LUKISAN #1

LUKISAN 

by: Zalanonymouz

 Sebuah mobil hitam mengkilat tampak merayap menerobos padatnya keramaian pasar. Di tengah panas teriknya matahari, kehadiran mobil itu tampak jelas kentara di antara warna-warna kusam pakaian orang-orang pasar. Refleksi warna lukisan-lukisan yang terjejer di tepi kanan kiri jalan tampak berpendar redup di badan mobil hitam itu. Akhirnya bayangan-bayangan lukisan yang terus bergerak mengikuti laju mobil itu berhenti. Berhenti pada sebuah bayangan seorang lelaki muda bertelanjang dada dengan jari jemarinya yang sibuk mengoleskan cat pada kanvas. Semula lelaki itu tak peduli pada mobil mewah yang berhenti di kios lukisannya, hingga akhirnya ia terpaksa menoleh ketika mendengar bunyi pintu mobil yang terbuka. Matanya menoleh ke arah sosok yang menyembul dari pintu mobil yang terbuka. Matanya seketika membeku.

Dari pintu itu, dia keluar. Rambut hitamnya yang legam tampak berkibar ringan tertiup angin pasar yang kering. Jari jemarinya yang putih memegangi bingkai pintu bagian atas, dan wajahnya yang sama putihnya menengok ke arah kios lelaki itu. ia tersenyum.

Lelaki itu tampak tidak bisa berkata apa-apa selain menjatuhkan kuasnya. Perlahan dia berdiri, menyambut lelaki yang keluar dari mobil itu berjalan ke arahnya. Bahkan hingga saat lelaki putih itu sudah berada dalam jarak peluknya, dia masih tetap tak bergeming. Matanya bergerak-gerak menatap sosok yang telah lama ia rindukan. Dan kini ia datang dengan penampilan yang ‘sedikit’ berbeda. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam selegam rambutnya, tampak begitu kontras dengan warna kulitnya. Di tangan kirinya, terpaut dengan manis sebuah jam berwarna keperakan dengan kilau yang menyilaukan mata lelaki itu. Sepatunya yang berwarna hitam itu mengkilat, seperti mobilnya. Seorang lelaki dengan pakaian rapi baru saja keluar dari mobil hitam legam itu. Supir tampaknya. Sungguh dia, lelaki putih itu, benar-benar seperti seorang eksekutif. Namun, balutan mewah itu tetap tidak mampu menutupi kemudaannya. Dia, di dalam balutan hitam itu, masih sama seperti dulu. Wajah yang kaya akan warna. Lelaki itu tak bisa melupakan sama sekali bagaimana parasnya sejak terakhir kali ia bertemu. Ya, ia masih sama seperti dulu, hanya satu detil saja yang berbeda, dan itu membuat lelaki itu ragu untuk meyakinkan dirinya kalau lelaki putih di depannya itu adalah orang yang dulu pernah mewarnai hatinya. Satu detil. Matanya.

Bagian 1. Mata

Seorang anak kecil berlari sambil sesekali mengusap matanya, hingga akhirnya ia sampai di depan sebuah pintu rumah yang sangat sederhana. Dengan sedikit keras, anak itu menggedor pintu rumah itu.

“Nenek…!”

Suaranya yang kecil terdengar serak dan parau. Beberapa kali ia meneriakkan kata itu dengan dahak kental yang mencekat tenggorokannya, juga isak yang sesekali mengganggu nafasnya. Memutus kata-katanya seperti orang cegukan.

Akhirnya sebuah jawaban dari dalam rumah terdengar samar dan lama kelamaan terdengar kian mendekat. Pintu terbuka. Dan seorang nenek berumur 60an langsung mendapati tubuhnya dipeluk anak itu. Daster tipis yang nenek itu kenakan langsung basah oleh air mata anak itu.

“aduuh… kenapa lagi..?”  tanya nenek itu dengan alis berkerut menurun.

Diusapnya rambut anak kecil itu sambil membawanya masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ia di dudukkan di kursi, masih dengan wajah terbenam di perut neneknya.

