngapain?? Di situ kan angker??” protes Gigi.

“ah, cemen… udah ikut ajaa..” ujar nue yang membuat Gigi tidak bisa mengelak lagi.

Setelah nue mendapat kunci aula dari security, ia pun membawa Gigi masuk ke ke dalam aula.

Di salah satu sudut ruangan aula itu terdapat sebuah piano yang biasa dipakai PSM untuk latihan. Nue pun membawa Gigi menuju piano itu. Disana nue melepaskan genggaman tangannya pada Gigi dan membuka tutup piano itu.
Gigi hanya berdiri diam melihat nue yang sedang memainkan tuts-tuts piano itu sambil memegangi lengannya yang tadi digenggam nue, rasanya masih hangat.

“nah Gi.. ini ‘do’ biasa dari kunci C.. denger dan liat ya.. do..re..mi..fa..sol..la..si..do..re..mi..” nue menekan tuts-tuts itu satu persatu lalu memandang Gigi, melihat apakah Gigi mengerti atau tidak.

Gigi mengangguk-angguk, meski ia masih tidak tahu apa yang nue ingin tunjukkan.

Lalu nue menekan tuts-tuts yang berbeda. “nah, ini ‘do’ sama dengan E, do..re…mi..fa..sol..la..si..do…”

Bibir Gigi menganga sedikit dan matanya berbinar. Kini ia mengerti. Ternyata benar apa yang nue katakan sebelumnya. Jari nue berhenti pada tuts yang sama saat ia memainkan nada kunci c. Meski berbeda kunci, dan nada lagu Hymne terdengar begitu tinggi, tapi ternyata nada tertingginya, ‘do’ tinggi, sebenarnya sama dengan ‘mi’ tinggi dalam kunci C.

“hehe.. kok bisa gitu ya..”ujar Gigi dengan nada bodoh.

“nue tertawa pelan.” Ini uniknya musik. Not mungkin cuma ada tujuh, tapi dari tujuh bisa menjadi berbagai bunyi yang berbeda-beda tergantung kunci nadanya. Termasuk bunyi ‘do’ tinggi dalam lagu hymne yang bikin kamu frustasi itu sebenernya cuma nada ‘mi’ tinggi dalam kunci C, kamu dulu bisa kan membunyikan nada itu? Trus, kenapa kali ini kamu pesimis?” nue mengerling pada Gigi yang masih termenung pada piano itu.

Ya, selama ini dia cuma menganggap nada ‘do’ itu begitu tinggi dan susah untuk diingat apalagi dibunyikan. Padahal itu adalah nada yang sama yang ia perjuangkan saat mencoba masuk ke dalam suara tenor.

“aku mungkin nggak tahu apa motivasimu saat itu, saat kamu berusaha membunyikan nada ‘mi’ itu. Tapi, kenapa kamu nggak gunakan motivasi itu untuk lagu hymne ini? Kalau dulu aja kamu bisa, kenapa sekarang ga bisa? “

Gigi menimbang kata-kata nue. Kata nue itu benar adanya. Dulu dia memang memiliki motivasi dan semangat yang meletup-letup. Tapi kini, setelah semua yang terjadi, pantaskah ia berharap lebih jauh dari itu?

“tapi kak, memangnya aku bisa, menggunakan alasanku itu.. karena alasan itu bagiku sudah tidak mungkin terwujud..”

“tentu aja bisa.”jawab nue cepat.

Gigi membelalakkan matanya menatap nue yang tersenyum penuh kehangatan.

“siapa bilang alasanmu itu nggak akan terwujud? Sebelum kamu mencoba, alasan dan keinginan kamu ga akan terwujud. Aku yakin, apapun keinginanmu itu, pasti akan terwujud. Asalkan kamu mau mecoba dan bersabar.”

Wajah Gigi bersemu sedikit, ia pun menundukkan wajahnya. Nue tidak tahu, jika motivasi utama Gigi adalah dia.
bagai percikan api yang meledak-ledak, semangat di hatinya pun mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia pun berpaling dan menatap wajah nue. “aku mau coba lagi kak! Coba kakak iringin pake piano.” Ujar Gigi tegas.