Nenek itu terus mengusap kepala si anak yang kian menangis histeris dan sesengukan. Sesekali nenek itu juga menyiulkan desis pelan untuk menenangkan cucunya. “ada apa Bintang.. cerita ke nenek..”

Anak itu masih terus menangis di perut nenekya, hingga suaranya yang putus-putus terdengar pelan, teredam di perut neneknya.

“Bintang.. ga mau seko..lah lagi.. nek…. “

Mata tua nenek tampak melebar mendengar jerit parau cucunya itu.

“Loh.. kenapa? Bintang jangan bilang gitu… Bintang harus sekolah..”

Anak bernama Bintang itu menggeleng-geleng di perut neneknya, membuat air matanya merembes makin luas di daster nenek.

“Nggakk..!!”

Nenek akhirnya menghela napas panjang. Dia terus membelai kepala cucunya. Terasa seakan makin dalam perasaannya dalam tiap belaian itu.

“Kenapa? Kenapa tiba-tiba Bintang ga mau sekolah? Katanya mau jadi ilmuan? Kok sekarang minta ga sekolah? Kenapa? Cerita ke nenek..”

Tangis Bintang mulai mereda, namun masih terisak dan sesengukan, hingga ia mengangkat wajahnya. Seketika nenek merasa kalau ia tahu permasalahannya. Harusnya ia sudah tahu sejak awal. Permasalahan ini sudah lama menjadi momok bagi cucu satu-satunya itu.

Melihat wajah cucunya itu terasa seakan ada pisau yang menusuk hatinya, membuatnya terasa begitu berat untuk berdetak. Mata nenek itu mulai terasa basah ketika melihat wajah cucunya yang basah oleh air yang mengalir deras dari kedua matanya. Mata yang kiri yang berwarna hitam mengkilat, penuh dengan berkas-berkas cahaya karena tergenang oleh air mata, seperti biji buah sirsak yang basah oleh embun. Namun mata satunya, mata sebelah kanan, sebuah kabut putih tipis melayang di biji sirsak itu. Dan mata itu juga sama-sama menangis.

“Bintang di ejek lagi nek… temen-temen pada ngejek bintang..  ramai-ramai! Bintang ga kuat.. Bintang ga mau sekolah lagi..!”

Sebuah pisau lagi menghujam jantung tua nenek, membuat nenek kian berat untuk bernapas. Ia seharusnya sudah bisa menebaknya sejak awal. Nenek itu tak bisa berkata apa-apa lagi, selain merapatkan wajah cucunya itu di dadanya, di tempelkan pipinya di kepala cucunya dan tangan kanannya mengelus lembut kepala cucunya itu dengan perasaan yang begitu dalam dan haru.

“Sabar ya Bintang… Kamu harus tetep sekolah.. Sakit Bintang cuma sebentar kok. Besok juga sembuh.. Udah bintang jangan nangis lagi ya..” ujar nenek dengan suara yang setengah pilu. Mencoba menahan.

“Beneran nek? Bintang bisa sembuh?”

Bintang bisa merasakan di kepalanya, wajah nenek yang mengangguk.

“Iya.. Nanti kalau nenek sama ibu sudah punya uang, kita beli obat buat Bintang biar Bintang bisa sembuh.”

“Kapan nek?”

Agak lama nenek tidak menjawab, hingga terdengar suara yang begitu rapuh dan tipis. Seolah hanya bergantung pada asa yang setipis kabut.

“Besok..”

Anak kecil itu, yang memang belum dapat memahami maksud terlalu dalam akan kehidupan hanya bisa tersenyum, menghapus air matanya dan membenamkan wajahnya di pelukan sang nenek. Hatinya mulai terasa ringan. Dalam hati mudanya ia bersorak, akhirnya besok dia sembuh, dan tidak ada lagi teman yang mengejeknya.

Namun, lambat laun ia harus mengerti. Besok demi besok, lusa demi lusa, minggu demi minggu, bahkan bulan dan tahun terus bergulir tanpa ampun. Dan ‘besok’ yang ia nantikan tidak pernah datang.

Dia harus terbiasa untuk mendengar kata ‘besok’ dari nenek dan ibunya. Dia harus terbiasa untuk menutup telinga dan matanya ketika teman-temannya mengejeknya.

“Bintang mata picak! Bintang anak Dajjal!”

Bintang mencoba untuk mencacatkan satu bagian lagi dari tubuhnya, yaitu telinganya. Sekalian saja agar ia tidak bisa lagi mendengar suara-suara menyakitkan itu. Tapi percuma, itu adalah hal yang mustahil ia lakukan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan suara-suara itu menerobos masuk ke dalam lubang telinganya, dan tak jarang menembus masuk ke hatinya.

 Air mata Bintang lambat laun sudah kering. Dia tidak lagi menagis karena ejekan-ejekan yang sebenarnya masih memberikan rasa sakit menusuk di hatinya. Namun semuanya berjalan seperti angin lalu.

Anak-anak makin tumbuh dan berkembang. Tidak hanya tubuh yang semakin tinggi dan bongsor, namun pikiran dan rasa kepedulian juga makin berkembang. Lambat laun, mereka sadar, atau mungkin bosan. Dan akhirnya ejekan ‘mata picak dan anak dajjal’ itu menghilang.

Bintang saat itu sebenarnya tidak begitu mengerti arti ejekan ‘anak dajjal’ yang dilontarkan teman-temannya, meski entah kenapa Bintang merasa itu tidak baik. Suatu hari ia bertanya pada neneknya. “Apa Dajjal itu nek..?”

Nenek yang mantan anak pesantren hanya tersenyum sambil menjemur pakaian. Dia menerangkan deskripsi sederhana yang mungkin bisa diterima oleh anak berumur 8 tahun.

“Dajjal itu.. raksasa jahat yang matanya satu. Nanti saat hari kiamat, dia datang dan menculik anak-anak yang malas solat. Makanya kamu harus rajin solat!”

Nenek mengatakan itu dengan ringan dan sedikit bercanda. Ia tidak melihat di belakangnya, cucunya, mengerutkan bibir dan matanya. Dengan cepat ia berbalik dan berlari meninggalkan neneknya. Dia kesal, dia sedih. Dia merasa teman-temannya terlalu tega padanya. Akhirnya yang bisa bintang lakukan adalah membanting tubuhnya di kasur dan membenamkan wajahnya di bantal. Menangis.

Tapi toh, itu tidak berlangsung selamanya. Semakin tinggi jenjang sekolah dasar yang bintang dan teman-temannya lalui, makin matang pula otak mereka. Ejekan itu makin hilang, dan akhirnya pada kelas 5, olokan itu tidak pernah terdengar lagi.

Bintang hanya tersenyum getir ketika mengingat masa lalunya. Di depan cermin, ia duduk dan tanpa terasa satu tetes embun menggantung di kantung matanya. Dengan sigap ia mengusapnya dengan jarinya. Kini ia memandangi cermin. Di sana tampak bintang yang tentu tidak lagi sama dengan bintang yang dulu. Pipi agak tembem berwarna putih kemerahan itu sudah tidak setembem dulu. Giginya yang dulu jarang-jarang, kini berganti menjadi deretan Gigi putih mungil yang rapi. Wajah yang dulu bulat mungil kini berubah menjadi wajah remaja dengan dagu yang agak runcing. Tapi tentu ada beberapa yang tidak berubah. Rambutnya yang lurus dan hitam tergerai begitu kontras dengan kulitnya yang putih. Bibirnya yang tipis berpendar merah segar, meski tanpa polesan lipstik. Dan mata itu. Masih sama seperti dulu. Mata kirinya yang mengkilat hitam seperti biji sirsak masih di temani dengan pasangannya yang tertutup kabut putih. Seketika bintang memejamkan matanya dan menghela napas dalam.

Lelaki itu bernama Bintang Fahreza. Sekilas penampilannya begitu cerah seperti bintang fajar. Semua orang pasti akan berpendapat sama sepertiku ketika melihatnya. Seorang lelaki yang sekilas tampak nyaris sempurna. Nyaris saja. Seseorang akan menyadari kekurangan Bintang ketika ia menatap lurus wajahnya, ketika matamu bertemu langsung dengan kedua matanya. Mata kanannya seolah tidak kompak dengaan mata kirinya yang hitam legam. Ya, mata sebelah kanan Bintang terkena penyakit katarak sejak ia masih dalam kandungan. Dan masih ia sandang hingga kini.