Nue tersenyum dan mengangguk, ia pun kembali melayangkan fokusnya pada tuts-tuts piano. ingat.. pernapasan perut.. dapetin powerya..”

Gigi mengangguk kemudian menatap partiturnya. ‘saat itu, satu motivasiku, yaitu bagaimana caranya aku bisa masuk dalam suara tenor jadi aku bisa makin dekat dengan nue. sekarang? Pantaskah aku berharap jika aku bisa mendapatkan cintanya? Dia bilang ‘bisa’ dengan tegasnya. Aku tahu dia tidak menyadari apa yang telah ia ucapkan dengan apa yang kupikirkan. Yang jelas, setidaknya kini bolehlah aku merasa pantas, untuk mencintaimu..’

Gigipun mulai melantunkan lagu hymne itu, ia tuangkan semua obsesi dan harapannya pada tiap notasinya, hingga ia sampai pada bagian tersulitnya.

‘demi kamu, kak.. ‘

“solfaremifasol..sol..solsoldo…do..ladosol…”

Gigi mengatupkan bibirnya. Nue-pun menghentikan permainan pianonya. Dengan tatapan harap-harap cemas Gigi menunggu nue menoleh padanya. Hingga Gigi akhirnya bisa melihat wajah nue yang tersenyum cerah padanya.

“nah, itu bisa kan?”

Gigi mengembangkan senyumnya dan menundukkan wajahnya. Ia ingin menyembunyikan wajahnya yang memerah saat ini. Namun jantungnya serasa akan berhenti ketika tangan nue merangkul bahunya. Saat Gigi menoleh, wajah nue begitu dekat dengannya meskipun nue tidak menoleh padanya melainkan ke arah langit-langit.

“kamu ngerti kan Gi? Sebenarnya ga ada yang sulit dan ga mungkin di dunia. Tergantung bagaimana dan dari sudut pandang mana kita melihat masalah itu. Sama seperti nada ‘mi’ dan ‘do’ tadi. Sekilas, nada ‘do’ kunci E itu begitu tinggi, tapi nyatanya, nada itu sama aja dengan nada ‘mi’ dalam kunci C. Kalo kamu ga bisa, dengan nada ‘do’ tinggi E, ya pake aja nada ‘mi’ tinggi C, sama aja kan? Hehe… So, be positive, Gi..!” ujar nue yang kemudian tersenyum dan mengacak-acak rambut Gigi.

“aduuh.. iya iya..! ga perlu ngacak-acak segala lah!”

“haha… udah ah, capek, ayok pulang!”ujar nue yang saat ini sudah beberapa langkah meninggalkan Gigi.

“looh, kak? Kok pulang..? tunggu!!” tanya Gigi yang berlari kecil mengejar nue.

Malam itupun Gigi dibonceng oleh Nue. Selama perjalanan itu, Gigi bisa mendengar nue yang bersenandung pelan, melantunkan suatu lagu yang terdengar familiar di telinga Gigi tapi ia tidak tahu judulnya. Gigipun dengan tersenyum simpul memandang wajah nue dari cermin spion.

‘ya.. kak nue benar.. jika kita merasa itu sulit dari 1 sisi, lihatlah dari sisi yang lain. Begitu juga denganmu kak.. di satu sisi kakak mungkin ga akan cinta sama aku. tapi di satu sisi, bukankah aku bisa mencintai kakak? Haha.. konsep itu memang terlalu sederhana, nyatanya mencintai tanpa balasan cinta itu rasanya tidak akan begitu menyenangkan.. tapi… apa sih cinta itu? Aku rasa yang kakak tunjukkan padaku selama ini sudah seperti cinta buatku.. Ini cuma soal kunci nada, hehe ‘

“Gi, makan yuk..!”

“Oke dah.. traktir tapi..”

“habuh.. maunya gratisan mulu!”

“haha… namanya juga mahasiswa.. “

“aku juga mahasiswa kali..”
***