Ini bukanlah hal yang ringan bagi Bintang. Sedari kecil ia harus mendapatkan perhatian dan perlakuan yang berbeda dengan anak-anak lain seusianya.setiap orang akan menurukan alis atau menggerak-gerakkan matanya dengan sedikit heran bercampur iba, melihat bergantian ke kedua mata bintang. Tatapan mata yang sangat Bintang benci.

Bintang juga harus menguatkan hatinya ketika ada orang yang menanyakan berbagai hal tentang mata kanannya.

“Mata kamu kenapa?”

“Sejak kapan mata kamu sakit?”

Bintang sangat memaklumi wujud simpati mereka, namun tetap saja pertanyaan-pertanyaan itu membuat Bintang risih. Setelah sekian lama Bintang hidup dengan olok-olok tentang matanya, Bintang mencoba untuk tegar dan membangun kepercayaan dirinya. Ia berusaha melupaka kekurangannya dan meyakinkan dirinya bahwa ia adalah orang yang normal sama seperti yang lain. Namun pertayaan-pertanyaan itu datang, seolah menjadi perkembangan lanjut dari olok-olokan masa kecilnya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat benteng yang ia bangun susah payah, hancur lebur, menjadi tumpukan debu di kakinya. Memperlihatkan kembali pada Bintang tentang dirinya yang sebenarnya. Bintang yang cacat mata sebelah kanannya.

Kadang Bintang harus menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaan itu, kemudian menjawabnya denga sebuah seyum yang ia paksakan lengkungnya.

“Bintang…! ayo turun! Dimas sudah datang tuh!”

Suara ibunya dari kejauhan itu seketika membuka matanya. Dengan segera ia merapikan rambut dan menyelimpangkan dasi sekenanya di kerah seragam lalu menyambar tas pinggangnya. Masih dengan tergesa ia setengah berlari menuju dapur dan menyambar roti yang di sediakan ibunya.

“Ngapaian aja sih? Ganti baju aja lama banget! Buru-buru kan jadinya!”

Bintang seakan tidak mempedulikan omelan ibunya. Ia terlalu sibuk mengunyah roti dan meminum susunya dan setelah menghabiskan satu lembar roti dan segelas susu, ia berdiri dan bergegas menuju halaman rumah.

“Loh? Ga dihabisin rotinya?” tanya ibunya yang menyusul ke halaman rumah.

“Nggak bu, nanti telat!” ujar bintang sambil terus berjalan menuju pagar.

Di balik pagar itu, sebuah motor Tiger bertengger dengan gagahnya, tidak kalah dengan cowok yang menungganginya. Saat Bintang membuka pagar, cowok itu membuka kaca helmnya, memperlihatkan wajah segar yang seketika membuat Bintang tersenyum malu.

“Maaf lama ya?” bisik Bintang.

“Nggak kok, aku juga baru datang.”jawabnya dengan senyum yang hangat.

Bintang membalas senyum itu dan berbalik untuk menyalami tangan ibunya yang berjalan mendekati pagar.

“Bintang sekolah dulu ya..”

“Ya..” balas ibu bintang sambil membiarkan punggung tangannya dicium. Lalu ia mencondongkan wajahnya di dekat wajah Bintang sambil berkata dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Uang sakunya masih ada kan?”

Bintang nyengir dan mengangguk. “Masih kok.”

“Hmm.. ya deh. Nak Dimas..” ujar ibu bintang saat dimas turun dari sepeda motornya dan menyalami tangan ibu bintang. “Hati-hati, jangan ngebut-ngebut.”

“Iya tante.. Tenang aja, hehehe..”

Setelah itu keduanya menaiki motor. “Ya dah Bu, kita berangkat dulu ya..! Lekum!”

“Ck.. Iya.. Waalaikum salam… “ balas ibu bintang. Saat motor yang bintang tunggangi berjalan menjauh, Bintang bisa melihat ibunya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir bergerak-gerak seolah mengucapkan sesuatu. Bintang bisa mengira kata-kata apa yang diucapkan ibunya itu. Pasti, “lekum..lekum… doa kok dibuat mainan!”

Bintang hanya tersenyum kecil, dan ia memalingkan wajahnya kembali ke arah depan. Tanpa ragu, ia mengalungkan tangannya di tubuh Dimas dan menyandarkan pipinya di punggungnya.

“Duh.. Bintang.. ntar kalau ada yang ngeliat gimana?”

Bintang seolah tak peduli dan mempererat pelukannya. “Biarin.. toh mereka ga kenal aku juga.”

Dimas tidak menjawab lagi setelah itu. Mata Bintang melirik ke arah spion dan melihat Dimas menggeleng pelan dengan senyum tipis. Bintang tersenyum geli dan memejamkan matanya.

Kapan lagi ia bisa merasakan hal seperti ini? Memeluk orang yang membuat merasa berarti. Melupakan sejenak akan ketidaksempurnaan yang ia sandang. Kalau bukan karena dia.

Dia bernama Dimas Aprilio. Bintang bertemu dengannya saat ia memasuki bangku SMA. Mereka satu kelas saat masih kelas 1, namun justru mereka tidak mengenal akrab satu sama lain pada mulanya. Hubungan mereka benar-benar dimulai ketika mereka pergi ke Bali dalam kegiatan study tour.

Bali menawarkan banyak sekali tempat wisata. Rombongan kelas Bintang lebih banyak tour dari pada study. Banyak tempat wisata yang mereka kunjungi, dari Sanur, GWK, Dream Land, Benoa, Pulau Penyu, Joger, Sukowati, Tanah Lot, dan yang pasti ke pantai Kutha, Las Vegasnya Pulau Dewata. Selama study tour itu, Bintang dan  Dimas satu kelompok. Masing-masing murid memang dibagi mejadi beberapa kelompok.

Malamnya, mereka menginap di sebuah hotel yang tidak begitu mewah namun sudah sangat nyaman untuk ukuran Bintang. Ranjangnya ada dua dilengkapi dengan AC, televisi, kulkas, dan kamar mandi dalam. Wah.. ini fasilitas yang sangat bagi Bintang. Malam itu, teman-teman satu kamarnya tidak terlihat batang hidungnya sejak turun dari bis. Rupanya mereka asik berpesta arak di kamar teman yang lain. Jadilah kamar yang Bintang singgahi kini menjadi miliknya sepenuhnya. Dengan ringan ia membanting tubuhnya di atas ranjang empuk berpegas itu, membuat tubuhnya terpental ringan beberapa kali, seperti mengambang di kolam yang sejuk. Ranjangnya tidak berpegas seperti yang saat ini ia tiduri. Tidur di ranjang itu langsung saja memanjakan matanya untuk segera menutup, dan tertidurlah Bintang.

Tik..

Tik..

Tik..

Suara detak jam dinding memecah kesunyian dan lelap Bintang. Ada sesuatu yang membuatnya terjaga. Perlahan ia membuka matanya yang redup. Ia merasakan sesuatu yang hangat menyelubungi tubuhnya. Bukan selimut. Tubuh Bintang tidak tertutup seluruhnya seperti saat mengenakan selimut. Tubuhnya masih bisa merasakan dinginnya udara AC meraba kulitnya. Namun ada perasaan hangat yang mengalungi punggung dan perutnya. Hingga akhirnya ia sadar, ada seseorang yang memeluknya.

Perlahan bintang mencoba untuk melepaskan diri. Ia tengok ke arah belakang, mencoba melihat siapa yang memeluk dirinya.

Deg!

Mata kecil bintang melebar, ketika melihat wajah yang begitu dekat dengan wajahnya. Wajah Dimas. Jantung bintang seketika memburu. Ia tidak bisa mengontrolnya. Ia memalingkan wajahnya dengan gelisah. Ia melihat ke sekeliling, teman-temannya tidak ada. Suara tertawa mereka juga sudah tidak terdengar lagi. Tampaknya mereka sudah pada teler dan tidur di kamar lain. Suasana benar-benar sepi sekarang, tapi jantung bintang terus saja bertabuh kencang. Dia bingung. Dia merasa tidak percaya.

Apa yang dimas lakukan? Apakah ini hanya kebiasaan tidurnya saja? Tapi..

Sekali lagi bintang mencoba menengok ke arah wajah dimas. Pertama kalinnya bagi bintang melihat wajahnya sedekat ini. Selama ini ia tidak berani menatap wajahnya. Bintang memang tidak suka melihat wajah orang lain, ia takut orang-orang bisa melihat kedua matanya. Bintang juga tidak berani memandang mata lelaki, terutama lelaki yang berparas tampan seperti dimas. Bintang tidak tahu apa arti semua itu. Tanpa bintang sadari, kebiasaan dan perasaan itu tumbuh dengan subur pada dirinya. Kini wajah dimas sudah berada kurang dari 5 centi dari hidungnya. Ia bisa melihat betapa wajah itu menghipnotis jantungnya untuk terus bergemuruh. Hingga akhirnya mata wajah itu terbuka tipis. Seketika bintang memalingkan wajahnya. Tubuhnya juga menggeliat untuk melepaskan pelukan dimas darinya. Namun, jantung bintang seakan mau berhenti. Tangan dimas menaham tubuhnya dan memeluknya lebih erat. Membuat bintang tak bergeming lagi, seperti rusa yang terbelit ular.

Ia lemas.

“maaf Bintang.. untuk malam ini saja, izinin aku meluk kamu.” Bisiknya. Dan dimas membenamkan hidungnya di rambut bintang, membuat bintang bisa merasakan desir napasnya di kulit kepalanya.

Bintang tidak bisa berkutik lagi selain pasrah. Ya, ia pasrah dalam pelukan dimas. Entah kenapa ia tidak lagi takut akan ketahuan teman-teman yang lain. Bintang mungkin masih ragu kenapa dimas tiba-tiba datang dan tidur di sampingnya bahkan memeluknya begitu erat. Bintang meragukan banyak hal, namun ia mencoba memejamkan matanya. Ia tidak pernah merasakan perasaan hangat ini sebelumnya.

Merasakan pelukan seorang lelaki. Seperti ayahnya yang tidak pernah memeluknya,bahkan sebelum ayah dan ibu bintang bercerai.Terakhir kali ia dipeluk seperti ini adalah saat ia masih SD, ia dipeluk oleh ibunya yang jarang pulang ke rumah karena bekerja.

Kini seorang cowok memeluknya dengan erat dan tak ingin bintang lepas dari pelukannya. Bintang tidak berpikir lagi. Ia ingin menikmati momen ini. Ia ingin merasakan tiap bulir kehangatan yang mengalir di tubuhnya. Ia ingin merasakan hembusan napas dimas di kepalanya. Dan perlahan bintang menutup matanya.

Malam itu menjadi malam pembuka hubungan dimas dan bintang. Keesokan paginya dimas memohon-mohon pada bintang untuk memaafkannya. Dimas juga mengatakan kalau dirinya sudah lama mengagumi bintang. Semula bintang tidak percaya, namun akhirnya ia percaya ketika dimas memegang tangannya dan secara terang-terangan menyatakan cintanya pada bintang.

“Bintang.. aku sudah lama pingin bilang ini ke kamu, tapi aku takut, karena ini bukanlah hal yang biasa. Aku mencintai kamu Bintang.. aku ingin selalu ada di dekat kamu dan meluk kamu. Aku ingin bisa menjadi seseorang di hati kamu.. “

Bintang tak mampu berkata-kata. Matanya membeku menatap mata dimas yang berpendar memohon.

“aku tahu Bintang.. ini tidak wajar. Aku cowok dan kamu juga cowok. Tapi entah kenapa aku merasa aku ga bisa jauh dari kamu.. plis jangan marah sama aku, jangan jijik sama aku.. aku cuma ingin mencintai kamu ..”

Tenggorokan bintang tercekat. Wajahnya memerah, ini pertama kalinya ada seseorang yang menyatakan cinta padanya. Apalagi dia cowok! Bintang benar-benar bingung. Akhirnya bintang berkata dengan lirih.

“tapi.. kamu tahu.. aku nggak sempurna. Apa kamu mau menerima aku yang seperti ini?”

Dimas terdiam memandangi bintang. Bintang menundukkan wajahnya. Ia tidak berani menatap wajah dimas. Lalu sebuah pelukan kedua mendarat di tubuh Bintang. Kini dada bintang dan dada dimas menyatu. Bintang bisa merasakan jantung dimas yang berdegub sama kencangnya dengan jantung bintang.

“jangan bilang gitu! Aku mencintai kamu apa adanya.. aku ga lihat kekuranganmu Bintang.. aku cuma mau cinta dari kamu..”

Bintang tak bergeming. Dia bisa mendengar dimas terus memohon di telinganya dengan suara lemah tapi bintang tidak bisa menangkap suaranya lagi. Suara-suara itu seolah hanya lewat saja di telinganya. Pikiran bintang melayang ke lagit. Tanpa ia sadari, tangannya meraih punggung dimas dan memeluknya dengan erat.

“iya.. aku mau..” ucapnya.

Bintang tersenyum-senyum saat mengingat kejadian itu. Kini ia bisa menikmati hasil keputusannya waktu itu. Sebuah dekapan yang hangat dari seorang lelaki yang ia cintai. Bintang tidak tahu sejak kapan ia merasa begitu sayang pada dimas. Sejak dimas menyatakan cinta padanya, hati bintang seolah terikat oleh kontrak batin. Dari dulu memang bintang punya sedikit kekaguman pada sosok dimas, namun ia tidak pernah membesarkan perasaannya itu dan terus menunndukkan wajah jika berpapasan dengan dimas. Ia tidak tahu jika diam-diam dimas menyukainya. Tentu tidak sulit bagi bintang untuk jatuh cinta padanya.

Tapi sebenarnya, jauh dari itu, ada satu hal yang membuat bintang sangat terikat pada dimas. Kata-kata dimas. Dimas yang mencintai bintang seleuruhnya, beserta dengan kekurangannya. Hal itulah yang membuat bintang bahagia. Dimas menjadi perwujudan impiannya yang telah lama ia nantikan. Seseorang yang mau menerimanya apa adanya.

Bersama dimas, bintang seolah menjadi manusia seutuhnya. Dia sudah lupa akan segala kekurangannya, karena dimas memperlakukan dan menganggap bintang begitu special.

Tidak terpikir lagi tentang bintang yang cacat matanya. Sudah hilang dari ingatan bintang si anak Dajjal.

Yang ada kini adalah bintang yang berpendar cerah di langit yang kelam.

“Bin.. Udah mau sampai nih.. “

Suara Dimas segera saja menyadarkan Bintang dari lamunannya. segera saja menegakkan kepala dan melepaskan pelukannya dari pinggang Dimas. 

“hehe.. ketiduran ya?” tanya dimas sambil terkekeh.

Bintang hanya tersenyum. Ia pejamkan matanya dan ia sandarkan dahinya di punggung Dimas yang bidang. Berharap Dimas bisa mendengar kata-kata yang ia sampaikan dari hatinya.

“Bagaimana aku bisa tertidur? Aku ga akan melewatkan satupun momen bersamamu.”

 

 #Bersambung cuy…

 

 

 

 

 

 

5 thoughts on “LUKISAN #1

  1. Bee says:

    Mmm cerita baru niee asyeek dah,.. Lanjut..

  2. masdabudd says:

    baru selesai baca nih!!

    jadi inget masa kecilku dulu..

    aku tau apa yg Bintang rasakan..

    semoga di cerita baru ini, gak akan ada “Jordan n’ Adrian” lagi..

    kapan mau dilanjut??

  3. Anim Falakhudin says:

    Lagi-lagi cerita epik..
    keren ceritanya mas,
    dicemooh, kaum marjinal,
    huftt kadang dunia ini menjadi sombong dengan kesempurnaannya..

  4. Farhat darma permana says:

    Yah ko bersambung…
    Lanjutin dong ka…
    Beruntung nya si Bintang…
    SEMANGKA…

Leave a reply to Anim Falakhudin Cancel reply